Sepiring Infor-nasi dari WeHaO
Setelah akhir-akhir ini membaca beberapa hal tentang vaksin, saya semakin tertarik untuk membaca lebih banyak hal yang berhubungan dengan vaksin, salah satunya tentang proses pembuatan vaksin. Ibaratnya orang yang sedang makan karena lapar, setelah mencicipi satu sendok, sulit rasanya bagi saya untuk berhenti begitu saja dan meninggalkan piring berisi nasi yang masih terlihat menggoda. Apalagi, rasa lapar belum terasa padam.
Akhirnya, saya pun memutuskan untuk menyendoknya lagi, lagi, dan lagi tanpa pernah tahun kapan saya akan berhenti. Mungkin, setelah habis satu piring, saya akan berhenti, tetapi ada kemungkinan juga saya akan imbuh lagi. Untuk memuaskan rasa ingin tahu tentang proses pembuatan vaksin, saya langsung mampir ke situsnya dabelyu eich eu alias WHO (World Health Organisation). Saya sengaja menuliskan kata organisation dengan gaya British, yaitu menggunakan huruf s, bukan z seperti pada gambar resminya yang menggunakan gaya Amerika. Apa alasannya? Tidak ada.
Dari website-nya badan kesehatan dunia tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa terdapat tiga pendekatan atau cara dalam membuat vaksin: the whole approach (menggunakan seluruh bagian virus), the subunit approach (menggunakan sebagian dari suatu virus), dan genetic approach (menggunakan genetika dari virus).
Jika memanfaatkan virus secara utuh, terdapat tiga kemungkinan yang bisa dilakukan: inactivated vaccine, live-attentuated vaccine, dan viral vector vaccine. Cara pertama yang dilakukan dalam inactivated vaccine adalah dengan cara mengambil virus pembawa penyakit dan menonaktifkan atau membunuhnya dengan bahan kimia, panas, atau radiasi.
Jenis vaksin ini membutuhkan fasilitas laboratorium khusus untuk mengembangkan virus yang sudah dinonaktifkan tadi. Dalam pelaksanaan pemberian vaksin, dibutuhkan dua hingga tiga dosis untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Contohnya adalah vaksin untuk flu dan polio.
Untuk live-attentuated vaksin, virus tidak dinonaktifkan atau dimatikan, tetapi dilemahkan. Tentunya ada cara khusus untuk bisa melemahkan virus, berbeda dengan saya yang seringkali lemah di depan buku-buku diskonan yang murah. Contoh vaksin yang dilemahkan adalah vaksin campak, gondok, rubela (alergi pernafasan), cacar air, dan penyakit ruam.
Sedangkan viral vector vaccine memanfaatkan suatu virus yang sudah aman atau jinak untuk mengirimkan bagian-bagian khusus yang disebut protein agar memantik respons dari sistem kekebalan tubuh tanpa menimbulkan penyakit. Oleh karena itu vaksin jenis ini bisa diproduksi lebih cepat. Contohnya adalah vaksin Ebola.
Pendekatan yang kedua—sub unit approach—memanfaatkan hanya bagian khusus—bisa protein atau gula—dari sebuah virus yang perlu dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Karena hanya sebagian, maka vaksin jenis ini tidak menggunakan virus secara utuh atau menggunakannya sebagai vektor—semacam medium yang menyebarkan sesuatu. Kebanyakan vaksin yang diberikan di masa kecil seperti vaksin untuk batuk rejan, tetanus, difteri, dan meningitis menggunakan cara ini.
Sebagai metode yang terakhir, pendekatan genetik memanfaatkan sebuah bagian dari materi genetik yang memberikan instruksi kepada protein khusus. Metode yang terakhir ini merupakan sebuah cara baru dalam mengembangkan vaksin.
Karena begitu sulitnya dalam proses pembuatan vaksin, meskipun pada bulan Desember 2020 terdapat lebih dari 200 calon vaksin yang dikembangkan, hanya sekitar 52 yang bisa diujicobakan kepada manusia. Sebagai contoh, dari seratus calon vaksin, ada tujuh yang bisa diujicobakan kepada manusia. Setelah dievaluasi tingkat keamanan dan keefektifannya, dari lima calon vaksin, hanya akan ada satu vaksin yang lolos dan bisa digunakan. Ternyata yang berat itu tidak hanya rindu seperti yang dikatakan oleh Dilan, tapi juga proses pembuatan vaksin.
Bagaimana, sudah mulai merasa pusing setelah selesai membacanya? Masih lebih mudah untuk mencemooh atau maido, bukan? Ternyata, syarat untuk bisa menjalani profesi sebagai seorang ilmuwan dan peneliti yang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang itu jauh lebih berat daripada profesi tukang maido, bukan? Eh, sejak kapan tukang maido menjadi sebuah profesi?
Nganjuk, 29 Januari 2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar