Arsitek Itu Bernama Lonchura Leucogastroides
Di salah satu cabang sebuah pohon—yang entah apa namanya—tiga ekor burung emprit Jawa membangun sarangnya. Pohon itu tepat berada di dekat pintu perpustakaan salah satu sekolah tempatku mengajar. Tak kusangka, pohon yang terlihat biasa-biasa saja itu, ternyata memang biasa-biasa saja. Akan tetapi, ke-biasa-biasa-annya itulah yang justru memberikan tontonan yang terasa luar biasa.
Awalnya, sesaat setelah menemukan tempat parkir dan mematikan mesin motor GL Max keluaran tahun 2003, aku menyaksikan seekor burung emprit Jawa—yang nama ilmiahnya Lonchura Leucogastroides—terbang dan mendarat sekitar dua meter dari tempatku memarkir sepeda motor.
Jarak dua meter itu hanya hasil perkiraanku saja. Jika diukur secara sungguhan dengan meteran apakah akan mendapatkan hasil yang kurang, tepat, atau malah lebih, aku sendiri juga tak terlalu yakin. Maklum, meskipun sarapan sudah selesai dikunyah dan diolah di dalam tubuh, nutrisinya belum sempat dicerna dengan sempurna dan terdistribusikan secara adil dan merata ke seluruh anggota tubuh. Jadi, kualitas hasil koordinasi antara panca indera dengan saraf otak di kepalaku belum bisa sepenuhnya dapat dipercaya.
Terlepas dari tepat atau tidaknya ukuran dua meter tadi, dengan jelas aku bisa menyaksikan apa yang burung kecil berwarna dominan hitam itu lakukan. Mula-mula, ia memungut sesuatu dengan paruhnya. Jika tidak keliru ia mengambil sesuatu yang terlihat seperti sehelai rumput kering. Setelah merasa yakin bahwa rumput kering tadi bisa dicengkeram dengan kuat, ia membawanya terbang lalu hinggap di salah satu batang pohon—yang aku tak tahu apa namanya tadi—lalu meletakkannya di sebuah sarang setengah jadi.
Sejurus kemudian seekor emprit Jawa lainnya datang dari arah yang berbeda. Sama seperti burung yang pertama tadi, ia juga membawa sehelai rumput kering sebagai bahan baku pembuatan sarang impiannya. Ternyata mereka bekerjasama dan saling bahu membahu dalam mewujudkan tempat tinggal tersebut.
Ketika si Javan Munia—sebutan burung emprit dalam bahasa Inggris—yang pertama tadi terbang kembali, seekor emprit lainnya datang dan hinggap di tempat yang sama. Ia juga membawa hal yang sama seperti kawan-kawannya tadi. Jadi, sejauh yang kutahu mereka bertiga bekerjasama dengan satu tujuan yang sama.
Sempat juga kuikuti kemana si emprit yang pertama tadi terbang dan hinggap. Ia masih melakukan hal yang sama. Mencari rumput kering dan membawanya pulang ke pohon tadi. Kali ini, bawaannya jauh lebih panjang dari yang pertama. Begitu tahu emprit yang pertama tadi sudah kembali, kedua emprit yang tadi sedang menata hasil buruannya, terbang menjauh. Sepertinya, mereka berdua sudah tahu kemana arah yang hendak dituju. Kali ini, indera penglihatanku tak mampu lagi mengikuti kemana perginya mereka berdua karena terhalang tinggi dan tebalnya dinding perpustakaan di depanku.
Lebih dari dua menit aku berdiri mematung di bawah pohon—yang hingga kini tetap saja tak kuketahui apa namanya—itu sambil menahan berat beban tas hitam yang menggantung di pundakku. Sesekali kubidikkan lensa kamera HPku ke arah burung-burung kecil itu sembari berharap sedang beruntung bisa mendapatkan momen saat mereka membawa terbang rerumputan kering itu.
Dari bawah, sarang itu tak terlihat begitu jelas karena terhalang oleh deretan batang dan cabang lainnya. Akan tetapi, setelah aku naik tangga menuju lantai dua dan melongoknya dari depan pintu laboratorium komputer di lantai atasnya, rumah idaman si Lonchura Leucogastroides tadi terlihat dengan jelas.
Belum terlihat adanya telur atau piyik—istilah anak burung dalam bahasa Jawa—yang menghuni sarang itu. Besar kemungkinan burung-burung tadi adalah pasangan yang baru saja melangsungkan perkawinan dan mengucapkan janji setia. Dan sekarang, mereka membangun sebuah sarang untuk tempat tinggal mereka dan juga calon anak-anaknya.
Dari para pemakan biji-bijian tadi, aku belajar tentang semangat, kebersamaan, dan kerukunan dalam mewujudkan sebuah cita-cita. Selain itu, aku kembali teringat bahwa tak ada satupun ciptaan Sang Maha Kuasa yang sia-sia. Rerumputan kering yang bagi manusia bukanlah apa-apa, ternyata merupakan batu-bata, pasir, semen, sekaligus gamping bagi rumahnya para Lonchura Leucogastroides.
Dalam skala yang sedikit lebih luas, sesuatu yang bagi kita mungkin tidak begitu berharga, bisa jadi merupakan harta benda yang sangat berharga bagi makhluk lain di dunia yang fana ini. Bisa jadi, dalam situasi dan kondisi yang berbeda, sesuatu yang setiap hari kita keluhkan keberadaannya, ternyata merupakan deretan mimpi yang hingga kini masih saja tak terbeli oleh manusia lainnya di muka bumi ini.
Eh, sebentar, sebentar, kalau mereka benar-benar merupakan pasangan, lalu burung emprit yang ketiga tadi siapanya mereka, ya? Jangan-jangan, ... Ah, sudahlah.
Nganjuk, 23 Januari 2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ulasan yang keren menewen pak.Salam kenal dan salam literasi.Ijin follow dan follow balik
Maturnuwun, Bu Anora. Wokesiap.
Terimakasih pak