Satu Kata Mematikan
Aina, gadis bermata sipit itu masuk ke dalam kelasnya. Belum ada seorangpun yang datang. Itulah kebiasaan Aina, selalu datang pagi-pagi ke sekolah. Tak pernah seharipun dia terlambat datang ke sekolah. Aina meletakkan tasnya di atas meja, lalu duduk di kursinya. Dia membuka tasnya, mengambil buku IPS dan membukanya. Semalam ia belum bisa mengerjakan satu nomer dari 50 nomer yang ditugaskan oleh gurunya seminggu yang lalu.
"Hai Ai. Sudah selesai PR nya?" tanya Dewi yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
"Belum nih. Masih kurang satu nomor. Aku nggak bisa. Apa nih jawabannya?" Aina balik bertanya sambil menatap Dewi penuh harap.
Dewi hanya menyeringai sambil menatap Aina.
"Kamu ini, ditanya bukannya menjawab malah ketawa ketiwi," sungut Aina.
"Aku juga belum Ai. Niatnya tadi mau tanya sama kamu. E...kamu malah tanya duluan," jawab Dewi.
**
Teng...teng...teng...
Bel masuk telah berdentang. Semua siswa memasuki kelas masing-masing. Hari itu, jam pertama adalah pelajaran IPS. Tak berapa lama, Pak Zen, guru IPS memasuki kelas. Setelah berdoa bersama, Pak Zenpun memulai pelajaran dengan menanyakan PR minggu kemarin. Setiap siswa berkesempatan menjawab satu soal. Hingga pada soal nomor 30, tak ada satupun siswa yang bisa menjawabnya. Karena Pak Zen terus meminta jawaban dari soal tersebut, akhirnya Suhud, siswa terpandai di kelas itu mencoba menjawab. Pak Zenpun bertanya kepada siswa, siapa yang membenarkan jawaban Suhud dan siapa yang menyalahkan. Ada beberapa siswa yang angkat tangan untuk membenarkan dan ada beberapa siswa yang angkat tangan juga, menyalahkan jawaban Suhud. Sementara itu, Aina tidak mengangkat tangannya, baik membenarkan ataupun menyalahkan karena dia memang tidak tahu jawabannya.
"Aina. Mengapa kamu tidak angkat tangan. Jawaban dari Suhud tadi, benar atau salah," tanya Pak Zen dengan suara menggelegar.
"Maaf Pak, saya tidak tahu jawabannya," jawab Aina sambil menunduk takut.
"Aina...Aina. Kamu ini kok tidak sepandai kedua kakakmu sih. Sana, kamu berdiri di depan pintu. Biar ayahmu, semua guru dan semua siswa di sekolah ini bisa melihatmu," bentak Pak Zen dengan suara menggelegar.
Ya, ayah Aina adalah seorang TU di sekolah tempat Aina belajar. Dan ruang TU terletak berseberangan dengan ruang kelas Aina.
**
Hening. Tak ada seorangpun yang berani berkutik. Perlahan, Aina bangkit dari duduk lalu berjalan ke pintu dan berdiri di depan pintu seperti yang diperintahkan oleh Pak Zen. Jangan ditanya bagaimana malunya Aina. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang hendak tumpah. Dia berdiri sambil menunduk, malu. Karena semua mata tertuju ke arahnya. Sementara Pak Zen terus menghinanya di depan teman-teman sekelasnya. Membandingkannya dengan kedua kakaknya yang pintar. Hari itu, Aina harus berdiri di depan pintu hingga jam pelajaran IPS usai.
**
Setelah hari itu, dimanapun Pak Zen bertemu Aina, kata-kata menyakitkan itu selalu saja keluar dari mulut beliau. Bahkan di depan para dewan guru, Pak Zen selalu mengejek dan merendahkan Aina. Entah apa maksudnya, Aina tak pernah tahu. Hingga pernah suatu hari, Aina ingin keluar dan pindah saja dari sekolah itu. Namun kedua orang tuanya tak mengijinkannya. Hari demi hari dijalani Aina dengan sangat menyakitkan. Sejak saat itu, Aina yang semula adalah gadis periang tetiba menjadi gadis pendiam. Dia lebih suka menyendiri. Dia merasa sangat kecil di dunia ini. Rasa percaya dirinya lenyap begitu saja. Andai saja bunuh diri bukan merupakan suatu dosa besar, mungkin Aina telah melakukannya kala itu.
**
Waktu terus berlalu. Tak terasa ujian akhir sekolah telah selesai dijalaninya. Suatu hari, Aina agak kesiangan datang ke sekolah. Di depan kantor, sudah banyak bapak ibu guru yang berkumpul sambil berbincang dan ada juga yang bercanda. Sambil membungkukkan badan, Aina melewati bapak ibu guru tersebut untuk menuju ke kelasnya.
"Aina, sini dulu," panggil Pak Zan dengan suara menggelegar.
Aina menghentikan langkahnya lalu berbalik dan berjalan ke arah Pak Zen.
"Saya Pak," kata Aina sambil menunduk.
"Lihat, nilai EBTANASmu kemarin. Bagus apa jelek," kata Pak Zen sambil tertawa mengejek.
"Dengan berat hati, Aina mengeluarkan selembar kertas berisi nilai EBTANAS lalu menyerahkannya pada Pak Zen.
Pak Zen mengamati kertas itu sambil tertawa.
"Nilai kok pas pasan begini. Padahal kakakmu itu pinter-pinter lo Na. Kamu kok kayak gini?" kata Pak Zen sambil tertawa.
Aina hanya diam sambil menundukkan kepala. Melihat Aina tak bereaksi, Pak Zenpun mengembalikan selembar kertas itu dan menyuruh Aina ke kelasnya. Hari ini adalah hari dimana saatnya diumumkan siswa dengan nilai terbaik di sekolah Aina. Dan Aina, mendapat peringkat kelima. Namun hal ini tidak membuat Aina bahagia karena jiwanya telah terlanjur mati.
**
Sungguh, perlakuan Pak Zen telah membunuh Aina. Hari-hari selanjutnya, Aina tumbuh menjadi seorang gadis yang minder. Dia selalu takut untuk melakukan sesuatu. Takut salah. Takut ditertawakan. Dan sejak saat itu, diapun harus keluar masuk rumah sakit karena penyakit asam lambung yang dideritanya. Dengan susah payah Aina menyelesaikan sekolahnya hingga mencapai gelar Sarjana. Kini dia telah menjadi seorang guru. Sejak menjadi guru, dia bertekat untuk tidak mengucapkan kata-kata negatif kepada siswanya. Baginya setiap siswa itu istimewa. Setiap siswa mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sudah menjadi tugas seorang guru untuk bisa menggali kelebihan yang dimiliki oleh siswanya dan memberikan pelayanan dan dukungan demi kemajuan siswa-siswinya.
**
Betet, 02 Januari 2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar