Bu, mohon ijin hari ini anak saya tidak masuk karena takut belum mengerjakan PR
Lima menit sebelum masuk, hp saya berdering. Ada wa dari Ortu Hasyem 9, satu wali murid, bunyinya seperti judul di atas. Bel tanda masuk mengurungkan niat saya membalas wa tersebut. Jam pertama saya mengajar di kelas 9. Seperti biasa anak-anak berbaris di depan kelas masing-masing, masuk dengan tertib, berdoa, mengaji juz 30 lalu mulai proses belajar di kelas. “Baiklah anak-anak, ayo kumpulkan tugasnya,” seru saya setelah mengabsen. Saya mengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, matpel yang sering berubah-ubah namanya. Pertama kali muncul namanya Civics atau Kewarganegaraan. Saat Orde Baru namanya menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Pada Kurikulum 1994 menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Berubah lagi pada Tahun 2003 dalam UU Sistem Pendidikan Nasional menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pada Kurikulum Merdeka namanya menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Tugas yang harus dikumpulkan anak-anak adalah menelaah peristiwa-peristiwa konflik yang pernah terjadi di Indonesia sehubungan dengan materi Keberagaman Masyarakat Indonesia. Tugas itu esudahs saya berikan seminggu yang lalu. Anak-anak boleh mencari informasi dari sumber-sumber belajar yang lain, bisa dari buku atau pun internet. Sebagian besar anak-anak mengumpulkan PR. Ada dua anak yang tidak mengumpulkan, yang satu beralasan tidak masuk, satunya lagi karena lupa. Marahkah saya kepada mereka? Buat apa? Marah hanya membuat lelah jasmani dan rohani. Dan percayalah, anak-anak hanya takut sesaat setelah itu mereka melupakan dengan sangat cepat. Kepada yang belum mengumpulkan PR saya memberi mereka waktu sehari lagi. Hari ini mereka tidak boleh mengerjakan LKPD sehingga tidak akan mendapat nilai untuk hari ini. Nah, daripada mereka membuat rusuh kelas, mereka harus menulis surah Al Fatihah sebanyak dua lembar bolak-balik di kertas folio bergaris. Saat istirahat, saya sempatkan untuk mengunjungi Hasyem. Kebetulan saya ada jam mengajar sekitar dua jam lagi. Rumahnya tidak seberapa jauh juga, lima belas menit saya sampai di rumahnya. Rumahnya sepi, pada ketukan yang ketiga, pintu baru dibuka, itu pun dibantu dengan teriakan tetangga,. Hasyem terkejut melihat kedatangan saya. Wajahnya tampak kusut masai seperti baru bangun tidur. “Bapak kerja di lar kota, ibu setiap pagi kerja menggoreng tempe,” jawabnya ketika saya tanya dimana orang tuanya. “Hasyem sudah makan?” Ia mengangguuk. “Sudah mandi?” Ia menggeleng. “Mandilah cepat, ibu tunggu di sini ya. Apa tidak malu kamu, ada Marsha lo.” Hasyem malu-malu memandang Marsha yang saya ajak untuk menemani. Jika ada kasta di kelas, niscaya ia termasuk kasta bawah. Tidak pintar, tidak menonjol ,tidak nakal, tidak ramai . Teman-temannya seringkali tidak menganggapnya ada. Guru pun bisa jadi melupakannya. Dalam catatan saya ia baru mengumpulkan tiga tugas dari 10 tugas yang saya berikan. Lagi-lagi saya pun lupa menanyakannya. Saya membantunya mengerjakan tugas. Alhamdulillah hanya perlu lima belas menit tugas selesai. “Tidak sulit ‘kan tugasnya. Mengapa tidak mau masuk sekolah?” Hasyem sepertinya sedang berpikir untuk menjawab pertanyaan saya. Sebenarnya ia sudah seminggu ini tidak masuk sekolah. Hari pertama ia beralasan sakit, hari keempat katanya pergi menengok saudara di luar kota, hari kelima dan keenam tidak ada ijin, hari ketujuh tugas saya yang dijadikan alibi. Ibunya Hasyem datang, sepertinya ada tetangga yang memberitahunya di tempat kerja yang tidak jauh dari rumah ini. Ia tergopoh-gopoh datang sambil membawa sebungkus gorengan. “Maaf Bu Guru, jadi merepotkan. Hasyem sudah saya suruh sekolah bahkan sampai mau dihajar sama ayahnya, tapi dasar anaknya ini ndableg tidak mau berangkat juga.” “Terus yang mengijinkan sakit atau pergi itu, Ibu atau Hasyem sendiri?” “Hasyem yang minta saya wa seperti itu, Bu Guru” “Jadi seminggu ini Hasyem bolos ya. Ngapain di rumah?” Hastem menunduk. “Ya main hape Bu Guru, sampai malam, sampai kesiangan bangunnya. Sampai bosan Bu, yang membangunkan . Sampai sama ayahnya mau dihajar. Sampai tidak saya beri uang jajan. Sampai mau dirukyah sama guru ngajinya ,” cerocos ibunya. Saya melirik Hasyem yang senyum-seyum dengan Marsha. Gosipnya mereka itu saling suka. Duh, anak-anak yang main monyet-monyetan. “Maaf Ibu, apa Ibu pernah bertanya kepada Hasyem, bagaimana pelajaran di sekolah? Bagaimana guru-gurunya? “ Kedua mata ibunya memicing. Perempuan yang memakai kaos lengan pendek tapi berkerudung itu menggeleng. “Tidak sempat Bu Guru, saya sibuk mencari tambahan buat belanja. Jika tidak menggoreng keripik, saya kerja apa saja yang penting halal. Lha bapaknya anak-anak itu kerja siang malam lembur-lembur tapi ya dapatnya segitu-gitu saja.” Lo kok jadi curhat, tapi saya merasa menemukan jawaban atas persoalan ini. Hasyem bukanlah satu-satunya anak yang mengalami masalah ini. Banyak anak di luar sana mengalami hal sama, yaitu kurangnya social support dari orang tua. Apa itu social support? Lingkungan pendidikan pertama seorang anak adalah orang tua. Ayah dan Ibu mempunyai kewajiban mendidik serta memenuhi kebutuhan serta memberikan dukungan kepada anaknya untuk meraih cita-cita. Dukungan inilah yang disebut sosial support. Sosial support ini mencakup berbagai aspek, mulai dari dukungan emosonal sampai dukungan praktis dalam belajar. Dan ini tidak bisa diremehkan. Mengapa sosial support itu penting? Beberapa alasan pentingnya sosial support dari orang tua terhadap pendidikan anak adalah : Pertama, motivasi dan dukungan emosional. Ayah dan Ibu yang memberi dukungan kepada anak dapat membantu motivasi belajar anak. Misalnya dengan memberi pujian atau perhatian positif bisa membentuk anak yang percaya diri dan termotivasi untuk mencapai kesuksesan akademik. Kedua, pembentukan karakter dan kebiasaan. Orang tua mempunyai peranan penting dalam membantu membentuk karakter positif anak. Melalui komunikasi terbuka serta memberikan pengawasan, orang tua dapat mengajarkan pentingnya pendidikan, kerja keras, disiplin dan tanggung jawab. Ketiga, orang tua sebagai guru. Orang tua dapat berperan sebagai guru bagi anak-anaknya. Mereka dapat meluangkan waktu untuk membantu anak dalam mengerjakan PR, mengajarkan ketrampilan belajar dan memberikan penjelasan tambahan saat anak menghadapi kesulitan dalam memahami materi. Dengan cara ini orang tua dapat membantu anak mengatasi hambatan belajar dan meraih prestasi yang lebih baik. Tetapi saat ini banyak sekali orang tua yang hanya mampu memberi dukungan praktis atau finansial kepada anaknya. Orang tua hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan finansial anaknya seperti memberikan fasilitas untuk menunjang pendidikan anaknya tetapi lupa bahwa anak juga membutuhkan dukungan secara emosional. Anak dibiarkan tumbuh sendiri tanpa mendapatkan bimbingan dari orang tua. Padahal anak sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang serta rasa nyaman dari orang tua. Bagaimana caranya? Saya menyarankan agar orang tua Hasyem memperbaiki komunikasi dengan anaknya. Anak sebaiknya diajak ngobrol sehingga orang tua tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh anaknya.Anak adalah karunia terbesar dari Allah SWT maka sepatutnya orang tua bertanggungjawab untuk membesarkan dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang agar anak dapat berkembang dengan baik. Orang tua tidak hanya sekedar memberikan makanan dan pakaian saja tetapi tak kalah pentingnya adalah perhatian, kasih sayang, rasa aman dan kepercayaan kepada anak. Social support dari orang tua memiliki peran yang penting dalam pendidikan anak. Dukungan ini membantu anak mengatasai tantangan, membangun harga diri, meningkatkan motivasi dan membentuk pribadi positif. Maka penting bagi orang tua untuk terlibat aktif dalam pendidikan anak dengan menyediakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sangat penting memiliki social support yg disiplin dan berani mengatakan tidak utk ketidakbenaran. Salam inovasi
Terimakasih