Nurhidayah Ilyas

Merupakan putri kedua pasangan Almarhum Bapak H.M.Ilyas HM dan Almarhumah Ibu Hj.Arifah Arif. Saat ini bertugas di SMPN 2 Suppa Kabupaten Pinrang, Sulawesi Sela...

Selengkapnya
Navigasi Web
JEJAK PERTAMA DI TANJUNG BATU

JEJAK PERTAMA DI TANJUNG BATU

Setelah terhitung empat tahun menjadi warga Berau, dan dua tahun menjalankan tugas sebagai Guru Bantu Nasional di SMPN 1 Sambaliung, akhirnya di awal tahun 2007 aku resmi menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Berau. Namun harus rela berpindah tugas di wilayah pesisir pantai, di Kampung Tanjung Batu, kecamatan Pulau Derawan. Sebuah kecamatan yang menjadi tujuan wisata di provinsi Kalimantan Timur. Oh iya, perjalanan panjang selama menjadi Guru Bantu Nasional di SMPN 1 Sambaliung akan aku ceritakan di buku yang berbeda, sebab ini hanya akan mengupas tuntas perjalananku selama mengabdi di Kampung Tanjung Batu.

Aku ingat betul bagaimana risaunya diriku ketika menerima Surat Keputusan Bupati Berau atas pengangkatanku menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dan bertugas di SMPN 1 Pulau Derawan di Kampung Tanjung Batu. Bagaimana tidak? Aku baru saja merasakan bahagianya memiliki rumah setelah tiga tahun mengontrak di Rumah Sewa Pondok Melati. Tidak terbayang aku harus meninggalkan keluarga untuk bertugas di sekolah pesisir yang jaraknya kurang lebih 110 km dari rumahku. Namun, lagi – lagi demi cita – cita, semuanya harus kulalui. Kembali kualirkan energi positif dalam diriku. Bersyukurlah, maka Allah akan tambahkan nikmatNya. Kalimat ini selalu kuingat. Karena itulah, sebagai bukti syukurku, aku putuskan untuk berangkat memenuhi tugas negara, janji pada ibu pertiwi. Kubulatkan tekad, untuk mencerdaskan anak – anak bangsa di wilayah pesisir pantai di Kampung Tanjung Batu.

Dengan semangat tinggi, aku berangkat ke tempat tugas baru. Jarak kurang lebih 110 kilometer aku tempuh dengan kendaraan roda dua. Hampir tiga jam perjalanan. Dari kota Tanjung Redeb, aku harus melalui banyak kampung. Jalanan yang berkelok – kelok serta menanjak dan menurun, sesekali membuatku harus melambatkan laju motorku. Banyak kendaraan proyek dan alat berat yang lalu lalang sepanjang perjalanan dari kota Tanjung Redeb, Gunung Tabur, Maluang, Sembakungan, Samburakat, hingga Merancang Ilir. Merancang Ilir sepertinya adalah pertengahan antara Kota Tanjung Redeb dengan Kampung Tanjung Batu. Di kampung inilah banyak warung makan tempat para pengendara mampir untuk sekedar melepas penatnya badan. Tak terkecuali aku. Pun mampir untuk memenuhi hak perut yang sedari tadi merintih minta diisi.

Aku kembali melanjutkan perjalanan setelah puas beristirahat. Jalanan belum sebagus sekarang. Kala itu, jika musim hujan maka jangan harap pakaian akan bersih saat tiba di tujuan nanti. Cipratan lumpur tanah kuning pasti akan menghiasi pakaian kita. Dan semua itu kelak menjadi pemandangan biasa bagiku. aku masih harus melalui beberapa kampung lagi sebelum tiba di Kampung Tanjung Batu. Dari Merancang Ilir, aku kemudian memacu motorku menuju kampung Batu – Batu. Selanjutnya sebelum masuk Desa Kasai, aku harus melintasi hutan lebat. Meskipun saat itu siang hari, namun terlihat agak gelap karena dahan pohon besar saling bertaut tak memberi celah yang luas pada mentari untuk menampakkan sinarnya. Aku merasa sedikit ngeri melintasi hutan tersebut. Kupacu lari motorku hingga mencapai Desa Kasai. Aku mampir lagi di sebuah warung untuk sekedar menghilangkan rasa takutku. Ada seorang ibu muda yang kemudian mengajakku ngobrol.

“Mau kemana, Mba?” tanya si Ibu ramah. Sepertinya dia tahu kalau aku bukan penduduk sana.

“Mau ke Tanjung Batu, bu. Masih jauh ya?”

“Barusan ke Tanjung Batu ya Mba?” aku yakin, si ibu sepertinya dapat membaca kebingunganku. Aku mengangguk sembari tersenyum. “Tanjung Batu masih kurang lebih 30 kilo lagi, Mba. Tapi jalanan sudah agak mendingan dibandingkan yang Mba sudah lewati tadi. Memangnya Mba mau ke rumah siapa di Tanjung Batu?”

“Mau ke SMPN 1 Pulau Derawan, bu. Untuk melapor, kebetulan ditugaskan di sana”. Jawabku.

“Di SMP? Waah, alhamdulillah Mba. Nambah lagi gurunya anak saya”, si Ibu lalu bercerita tentang sekolah yang akan aku tuju. Dia tahu banyak rupanya, sebab beberapa anaknya adalah alumni sekolah itu. Dari dialah aku mendapatkan alamat sekolah tersebut.

Puas beristirahat, kami lalu berpisah. Si ibu melanjutkan perjalanannya ke kota Tanjung Redeb, sementara aku menuju Kampung Tanjung Batu. Aku masih harus melalui Desa Semanting sebelum tiba di Tanjung Batu. Dari Semanting ke Tanjung Batu, mataku dimanjakan dengan pemandangan yang sangat indah. Aku sampai lupa lelahnya diri ini. Jalanan mulai menanjak tinggi dan terkadang menukik tajam ketika menurun, aku harus ekstra hati – hati. Ini adalah pengalaman pertamaku mengendarai motor di medan seperti itu. Ekstrim, begitu kusebut.

Ketika memasuki batas Kampung Tanjung Batu, nampak gapura kayu ulin sederhana bertuliskan, “Selamat datang di Kampung Wisata bahari, Kampung Tanjung Batu Kecamatan Pulau Derawan”. hatiku bergetar. Yaa Allah, di sinilah tempatku bertugas entah sampai kapan. Terima kasih yaa Rabb, tak henti – henti kuucap syukur meski ada sedikit beban di hati. Aku sama sekali buta terhadap situasi kampung ini. Banyak hal yang membebani pikiranku. Kekhawatiran dan ketakutan – ketakutan yang awalnya mampu kuredam kembali hadir. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana perjalanan hidupku selanjutnya di kampung yang masyarakatnya sangat heterogen ini. Akankah aku diterima oleh lingkunganku? Akankah aku betah bertugas di kampung ini? Hanya Allah tempatku berlindung dari segala mara bahaya.

Kupijakkan kaki dengan ucapan Bismillah di halaman SMPN 1 Pulau Derawan. Ada getar di hati yang tak dapat kugambarkan. Ada rasa yang tak biasa... Entah apa itu. Saat itu, sekolah tersebut nampak sangat kumuh. Catnya sudah kusam. Bangunannya terbuat dari kayu ulin dan berbentuk panggung. Sungguh kontras dengan sekolah tempatku bertugas sebelumnya. Aku disambut sangat ramah oleh para rekan pendidik SMPN 1 Pulau Derawan. ada yang langsung menuangkan teh manis, ada yang menanyakan perjalananku melintasi hutan di Bumi Borneo, bahkan mereka tak segan menertawai baju setelan berwarna hijau tua yang aku pakai, berhias bercak lumpur tanah kuning. Suasana kekeluargaan sangat terasa di sekolah ini. Rupanya sebagian besar dari mereka adalah pendatang. Ada suku Jawa, Bugis, Kutai, makassar, Toraja, Berau, Banjar, dan suku Bajau yang merupakan penduduk asli Kampung Tanjung Batu.. Dan di sinilah pengabdianku sebagai seorang pemegang NIP dimulai... Tenangkan hati sambil merapalkan doa. Doa yang dibaca ketika sampai di tempat yang dituju.

اللّٰهُمَّ إِنِّىْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ أَهْلِهَا وَخَيْرَ مَافِيْهَا وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ أَهْلِهَا وَشَرِّ مَافِيْهَا

“Ya Allah, saya mohon kepada-Mu kebaikan tempat ini dan kebaikan penduduknya serta kebaikan yang ada di dalamnya. Saya berlindung kepada-Mu dari kejahatan negeri ini dan kejahatan penduduknya serta kejahatan yang ada di dalamnya.”

Temani aku yaa Rabb... kusandarkan segala asa hanya padaMu, yaa Allah. Tiada sesiapapun di dunia ini yang kuasa selain diriMu, maka bantulah aku melangkah, kuatkan aku...

#TantanganHariKedua

#TantanganMenulis30Hari

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Masya Allah bu.

18 Mar
Balas



search

New Post