Koreksi Warna - Warni
Alhamdulillah, akhirnya setelah berjuang membelah jalan. Walau tak sampai 2 jam, waktu 25 menit sangat terasa. Akhirnya motorku berbelok dan masuk tepat dari pintu gerbang samping. Inilah kelebihan jika pengendara dan motornya sudah sefrekuensi.
Alasannya sederhana, hemat waktu, hemat energi ples hemat cuan juga. Mungkin juga ketularan kebiasaan ngitung-ngitung fisika. Hubungan antara jarak, waktu, dan kecepatan memang nggak bisa dipisahkan, seperti kembaran setali pusat saja.
Semenit berikutnya, pintu samping itu digembok oleh Pak Wawang, satpam sekolah kami. Untung aku sudah menerbangkan motor kesayanganku terlebih dahulu ke tempat parkir. Kalau tidak ya harus mutar balik, dan masuk lagi tiga per empat lingkaran. Capek deeh.
Alhamdulillah, aku masuk dari pintu samping. Alasannya sederhana: hemat waktu. Mungkin kebiasaan ngitung-ngitung fisika. Hubungan antara jarak, waktu, dan kecepatan memang nggak bisa dipisahkan—kayak kembaran setali pusat aja.
Semenit berikutnya, pintu samping itu dikunci oleh Pak Wiwing, satpam sekolah kami. Untung aku sudah menerbangkan motor kesayanganku ke tempat parkiran.
Kulihat, Ibu Kepala Sekolah baru saja meninggalkan lapangan depan. Seperti biasa, beliau berdiri bersama beberapa guru atau staf menyambut anak-anak yang hadir ke sekolah.
Dengan langkah setengah seribu aku menuju pintu masuk ke area gedung sekolah, tepatnya pintu dekat ruang piket. Kulihat Pak Abim dan Pak Iqbal baru akan meninggalkan pintu itu. Kupikir dikunci, padahal enggak—cuma ditutup doang.
"Aku datang," kataku sok ramah. Mereka tersenyum dan ikut menyapaku.
"Hai Bu Nur..."
Aku langsung menuju mesin absensi yang terpasang di dinding dekat pintu ruang tata usaha. Tanpa membuang waktu, kusentuh mesin itu dengan telunjuk kananku. Khawatir menolak kehadiranku, kusentuh dia selembut embun pagi. Ah, bener saja—hari ini dia baik hati, cukup sekali sentuh langsung meresponku.
"Thank you," jawabnya sambil mengedipkan matanya. Sinar hijau matanya seketika membuat hatiku lega. Angka di mesin itu berubah dari 6.30 menjadi 6.31. Mungkin karena sentuhannya terlalu lembut... atau dia sedang menyesuaikan diri dengan matahari yang sinarnya kini makin berani. Tidak seperti tadi saat mengiringi perjalananku—lembut sekali, seperti benang cahaya yang menari di balik bayang-bayang, menyusup di antara dedaunan yang masih mengantuk.
Mataku menyapu sekeliling. Luar biasa, tidak seperti biasanya. Suasana alam sekolahku begitu tenang. Jadi ingat musim ujian nasional beberapa tahun lalu. Tidak ada anak-anak yang wara-wiri di pelataran, di lapangan sekolah, bahkan kantin pun sepi dari kehadiran mereka.
Aku jadi mikir, apakah ada kejadian tertentu? Untuk sesaat kubiarkan pikiran liarku...
Aku berdiri sekejap sebelum membuka pintu ruang guru lantai dua. Di depan pintu aku berpapasan dengan Bu Sondang. Dengan semangat pagi yang semakin menyala, seakan mengantarkan kepergian ibu muda yang cantik ini ke ruang kelas. Sedetik berikutnya Bu Ronna membuka pintu—seakan tahu aja kalau aku mau masuk ke dalam. Kulihat wajahnya yang cantik tersenyum padaku.
"Assalamualaikum," sapaku ketika kaki kananku masuk ke ruang guru ini. Ini salah satu ruang yang paling aku demeni. Beberapa teman senasib seperjuangan sudah duduk manis di meja mereka dengan aktivitas yang berbeda. Sementara yang lainnya sudah terbang ke kelas—anak-anak di kelas sudah menunggunya.
Aku menyalami teman-temanku satu per satu. Sesekali terdengar canda tawa. Ah... ruang guru ini memang tak pernah sepi canda tawa. Inilah kenapa aku betah dan merindui mereka.
Setelah mengatur napas beberapa saat, aku menduduki kursiku.
Aku baru meletakkan pantatku—eh, maksudku, bagian belakang tubuhku—di kursi. Mejaku penuh dengan buku anak-anak. Pinginnya mereka tidak usah mengumpulkan buku, tapi aku juga perlu nilai mereka. Tidak mungkin aku mengarang bebas nilai mereka tanpa bukti bahwa mereka belajar dan menyelesaikan tugas yang kuberikan.
Salah satu kelemahanku adalah tak bisa merekayasa nilai. Aku terbiasa dengan data. Aku pikir bukan aku saja sih, pastinya teman-teman seprofesi denganku mengalami nasib yang sama: nggak bisa ngarang nilai.
Kalau tidak dieksekusi, buku-buku itu terus bertambah. Entah sudah berapa hari buku mereka ngekos di mejaku. Tiap hari aja bertambah aja peminatnya. Mungkin karena aku nggak pernah menutup pintu dan selalu membukanya. Pantas saja kosan untuk buku mereka terus meninggi tumpukannya. Aku khawatir, aku tinggal saja tanpa mereka bisa melihat sosokku yang duduk di balik tumpukan buku mereka.
Padahal aku mengajar lima kelas. Bayangkan kalau satu kelas 36 anak. Lumayan banyak tuh buku. Bisa-bisa susunan buku itu lebih dari tinggi badan aku. Gimana kalau aku mengajar 12 kelas atau lebih seperti beberapa temanku ya? Hehe
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar