Nur Amami Liwallidaini

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Infak dari Almarhum dan Almarhumah

Infak dari Almarhum dan Almarhumah

Oleh: Nur Amami Liwallidaini

Sang fajar mulai menyingsing, perlahan lenyap digantikan sinar mentari yang mulai terbit di ufuk timur. Suara gema takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil berkumandang tiada henti bahkan dari semalam hingga subuh dini. Pertanda lebaran haji yang dinanti telah datang kembali. Beberapa orang sudah lalu-lalang hendak ke mesjid untuk melaksanakan sholat idul adha.

Benar saja, mesjid Jabal Nur sudah mulai sesak dipenuhi oleh warga. Kalau hari biasanya tak seberapa jemaah yang muncul ke mesjid ini untuk beribadah. Itu terbukti kalau diperhatikan mereka yang setia sholat di sini hanyalah para camat saja, alias (calon mati). Hal ini terlihat dari usia mereka yang sudah beranjak senja, itupun tidak beberapa orang pula. Satu shaf saja sulit ditemukan, apalagi shaf pria, terkadang hanya ada Pak Sholeh, dan marbot mesjid saja yang selalu setia.

Tapi hari ini sungguh luar biasa. Mereka datang berduyun-duyun entah berasal dari sarang mana saja hingga mesjid ini terisi penuh bahkan sampai ke teras luarnya. Kalau diperhatikan yang datang ini wajah-wajah baru semua, mulai dari anak kecil sampai yang tua tak ketinggalan hadir di sana.

Seperti biasanya, Pagi itu sebelum sholat idul adha berlangsung, Pak Sholeh sebagai pengurus mesjid memungut infak kepada para jemaah. Pak Sholeh dibantu oleh beberapa orang hadirin untuk memungutnya dengan menjalankan kotak infak yang berupa ketiding kepada semua jemaah yang hadir.

Saat lebaran ini biasanya jemaah selalu berlomba-lomba untuk bersedekah. Namun aneh untuk lebaran kali ini ketiding tersebut tidak begitu berisi sudutnya. Sangat berbeda dari lebaran-lebaran sebelumnya, padahal ketiding itu sudah beberapa kali mondar-mandir hingga lelah mulai dari shaf paling depan sampai paling belakang. Namun tak jua isinya bertambah, hanya terdapat beberapa goceh di dalamnya.

Apakah lantaran sawit murah, sementara harga-harga kebutuhan lainnya meroket naik, hingga membuat jemaah enggan bersedekah? Begitu yang terbersit di benak Pak Sholeh. Karena merasa malu juga kepada Uztad pengisi khotbah hari itu yang sengaja diundang dari luar kota. Betapa tidak, masa infak mesjid yang di dapat sedikit sekali, tidak sebanding dengan hadirin yang datang melimpah ruah, sampai-sampai ke teras mesjid tak ada tempat kosong yang tersisa.

Sejenak Pak Sholeh terdiam tak bergeming tanpa kata dan geleng-geleng kepala. Dari wajahnya terlukis kekecewaan kepada jemaah yang hadir, mengapa begitu pelit sekarang mereka bersedekah, apakah gerangan masalahnya? Kembali Pak Sholeh menatap wajah-wajah jemaah dengan penuh tanda tanya yang berkecamuk di benaknya.

"Ada apa? Ada apa?" Begitu pikir Bapak separoh baya ini.

Seketika itu berdirilah Sang Uztad yang akan menyampaikan khotbah sholat idul adha nantinya. Sembari dia berkata.

"Maaf, Pak pengurus boleh hamba angkat bicara."

Sela Uztad yang memakai sorban berwarna putih itu dengan penuh wibawa.

"Boleh sekali Uztad, silahkan!"

Pak Sholeh memindahkan mikrofon yang dipegangnya ke tangan sang Uztad. Belum sempat Uztad berbicara. Tak beberapa lama terdengar pula suara dari shaf Ibu-Ibu.

"Uztad ini ada beberapa amplop dari jemaah." Ujarnya.

Dilihat oleh sang Uztad kiranya benar ada beberapa amplop besar tebal yang dibawah ke depan pengurus. Hitungan detik kemudian menyusul kembali beberapa amplop lagi. Hingga puluhan amplop besar dan tebal sudah sampai ketangan pengurus mesjid.

"Luar biasa juga." Senyum semringah mulai terpancar dibibir Pak Sholeh dan sang Uztad.

Namun ada yang mengganjal dan terasa aneh, karena puluhan amplop yang terkumpul itu disampul depannya selalu bertuliskan kalimat.

"Infak dari Almarhum Suami Hamba Allah di Surga".

Kemudian ada lagi amplop yang sampulnya tertulis.

"Infak dari Almarhum/almarhumah Orang Tua Hamba Allah di Surga."

"Infak dari Almarhum Anak Hamba di Surga."

Begitu seterusnya sampai seluruh amplop sudah selesai terbuka. Semuanya berasal dari Almarhum/Almarhumah yang beralamatkan surga. Dilihat jumlah nilainya lumayan besar-besar juga. Paling rendah setiap amplop berisi delapan helai uang kertas merah. Coba bayangkan, Itu jumlah yang paling minim, Bahkan ada yang isinya sampai tujuh puluh lembar uang kertas merah. Wah...Wah...betapa luar biasa bukan.

Kejadian ini membuat Pak Sholeh bingung dan terperanjat. Dia merasa ada hal yang aneh dalam lebaran idul adha kali ini. Biasanya banyak juga yang ngasih amplop untuk bersedekah, tapi tidak memiliki nama, kalaupun ada pasti langsung ditulis nama sipengirim amplop tersebut, seperti dari Nurbaiti Sekeluarga, dari Hamdan Sekeluarga, ataupun dari hamba Allah saja. Dan bagi hadirin yang ingin menginfakkan orang tua, atau suami, istri yang telah meninggal dunia, pasti disampaikan secara langsung. Misalnya infak untuk orang tua Sifulan, infak untuk suami/isteri Sifulan.

Namun, kali ini benar-benar berbeda. Entah siapa dalang yang punya ide seperti ini. sehingga setiap amplop yang diterima itu seolah-olah kompak sudah janjian dengan kalimat yang bertuliskan sama yaitu dari almarhum/almarhumah semuanya yang beralamatkan Surga. Subhanallah begitu luar biasanya bukan? Sampai-sampai mereka yang meninggal pun masih sempat mengirimkan infak ke dunia dengan jumlah nominal yang luar biasa pula besarnya. Hahahaha... gurau Pak Sholeh dalam bathinnya.

Tanpa pikir panjang lagi. Pak Sholeh langsung menyampaikan kepada Uztad. "Subhanallah Uztad, amplop ini dari almarhum/almarhumah semuanya."

Sambil menunjuk tulisan yang ada di depan sampul amplop tersebut.

Mendengar hal ini, Uztad langsung berbicara kepada jemaah yang hadir.

"Alhamdulillah, hari ini kita banyak dapat kiriman infak dari saudara-saudari kita di surga, dari mereka yang telah mendahului kita, Masya Allah berkah yang tak terduga, rasa syukur tiada tara, saya merasa bangga bisa berkhotbah di sini, ternyata almarhum suami dan orang tua Ibu/Bapak sekalian masih sempat mengirimkan uang dari surga. Benar-benar luar biasa, bukan? semoga bisa jadi ladang pahala untuk mereka."

Ucap Uztad dengan senyuman yang berbinar dari bibirnya dihiasi wajah gembira yang bergelora.

"Allahu Akbar."

Serunya beberapa kali sambil mengangkat tangannya yang terkepal.

Mendengar ucapan dan reaksi Uztad tersebut, semua jemaah sholat id tampak kebingungan wajahnya, diantara mereka ada yang tertawa, dan ada pula yang menangis haru seketika. Kemudian buk Fatimah mengacungkan jempolnya dan seraya bertanya.

"Maksud Uztad, orang yang meninggal itu ngirim duit, kok bisa yah?"

"Iya Bu, ini buktinya." Sambil mengangkat beberapa amplop yang berada ditangan kirinya.

"Banyak infak atau sedekah yang masuk hari ini dari Almarhum suami dan orang tua hamba Allah yang beralamatkan Surga. Masya Allah ternyata orang-orang yang sudah meninggal dan mendahului kita masih menyempatkan waktu untuk mengirimkan duit ke dunia untuk bersedekah. Nah, Akankah kalah kita dengan mereka?"

Ujar Uztad memancing selera para jemaah.

"Wow luar biasa Uztad, lewat apa mereka kirim? J&T, JNE atau sicepatkah Uztad? Masalahnya kalau anak-anak saya di rumah yang ngantarin paketnya kurir J&T, JNE, kadang-kadang juga sicepat Uztad."

Terdengar celoteh Bu Amay dari shaf paling belakang mulai ngawur berkomentar.

Seketika suara mereka terdengar riuh di mesjid. Langsung Uztad menenangkan suasana.

"Baiklah, Bapak Ibu sekalian, dengan apapun mereka kirim, gak perlu jadi beban pikiran, ambil hikmahnya dalam peristiwa ini, mereka yang sudah tiada masih ingat untuk bersedekah, masa kita yang hidup kalah dengan mereka?"

Tegas sang Uztad kembali.

"Fastabiqul khairat artinya berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan, Mari Bapak Ibu, siapa yang mau menambah sedekahnya, bersegeralah, sebelum kita mulai sholat id. Ini adalah amal jariah yang pahalanya akan terus mengalir dan tidak akan terputus yang akan kita terima di akhirat nantinya"

Pancing Uztad kembali dengan semangat yang bergelora.

Seketika itu juga seluruh jemaah langsung meraih poncinnya masing-masing dan meraba uang yang berada di dalamnya. Mulai dari kertas merah, sampai gocehpun keluar mengalir dengan derasnya. Hingga ketiding yang awalnya tadi cuma berisi sudutnya saja. Sekarang puluhan ketiding itu sudah terisi penuh berlimpah ruah. Dan bahkan ada beberapa jemaah yang menampung infak dengan mukenahnya, merunduk-runduk berjalan mengantarkannya menuju barisan depan. Tempat dimana infak itu dikumpulkan.

"Alhamdulillah, Terima kasih para penghuni surga."

***

Ranah Pesisir, 11 Juli 2022
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post