Nur Aisiyah

Menjadi guru IPA di MTs Darul Huda Ponorogo sejak tahun 2005 sampai sekarang. Pemerhati lingkungan dan budaya. Tinggal di kabupaten Ponorogo....

Selengkapnya
Navigasi Web
Cumbu Rumbai Sajadah (bag. 16)

Cumbu Rumbai Sajadah (bag. 16)

Edisi : Emban Cindhe Emban Siladan

Olehb: Nur Aisiyah

 

 

Dret….dret…dret!

Kutunggu di kedai Gusti Sekarang!

Kubaca pesan whatshapp dari bu Kusuma. Jam sebelas. Ini artinya dua jam aku tepekur di serambi mushola ini. Beruntung tak ada orang yang mampir jadi tak ada yang mengusikku. Ataupun membuatku salah tingkah.

Jarak antara mushola dengan kedai Gusti sekitar satu setengah kilometer. Jadi hanya butuh sekitar tujuh menit untuk sampai disana. Setiba di kedai Gusti aku sudah melihat keempat temanku duduk mengitari satu meja. Di depannya tersaji jus jeruk, kelihatan masih utuh. Kulihat dari kejauhan tak nampak senyum, sekalipun tipis menyambutku. Kuambil kursi lalu bergabung dengan mereka.

"Bagaimana bu Dewi?"

"Tadi aku diberi pilihan bu, antara memilih mengundurkan diri atau memutasikan anakku ke sekolah mereka."

"Lho, koq aneh, ya. Sama sama tersandung pelanggaran karena kita dianggap salah telah menyekolahkan anak kita di luar, tetapi putusan pimpinan berbeda beda di antara kita?"

Akhirnya aku tahu bahwa memang putusan yang diberikan pada kami tidaklah sama. Bu Ridho masih diberi kesempatan untuk mengajar lagi. Bu Laila dan Bu Rossa  diberi kesempatan mengajar tapi saat SMA anaknya wajib sekolah di lembaga sini.  Sementara bu Dawiyah langsung dieksekusi untuk mengundurkan diri. Dan aku, bu Naima dan bu Kusuma diberikan pilihan yang sama. Entah yang lain bagaimana putusannya aku belum tahu. Kami semua masih shock. Tak mengira dengan putusan pimpinan yayasan maupun kepala sekolah.

"Kenapa harus aneh? Ingat tidak dulu saat pemanggilan pertama kalian semua mendengar bahwa tidak ada kewajiban memutasi hanya disarankan. Juga ketika salah satu dari kita bertanya apakah saat SMA wajib sekolah di sini? Semua mendengar tidak kan? Lalu kebijakan itu sekarang berubah." Sela bu Kusuma. Nada suaranya tertahan. 

“Emban cindhe emban silaban”

“Apa itu bu Dewi?” Hampir berbarengan mereka bertanya.

“Ibarat anak. Yang satu digendong dengan kain sutra, yang lain digendong menggunakan sembilu yang bisa mencelakai. Nampak sekali perlakuan diskriminatif pimpinan yayasan dan kepala sekolah pada kita.”

“Ya, betul. Ini barusan Pak Bahrun dan Pak Zanuar mengabarkan ke aku kalau dia tidak divonis apa apa. Hanya disuruh menghadap bapak pengasuh.” Bu Naima menyela

Aku lihat bekas embun masih menyisip di sudut mata bu Kusuma. Dia yang selama ini kukenal dengan pribadi periang ternyata bisa menangis juga.

Ingatanku menelusur sebulan lalu. Semua yang dikatakan teman teman benar adanya. Sub pasal yang didakwakan itupun sebenarnya secara tertulis tidak ada. Hanya penafsiran secara deskriptif dan klise. Kami terlalu polos untuk memaknainya. Adil tidak harus sama. Namun pemberian putusan berbeda pada kasus sama. Apakah ini bisa dibilang sebuah keadilan?

“Meski saya masih diberi kesempatan mengajar satu tahun lagi. Saya tadi langsung memberikan putusan mengundurkan diri, bu Dewi.” Bu Rossa berucap lirih.

“Kenapa?”

“Semalam saya dan suami sudah berdiskusi. Tak baik juga mekso laku. Apalagi kalau niatan kita beribadah. Tak baik juga dipaksa paksa.”

“Saya menerima putusan ini. Tapi saya menyayangkan proses eksekusinya. Saya yang baru enam tahun mengabdi saja tersayatnya rasa begitu dalam. Apalagi ibu ibu yang jauh lebih lama daripada saya.” Tambahnya. Masa pengabdian kami yang tersandung kasus ini beragam. Semuanya berada diantara dua belas sampai Sembilan belas tahun.

“Sekolah diluar sudah memulai kegiatan pembelajarannya. Tiga minggu lalu. Tentunya jadwal sudah tertata. Mungkinkah kita dapat tempat di sekolah lain?”

Suara kami saling bersahut sahutan. Sesekali terdengar hembusan napas dalam dalam. Dunia memang aneh. Entahlah, aneh untuk yang  kesekian kali.

“Apakah ini bagian dari skenario pak Dewa? Menyampaikan putusan disaat rumit seperti ini agar kita tetap menurutinya?”

“Selama ini seberat apapun tugas yang dibebankan meski terkadang bertolak belakang dengan hati kita. Kita berusaha sebaik mungkin menjalankan. Tapi putusan ini sudah menyangkut ranah pribadi. Kita getol mengajari anak didik kita tentang makna toleransi dan menghormati kesepakatan serta hak asasi manusia. Tapi mereka sendiri melanggarnya.”

“Aku juga heran, Bu !” Bu Laila yang sedari tadi hanya terihat mengaduk aduk jus jeruknya angkat bicara.

"Sudahlah. Bagaimanapun kita mengelak itulah yang terjadi pada kita. Kita, khususnya aku. Aku bukanlah dari kalangan ningrat, tidak punya darah keturunan. Aku hanyalah pengabdi. Berusaha melaksanakan tugas tugasku sebaik mungkin. Sudah berusaha mentaati apapun itu. Karena aku sadar aku hanya buruh.  Kita hanya guru yayasan tidak punya kekuatan hukum, dan setiap saat memang bisa saja disepak."

Mataku menerawang diantara pucuk padi yang mulai menguning. Kedai Gusti memang berada diantara hamparan sawah. Menyenangkan sekaligus menggelikan. Pernah aku ke kedai ini malam hari sehabis hujan. Sepi. Hanya ada aku dan suamiku. Tak elak bunyi kodokpun terdengar bersahut sahutan.

  Ingatanku mencoba mengingat awal karierku. Aku diterima di SMP Ngangsu Kawruh dengan apa adanya. Mencoba sepenuh hati mendarmakan apa yang kupunya pada anak anak didikku. Rasanya senang sekali bisa bekerja sesuai keinginan hati nurani. Enam belas tahun bukan waktu yang sebentar. Dan kalaupun harus berakhir, rasanya tak perlu kusesali. Yang terpenting saat ini aku mampu membahagiakan anakku tanpa mengebiri haknya. Sehingga aku tidak merasa bersalah seumur hidupku.

Mengeluarkan kami itu adalah hak mereka. Namun tak bisakah sedikit santun seperti halnya ketika pertama kali mereka menerima kami. Saat tenaga dan pikiran kami dibutuhkan. Apakah mereka tak ingat pengorbanan kami saat bersama sama membesarkan yayasan mereka ? Apalagi ditengah masa pandemi seperti ini ?

 "Bagaimana nanti aku harus menyampaikan ke anakku?" Bu Laila menyela. Entah sudah berapa tissu ia habiskan untuk mengeringkan airmatanya. Aku tahu posisinya sangat sulit. Aku ingat tiga minggu lalu dia sempat cerita kalau putranya menderita magh dan sering kambuh. Makanya bu Laila memasukkan ke sekolah dekat rumah yang tidak fulltime. Berharap hal tersebut sedikit bisa meringankan sakit anaknya.

Semua membisu. Kami menjelajah dengan pikiran kami masing masing. Allohu Robbi, kutatap satu satu netra itu. Mata yang sebelumnya bening penuh harapan. Karena yakin pada hasil pertemuan sebulan lalu. Namun kini diujung kecewa. Haruskah kami betul betul harus bercerai berai? Hanya karena tidak ada pilihan yang ditawarkan sebagai sebuah solusi yang berpihak pada kami?

Kurengkuh jemari tangan mereka. Berpaut dalam satu genggaman. Isakan ini tak terelakkan. Bahu kami berguncang. Kami tak peduli berapa pasang mata mengarah ke kami. Isakan bu Ridho terdengar paling kencang. Ia adalah satu satunya teman kami yang masih diberikan kesempatan mengajar meski anaknya juga bersekolah diluar lembaga. Tangannya memegang tangan kami, erat. Walau ini bukan pertemuan terakhir. Tapi tentu akan berbeda setelah rasanya setelah ini.

Bu Dawiyah lirih berkata, "Setelah ini kita harus pulang. Kita harus memberitahu pada keluarga kita. Meski berat tetap harus kita sampaikan. Yakinlah Alloh bersama kita. Mungkin saat ini kita merasa terdzolimi. Tapi yakinlah suatu hari Alloh pasti membalas pengorbanan kita. Kita adalah ibu tangguh. Yang selalu menomorsatukan kebahagiaan anak anak kita. Yakinlah suatu hari, kita, anak kita dan keluarga kita akan tersenyum dengan keputusan ini."

Angin diluar berhembus tipis. Buaiannya sedikit menenangkan batin kami. Tenggorokanku rasanya masih tercekat. Namun kupaksakan membuka suara.

"Begitu berat ternyata menggulawentah anak. Aku tak tahu ini ujian atau musibah. Tapi akupun percaya kita adalah pelangi bagi anak anak kita. Yang bisa mendatangkan matahari usai turunnya hujan. Pelangi yang setiap saat memberi warna kehidupan. Tidak hanya satu tapi beragam warna. Dan dibalik warna pelangi, ada yang paling dirindukan oleh anak anak kita, yaitu ridho kita. Ridho seorang ibu kepada anak anaknya."

Alhamdulillah. Kami akhirnya bisa sedikit tenang. Setelah ini kami sepakat, meski sudah tidak bekerja dalam satu tempat. Kami akan tetap menjaga silaturahmi. Meski kami belum tahu akhir dari takdir hari ini. 

Kami pulang

Kami kalah dalam prinsip dan harus menerima konsekuensi resiko atas semuanya. Namun kami menang atas hati kami. Jejak Pelangi  kami di SMP Ngangsu Kawruh itu bisa saja menghilang. Namun kami akan menjadi pelangi bagi anak anak kami yang jejaknya akan selalu dirindui. Saat ini dan selamanya.

Sekar Telon, 4 Pebruari 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post