Nur Aisiyah

Menjadi guru IPA di MTs Darul Huda Ponorogo sejak tahun 2005 sampai sekarang. Pemerhati lingkungan dan budaya. Tinggal di kabupaten Ponorogo....

Selengkapnya
Navigasi Web
Cumbu Rumbai Sajadah (7)

Cumbu Rumbai Sajadah (7)

Pov : Terang Tapi Suram

Oleh : Nur Aisiyah

Menyusuri sepanjang koridor ditemani bunga bunga dalam pot yang cantik menambah imun tersendiri. Sedikit menekan gemuruh dan rasa nano nano yang merayap dada sejak berangkat sekolah tadi.

Sekolahku terdiri dari beberapa gedung megah. Yang masing masing gedung mempunyai nama sendiri sendiri. Gedung Shofa untuk tempat belajar siswa putri SMP, gedung Marwah untuk tempat belajar siswa SMA putri. Diseberangnya ada gedung Muzdalifah sebagai asrama santri putri. Tak jauh dari kompleks pesantren putri ada beberapa gedung tempat belajar santri putra dan asrama santri putra. Seluruh ruangan dalam gedung gedung tersebut dicat dengan nuansa hijau muda berselang hijau tua. Di depan gedung dan setiap sudut bangunan dihiasi dengan beberapa bunga bunga yang ditanam di pot pot dan pohon ukuran sedang. Ada pohon sawo kecik, palem dan beberapa pohon mangga. Yang buahnya tak pernah aku lihat sampai tua. Karena setiap pohon itu nampak berbuah selang satu minggu pasti sudah hilang. Buah buahan itu selalu menjadi incaran santri santri disini. Dan ini menjadi hiburan tersendiri bagi para santri pesantren ini.

Suasana sekolah mulai ramai. Namun sepanjang perjalanan ke sekolah jalanan tak terlalu ramai. Mungkin dikarenakan kegiatan pembelajaran jarak jauh yang masih diberlakukan dibeberapa sekolah. Pandemi masih bergejolak. Banyak sektor kehidupan yang terpengaruh karenanya. Dan untuk mengimbanginya tentu banyak kebijakan kebijakan baru yang harus diberlakukan sebagai bentuk adaptasi. Pun dengan SMP Ngangsu Kawruh. Karena berada di dalam pondok maka untuk siswa yang mukim tetap diberlakukan pembelajaran tatap muka. Namun untuk siswa laju diberlakukan pembelajaran secara jarak jauh atau daring.

"Pagi Bu Dewi...!"

"Pagi juga pak, maaf kalau kedatangan saya mengganggu bapak."

Ruangan kepala sekolah ini sudah banyak berubah rupanya. Aku ingat terakhir masuk ruangan ini sekitar enam bulan yang lalu saat minta tanda tangan untuk kepentingan pemberkasan. Ada pot bunga anggrek, yang ditempatkan disudut ruangan. Anggrek merpati. atau mempunyai bahasa ilmiah Dendrobium crumenatum. Anggrek ini bentuk bunganya mirip kepakan sayap merpati, berwarna putih, berbau harum namun tak bertahan lama mekarnya. Bunga anggrek ini termasuk bunga yang gampang perawatannya. Mempunyai daya adaptif yang tinggi. Sehingga anggrek jenis ini dapat ditemui didataran tinggi maupun dataran rendah.Aku juga punya dua pot dirumah hasil mbolang setahun lalu saat ke rumah mertua. Kebetulan rumah mertua dekat hutan. Jadi kami bisa ambil beberapa pohon. Pantas saja ketika aku nyampek pintu tadi sudah kecium bau harum. Dari anggrek ini rupanya.

Pak Aryo Dewanto,

Masih terkesan sama saat aku pertama kali mengajar disini. Diam, kurang responsif dan jarang senyum. Sungguh aku sebetulnya sangat malas berhubungan dengannya. Dalam hati aku takut terjadi sesuatu gara gara masalah ini. Bisa saja dia merasa aku permalukan. Apalagi ini adalah masalah pribadi. Tapi itu kan sudah jadi resiko seorang kepala sekolah Aku ingin menemukan titik terang. Itu yang mendorongku sampai diruangan ini. Aku wajib memperjuangkan apa yang menjadi hak anakku. Sebagai orang tua aku tertib melaksanakan kewajiban. Meski aku tak mendapatkan prioritas sepeserpun. Biaya sekolahpun sama dengan yang lainnya. Bahkan aku masih ingat ketika aku belum bisa membayar biaya bulanan dan esoknya akan dilaksanakan ujian. Anakku juga minta surat rekomendasi ikut ujian yang ditandatangani kepala sekolah dan panitia ujian sama seperti teman temannya lain yang belum bisa melunasi administrasi keuangan.. Padahal waktu itu aku sudah mencoba menyampaikan kepada wali kelas kalau tunjangan profesiku belum cair. Sedang sumber keuangan lain aku tidak punya.

Seminggu lalu aku menyampaikan keinginanku untuk bertemu secara privacy dengan Pak Dewa dan baru hari ini dipenuhi. Besar kemungkinan beliau juga sudah berkoordinasi dengan tim pengolah nilai dan tim penulisan ijazah.

Sarapan dan doa menjadi amunisiku pagi tadi.

“Sebelumnya saya minta maaf Pak Dewa, tiada maksud apapun. Kehadiran saya disini karena saya berkepentingan sebagai wali murid, bukan sebagai guru. Saya hanya ingin memperjuangkan hak anak saya, Wedha.”

Aku berusaha bicara serendah mungkin dan menunduk. Aku juga tak berani menatap bahkan melirik beliaupun tidak.

“Sebulan lalu dan beberapa minggu terakhir saya sudah menemui Pak Ganjar dan Pak Danu. Sudah saya sampaikan permasalahan saya. Namun belum menemukan solusi yang bisa saya terima seratus persen. Dan daripada kepikiran saya memberanikan diri menghadap bapak. Maaf sekali lagi atas kelancangan dan keberanian saya.”

Entah mendapat kekuatan dari mana. Saya keluarkan semua uneg uneg. Walau sebagian teman temanku menyarankan kepadaku agar menghentikan langkahku ini. Mereka takut aku kena apa apa. Semua teman teman disini paham betul bagaimana watak Pak Dewa. Jangankan aku yang hanya orang luar. Teman teman yang keluarga ndalempun berani beliau tindak untuk sebuah kesalahan yang sebenarnya sepele dan tidak prinsipiel. Atau kesalahan itu terjadi karena suatu alasan yang sebenarnya masih bisa dimaklumkan.

Kekuatan hati seroang ibuku berontak. Aku tak bisa memungkiri ini. Aku sadar aku diposisi yang lemah. Sebagai ibu dan sebagai orang tua apakah pantas dan dibenarkan melihat dan melakukan pembiaran atas sebuah ketidakbenaran? Ini sebuah pendzoliman.

Aku miskin. Aku tidak berasal dari kalangan ningrat dan keluarga kyai. Namun aku dan anakku juga manusia yang pantas mendapatkan perlakuan sama.

Kuangsurkan surat keterangan yang masih tersimpan ditas. Berharap beliau mau menandatangani surat keterangan tersebut. Agar nantinya ijazah itu bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Pak Dewa menerima surat keterangan tersebut dan membacanya.

Sekilas.

Aku bertambah yakin kalau sebelumnya beliau sudah pernah membacanya.

“Saya tidak bisa menandatanganinya, Bu !”

“Kenapa ?”

“Suatu hari nanti malah akan kesulitan sendiri saat ada kepentingan upload ijazah.”

Hariku bertanya, benarkah ? Aku sudah sering melihat beberapa ijazah yang dilampirkan surat keterangan. Dan aku belum pernah mendengar adanya kesulitan seperti itu.

“Lalu, apakah dibiarkan seperti ini apa adanya?”

“Apakah ini tidak merugikan anak saya?”

“Sebenarnya untuk kasus yang kekeliruannya sedikit bisa diatasi dengan menghapus pakai penghapus pensil secara hati hati. Tapi masalahnya kesalahan ini sangat banyak dan fatal.” Jawaban Pak Dewa terdengar datar tanpa beban. Gantian hatiku yang meronta ronta Tetap berharap ada celah solusi.

“Lagian ini kan masih ijazah SMP Bu Dewi.”

Kuremas kedua jariku. Aku menunduk. Sedemikian diremehkannya ijazah setingkat SMP. Diera milenial seperti ini ijazah memang cenderung dikesampingkan. Dunia kerja mulai mengutamakan ketrampilan dan itu dibuktikan dengan praktek bukan tulisan nilai di selembar kertas. Aku paham betul. Namun setingkat jabatan seorang kepala sekolah apa pantas beliau mengatakan ini. Didepan bawahannya lagi. Apa tidak terpikirkan kalau ini menodai citra pendidikan Pesantren dan juga Negara Indonesia. Kutarik napas dalam dalam. Tak menyangka mendengar ucapan tersebut dari seseorang yang seharusnya menjunjumg tinggi marwah pendidikan.

“Maksud saya bukan seperti itu, Pak. Saya hanya ingin memberikan hak anak saya karena memang dia berhak atas ini. Terlepas apakah ijazah itu nanti digunakan atau tidak.”

“Maaf kalau permintaan saya terlalu berlebihan.”

Kualihkan pandanganku ke bunga anggrek dipojok ruang itu. Kami terdiam. Otakku berselancar. Berpikir sesaat. Kesalahan proses penyalinan nilai ini tentunya tidak menutup juga kesalahan penulisan siswa satu kelas. Mungkinkan ini yang menyebabkan beliau tidak mau menandatangani surat keterangan ini?

Masalah ini sebenarnya sederhana tapi kenapa penyelesaiannya begitu rumit. Aku menerima kesalahan ini, tulus. Anakkupun sudah tak membahas ini lagi.

Lima menit

Diam

Delapan menit

Hening

“Baiklah. Kalau memang tidak ada solusi atas masalah ini. Saya permisi.” Kubuka suara. Rasanya tak ada guna aku berlama lama disini.

Seperti biasa beliau hanya diam.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam”

Aku meninggalkan ruangan ini dengan tanpa rasa. Kuangkat kedua tanganku. Aku menyerah. Aku kalah.Aku pulang. Seperti seorang tentara yang pulang dari peperangan. Akan kukabarkan ini pada Wedha. Apa adanya. Akan kubesarkan hatinya. Akan kusembuhkan luka hatiku sendiri. Akan kumenangkan perang batinku.Berdamai dengan keadaan, bercinta dengan takdir. Sebuah takdir untukku dan anakku. Meski tidak berhasil usaha hari ini namun aku bangga. Setidaknya aku sudah mengusahakan semampuku.

Joglo Batharakatong, 5 Januari 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren, buk.

05 Jan
Balas

Nulisnya saya megap megap pak....suwun sampun mampir

05 Jan



search

New Post