Nur Aisiyah

Menjadi guru IPA di MTs Darul Huda Ponorogo sejak tahun 2005 sampai sekarang. Pemerhati lingkungan dan budaya. Tinggal di kabupaten Ponorogo....

Selengkapnya
Navigasi Web
Cumbu Rumbai Sajadah (3)
Gambar dari pinterest

Cumbu Rumbai Sajadah (3)

Oleh : Nur Aisiyah

"Bukan karena saya tidak profesional bapak. Tapi tadi sehahis menutup pintu dan bersiap berangkat tiba tiba ada tamu abah Coper. Beliau guru ngaji kami yang mampir sehabis tilik ibuknya di Begawan. Gak mungkin saya tidak berbasa basi mempersilahkan sekedar duduk di teras dan menanyakan kepentingan beliau. Walau saya tahu suami saya sedang tidak di rumah. Dan ini yang membuat saya telat pak."

Arya Dewanto.

Kami cukup memanggilnya dengan Pak Dewa. Beliau atasan kami. Selama aku mengabdi di MTS Ngangsu Kawruh ini sudah terjadi dua kali pergantian jabatan kepala sekolah. Berperawakan tambun dan rambut yang sedikit botak. Ups, aku tahu karena pernah memergokinya melepas peci pulang sekolah. Tangannya selalu melingkar ke belakang mengait satu sama lain. Setiap pagi sebelum jam masuk selalu menemani pak satpam di pintu gerbang. Kadang aku risih namun kupaksakan menunduk dan tersenyum walau aku tahu beliau tak pernah melihat senyumku. Koq bisa? Wong berjalan berhadapan saja sering melengos kalau sudah berdekatan. Untung beliau bukan tipeku jadi gak ilfil ilfil banget. Kadang aku geli juga wong sudah ada satpam ngapain juga berdiri di pintu gerbang. Tapi tak apalah, kami disambut serasa tamu. Tamu di rumah sendiri.

Matanya masih saja menatap keluar jendela. Ruang kepala sekolah ibarat ruang pesakitan bagi guru. Setiap guru yang masuk akan disorot tiap langkah kaki. Berdesas desus dan bergerombol serta aroma bisik bisik di kantor seketika menguar, menerka nerka kesalahan apa yang diperbuat. Murka apa yang akan tumpah. Sangsi apa yang dijatuhkan.

"Ya sudah kembali bertugas!" tanpa mengubah pandangan beliau menyuruh kembali ke kelas Aku langsung permisi dan mengucap salam. Apakah meninggalkan ruangan ini menyudahi masalah. Aku tak tahu pasti. Yang jelas setelah itu aku tidak diberi tugas tambahan sebagai pengawas ujian. Dan semua teman teman tak terkecuali aku menebak ini akibat ketelodoranku kemarin. Ya, sudahlah.

###

"Maaf bapak, bukannya saya menolak tugas ini. Tapi bayi saya masih dua bulan. Masih full asi saya tidak bisa meninggalkan Akila pada malam hari. Sementara untuk menitipkan pada simbahnya gak mungkin dan saya kasihan pada ibu saya yang sudah seharian mengasuh." Pagi ini kuberanikan menghadap Pak Dewa memohon keringanan agar aku dibebaskan memberi les. Toh masih banyak guru yang lain. Memang beberapa bulan lagi ujian nasional digelar. Dan untuk itulah sekolah kami mengintensifkan pelajaran dengan memberikan penguatan materi berupa les. Namun tidak seperti kebanyakan sekolah. Les ditempat kami diadakan pada malam hari. Karena sepanjang siang waktu anak habis untuk sekolah pagi dan sore. Biasanya diberikan tiga kali seminggu dari jam setengah tujuh dan berakhir jam setengah sepuluh malam. Beberapa tahun belakangan aku ikut menjadi pemberi materi. Dan ditahun ini namaku tercatut kembali. Seandainya kondisi waktu itu memungkinkan untuk pumping ASI mungkin aku akan melakukan. Tapi entahlah, pengetahuan tentang pumping belum kudapatkan. Diserahkan pada suami? Gak mungkin suami bisa menidurkan. Gusti,,,,arep golek upo koq cek abote.

Persis seperti yang kuduga. Tanpa menatap mataku yang berurai air mata menahan emosi. Beliau menggelengkan kepala. Lunglai kurasakan. Sungguh hatimu sebeku es di frezer pak. Susah sekali menaklukkan egonya. Atau aku yang sebetulnya egois. Bayangan tangis Akila berkelebat. Maafkan ibumu, nduk. Yang sabar nggeh!

Menurutku ini masalah simple sebetulnya. Tinggal ganti namaku dengan nama guru lain. Selesai bukan. Toh masih banyak yang lain yang mungkin lebih longgar dan single. Dan tentunya mereka pasti senang karena amplop akhir tahun akan menjadi sangu liburan.Tapi itulah, bapak Aryo Dewanto seorang yang sukit ditebak jalan pikirannya dan kami harus senantiasa mahfum kepadanya Aku memang cengeng. Tapi tak boleh berlarut karena aku juga tulang punggung keluarga. Ya, meski ekonomi adalah tanggungjawab suami namun hanya mengandalkannya tak cukup.

Inilah aku. Seorang honorer sekolah swasta. Yang berusaha memerdekakan pikiran anak didik. Tapi belum bisa memerdekakan hak asasi sendiri Bahkan memperjuangkan hak anakku sendiri saja belum bisa. Menjadi guru itu pilihanku. Namun aku tak menyangka jika akan serumit ini. Kepalaku rasanya berdenyut denyut.

Semaksimal apapun aku melangkah nyatanya aku tidak bisa menjalankan tugas ini dengan baik. Sering tidak masuk karena Akila rewel gak mau ditinggal.

"Silakan pilih resign atau menjalankan tugas?" Pukulan telak kembali berdengung ditelingaku. Dalam hati kecilku nelangsa. Koq ada orang yang sukanya ngancam ngancam mulu. Dan pada akhirnya aku harus bersikap seperti singa tegas, tego dan mentolo pada anakku sendiri. Butue budal, sing ng omah rewel yo ws bien.

Meski terseok dan penuh drama alhamdulillah, empat bulan tugas ini mampu kuselesaikan.

Joglo Batorokatong, 30 Desember 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar Bunda. Semoga sehat dan sukses selalu.

30 Dec
Balas

Ya bunda. Terimakasih sdh mampir

30 Dec



search

New Post