Cumbu Rumbai Sajadah (2)
Oleh : Nur Aisiyah
Aku Cahyadewi.
Orang biasa memanggilku dengan sebutan Dewi. Aku tak tau siapa yang memberikan nama itu padaku. Pun aku juga enggan mencari tahu. Yang kutahu berdasarkan penuturan guruku saat SD dulu Cahyadewi artinya perempuan yang bersinar. Dan aku meyakini kedua orang tuaku memberi nama itu sudah tentu mempunyai cita cita kelak aku bisa menjadi penerang jalan, seperti yang tersirat dalam namaku.
Terlahir dari keluarga biasa bahkan mungkin bisa dikatakan tingkat perekonomian yang rendah membuat aku dan saudara saudaraku mendapatkan didikan yang keras. Kehidupan yang tidak begitu baik seakan cambuk bagi kami anak anaknya harus bernasib lebih baik. Bersekolah di sekolah negeri sudah menjadi sabda orang tua yang wajib kami patuhi. Nilai rapot dari tahun ke tahun harus lebih baik. Kalau tidak maka kami harus siap dengan amarah bapak. Dulu aku begitu membencinya. Aku kurang suka dengan perlakuannya. Namun seiring berjalannya waktu aku mulai mengerti dan sadar kenapa mereka bersikap seperti itu.
"Awas, jangan digerakkan lho ya. Anteng!" Aku ingat betul itu yang diucapkan bapakku saat aku dan teman temanku naik becak bapak yang terganjel batu. Teman teman saat SD suka bermain di rumahku sambil baca majalah Bobo yang kupinjam dari tetangga temanku, Naila namanya. Dia anak yang baik. Meski tak satu sekolah aku sering ditawari majalah yang dibelikan ayahnya. Tak jarang mungkin karena malas atau apa majalah yang masih barupun langsung dipinjamkan kepadaku. Ah, sudahlah! Tak paham aku dengan pemikiran mereka. Yang kuingat adalah keasyikan kami membaca sambil naik becak bapak sehabis andong.
"Itu telor dadarnya dibagi tiga dengan mas mu dan mbakmu. Segone durung mateng , diculik gak popo yen kesusu selak telat sekolah. Sek aku tak ndeplog telo dulu." Ucap mbokku suatu pagi. Mempunyai saudara banyak menjadikanku harus rela berbagi lauk. Cukup telor dadar dan nasi putih yang belum matang benar itu sudah terasa nikmat. Makan sambil nyebuli karena nasinya panas dan kami dikejar oleh waktu.
Orang tuaku wong ndeso dan lugu. Namun begitu aku begitu bangga. Terlebih sebagian cita cita beliau terkabul. Itu pula yang kemudian mendamparkan aku menjadi seorang guru honorer sebuah Pesantren di kotaku. Aku memilih mengabdi disini karena selain dekat dengan keluarga. Aku kepengen mendapat suasana yang berbeda. Aku kepengen ngangsu kawruh di sini. Sama namanya dengan sekolah yang kuabdi, MTS Ngangsu Kawruh. Dunia yang baru bagiku
Joglo Batorokatong, 29 Desember 2021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar