Nur Aisiyah

Menjadi guru IPA di MTs Darul Huda Ponorogo sejak tahun 2005 sampai sekarang. Pemerhati lingkungan dan budaya. Tinggal di kabupaten Ponorogo....

Selengkapnya
Navigasi Web
Cumbu Rumbai Sajadah (Bagian 15)

Cumbu Rumbai Sajadah (Bagian 15)

Edisi : Abakadabra Putusan Pungkasan

Oleh : Nur Aisiyah

Purnama sudah tenggelam beberapa hari lalu. Sinarnya tak lagi segar merona. Bentuknya tak lagi bundar sempurna. Hanya menyisakan sedikit semburat jingga. Tersapu angin malam. Namun aku cukup senang karena sinarnya mampu menemani perjalananku dari Pesantren usai kegiatan malam tasyakuran yang digelar habis isya dan berakhir sekitar pukul duabelas malam.

Malam ini aku merasakan kelelahan yang sangat setelah beberapa hari dihantan kegiatan Pesantren yang menyita waktu dan tenaga. Kegiatan Akhir tahun sangat banyak dan beragam. Dan tadi malam adalah puncak dari agenda tahunan tersebut. Malam Tasyakuran dan pengajian yang dipimpin langsung oleh pengasuh Pesantren.

Sesaat sampai di rumah aku segera beberes dan merebahkan diri. Ingin kupejamkan mata ini dan berlayar di pulau kapuk. Tapi nyatanya mata ini sulit sekali diajak untuk berkompromi. Kelebat undangan dari bapak kepala sekolah di hape yang datang tadi siang kembali menari nari dipucuk kepalaku. Dengan agenda mendengarkan putusan dan jawaban atas surat pernyataan yang kuisi tiga minggu yang lalu. Seakan menjadi musuh yang ingin kulenyapkan saat ini. Benda tipis yang menjadi media penghubung informasi itu ingin kuenyahkan saja. Aku benci mendengar nada pesan dari hape itu akhir akhir ini. Sebagian teman teman begitu kepo ingin mengetahui perkembangan kasus kami. Sementara hati dan perasaan kami pun tak berhenti diaduk. Hanya keluarga yang menjadi satu satunya penenang jiwa selain Alloh Subhana Watta ala tentunya.

Aku kembali duduk di kursi pesakitan ini. Entah untuk yang keberapa kali. Dihadapanku sudah duduk Pak Dewa ditemani salah satu wakilnya, Pak Danu. Aku masuk sesuai undangan, jam sembilan. Dan kulihat mereka sudah siap. Aku tahu mereka tentu belum beranjak dari kursi masing masing karena sebelumnya ada pemanggilan juga untuk bu Kusuma. Hari ini semua teman teman yang terlibat dalam kasus pelanggaran kode etik memang dipanggil untuk mendengarkan putusan dari yayasan. Hitam, putih maupun apapun hasilnya aku sudah memaksa hatiku untuk siap.

“Selamat pagi, Bu Dewi.” Sapa Pak Dewa.

Aku melihat senyum pak Dewa manis kali ini. Barisan giginya terlihat ikut menyapa. Dan suaranya lantang sekali.

Kujawab sekenanya saja. Aku sedang malas berbasa basi.

“Pagi ini saya mau menyampaikan putusan pimpinan yayasan terkait pelanggaran kode etik yang telah ibu lakukan. Saya perlu menyampaikan ini karena saya selaku kepala sekolah diberikan wewenang atas kebijakan ini. Dan sekolah memberikan pilihan kepada ibu apakah bersedia memutasi anak kandung ibu ke sekolah sini. Atau kalau memang tidak bisa silakan ibu mengundurkan diri!”

“Waktu yang diberikan kepada ibu adalah dua hari. Jadi hari sabtu lusa saya harus mendapatkan jawaban atas pilihan putusan yang kami berikan.”

Abakadabra!

Hei, ini bukan pilihan. Bagaimana mungkin dua pilihan yang sama sama berat. Ini bukan pilihan. Tapi sudah putusan. Aku geram. Ingin ku teriak. Ini tidak adil bagiku. Kupilin ujung jilbabku. Hingga tak berbentuk. Kuambil napas dalam dalam. Kustabilkan detak jantungku. Setenang mungkin.

“Tapi Pak Dewa, bukankah kesepakatan kita disidang pertama kemarin tidak seperti ini?”

“Pimpinan yayasan sudah memutuskan seperti itu, Bu. Saya tidak bisa berbuat apa apa. Saya hanya menjalankan tugas.”

Bibirku mengatup. Kami bertiga mematung.

“Itu artinya kalau saya tidak bisa memenuhi permintaan sekolah untuk memindahkan anak saya ke sini saya harus resign?”

“Ya, betul.”

“Bapak tahu ini sudah akhir bulan Juli. Mengapa pilihan putusan diberikan saat sekolah di luar sudah kegiatan belajar mengajar. Jadwal mengajar sudah tertata. Mau cari sekolah dimana pak kalau saya resign? Meskipun saya tahu sekolah kita belum tutup tahun.” Kutekan emosiku. Kukumpulkan energi untuk bisa meluapkan apa yang ada dihati. Tenggorokanku rasanya kering. Air ludahku tak mampu membasahi meski udara tak begitu panas.

“Sekali lagi saya hanya menyampaikan amanat. Saya tak bisa berbuat dan membantu apa apa.” Nada bicara Pak Dewa terdengar seperti menahan amarah. Sementara Pak Danu hanya tertunduk sedikit manggut manggut mengiyakan perkataan Pak Dewa.

Keheningan merayap. Sepertinya ini sudah selesai. Tapi aku belum mau meninggalkan ruangan keramat ini. Berharap pada sebuah keajaiban yang memihak padaku.

Lima menit

Diam

Sunyi

Baiklah! Tak ada gunanya berlama lama di ruang ini. Kursi yang kududukipun rasanya sudah mulai panas. Seorang kepala sekolah yang dalam benakku mampu melindungi, mengayomi dan memberikan jalan keluar atas masalah yang menimpa bawahannya. Ternyata salah besar. Enambelas tahun kuhabiskan usiaku di sekolah ini. Dan dalam usia yang tak lagi muda aku dicampakkan.

Memutasi anakku, Rayyan adalah hal yang mustahil. Kami sekeluarga sudah membuat kesepakatan. Aku tidak mungkin menjadi seorang ibu yang egois yang menggadai anaknya demi karier semata. Aku sadar diusiaku yang tak lagi muda tak mudah mencari sekolah yang mau menerimaku. Meski guru profesional sudah kusandang. Apalagi semester ini sudah berjalan. Namun berdebat bahkan menyembah Pak Dewa sekalipun juga mustahil. Dia tak akan luluh oleh airmata. Dia begitu menjaga kewibawaan.

Aku keluar dari ruang pesakitan dengan gontai. Berjalan menunduk khawatir orang orang yang berpapasan denganku akan menanyaiku. Meski tak berkaca tapi aku yakin rona wajahku tentu berubah dan berbeda. Aku tak ingin pulang dulu. Bingung mau kemana akhirnya aku mampir dan duduk di serambi mushola agak jauh dari sekolah. Kusandarkan punggungku disalah satu pilar. Aku ingin menyendiri ditengah bergumulan batinku. Sedari awal aku mentasbihkan diri jadi guru yayasan aku sadar jika sewaktu waktu bisa tersingkir dengan berbagai kemungkinan alasan. Namun aku tidak mengira dengan cara seperti ini. Mengapa kebijakan ini muncul dengan tiba tiba?

Graha Sekar Telon, 2 Pebruari 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post