Haji Untuk Umak
Mataku menatap kearah tumpukan baju yang menggunung di dapur rumah kami yang sangat minimalis.Tak terlihat banyak barang ada di dapur tersebut, hanya ada rak piring dengan isi seadanya,satu buah meja tempat kompor yang udah mulai usang dan sebuah kamar mandi kecil. Rumah tersebut warisan peninggalan nenek yang kemudian kami tempati sampai sekarang. Seperti biasa aktifitas pagi kami yang sibuk dengan tugas masing masing dan tugasku mencuci pakaian,semua dan juga pakaian dua rumah tetangga yang mensucikan baju ke umak, kalau waktu tak tekejar terkadang aku mencuci baju tetangga sepulang sekolahbaju tetangga, biasanya ku cuci pada sore hari sepulang sekolah. Karena terlalu banyak jika ku cuci sekaligus.
Biasanya kami bangun sekitar jam 05.00 subuh. Usai shalat segera mengambil tugas masing masing. Namun hari ini agak telat, mungkin karena kelelahan kemarin.
"Sabun yang umak beli kemaren umak letak di bawah meja", ucap Umak sambil keluar rumah.
Umak mau melihat telor bebek peliharaan kami. Telor tersebut mau dibuat lauk sarapan pagi ini. Walaupun jumlah bebeknya tidak terbilang banyak, tapi cukup membantu untuk lauk makan sehari hari.
Selang beberapa saat, umak datang dengan membawa tiga butir telur bebek sambil tersenyum.
"Masak telur dadar ya nang". Pinta umak ke adikku Tika.
Tika mengangguk, sambil mengambil telur tersebut dari Umak.
Aku terus menyelesaikan cucianku di pelataran kecil disamping rumah,sudah hampir selesai,hanya tersisa rendaman baju putih baju sekolahku dan kedua adikku.
Kami tiga bersaudara, Aku duduk di MAN, adikku Tika di Mts Swasta sedangkan adik kami yang paling kecil Faisal, sekarang duduk dikelas Tiga SD Negeri.
"Sepertinya umak pulang agak lama hari ini, untuk menyelesaikan padi yang umak kerjakan, sampaikan ke Ayah supaya umak di jeput", ucap umak sambil menyuap nasi dengan lauk sisa makan malam kami.
Tak berapa lama umak sudah siap dengan baju basahan untuk berangkat ke sawah bersama beberapa tetangga kami. Mereka bekerja di sawah, memanen padi dengan menggunakan sabit. Seperti itulah kegiatan beberapa ibi ibu dikampung kami, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan merangkap jadi tulang punggul keluarga.
Sawah tersebut lumayan jauh dari rumah kami,oleh sebab itu umak dan teman temannya pergi agak cepat karena mereka berjalan kaki, tapi kalau di pagi hari nya tidak terasa capek, karena masih segar dan tenaga belum terkuras, berbeda ketika pulangnya, badan terasa lelah dan kaki pun terasa capek. Namun terkadang umak dijeput ayah dengan kereta butut kami.
"Umak pergi dulu, ajak adik sarapan ya", pesan Umak, sambil menyandang tas usang berisi mukena dan bekal.
Usai mencuci pakaian, aku menuju jemuran pakaian dan siap siap sarapan dan bergegas untuk persiapan ke sekolah pagi ini.
Jam sudah nyaris menunjukkan pukul 06.00,kulihat Ayah keluar dari kamar, menuju kamar mandi sambil memegang sebatang rokok yang sudah menyala.
Aku menyampaikan pesan Umak dan tak lama kemudian Ayah pergi keluar rumah, menuju lopo yang tak jauh dari rumah. Sambil menyeruput sebelas kopi dan bercerita dengan beberapa bapak bapak yang memang langganan ngopi di tempat itu nyaris setiap pagi nya.
Lopo itu sekitar jarak dia rumah dari rumah kami, sesekali terdemgar suara ketawa cekikikan dan suara debat para bapak bapak di Lopo tersebut.
Bu Ani dan teman temannya telah sampai di sawah tempat mereka bekerja. Ia duduk melepas lelah di pondok buk Juli pemilik sawah tersebut.
"Ana loja,maccit Pat na mardalani". Ucap bu Ani sambil mengatur pelan langkah kaki nya.
"Anggo inda karejo, ise pasikolakon daganak? Aha panabusi indahan ni Ta? ".
Sahut buk Afni dari belakang.
"Bana Mei, inda dong be na tardokon". Sambung ibu yang disebelahnya.
Para ibu ibu yang berprofesi ganda sebagai ibu rumah tangga dan tulang punggung keluarga tersebut hanya pasrah dengan keadaan, demi anak-anak mereka tetap bertahan dengan keadaan yang diluar impian seorang perempuan.
Mereka hanya berusaha sekuat tenaga dan berharap keberuntungan hidup berpihak pada mereka nantinya. Mereka percaya rezeki akan menghampiri. Kalaupun tidak dimasa muda, mungkin akan datang di hari tua kelak.
Matahari sudah mulai naik, buliran keringat sudah basah di baju masing masing ibu ibuk pejuang keluarga tersebut.
Sambil sesekali menyeka keringat di dahi, mereka menggunakan sebilah sabit untuk memotong padi padi tersebut. Padi padi yang telah disabit tersebut diletakkan bertumpuk tumpuk.
"Umak bekerja di sawah, memanen padi dengan menggunakan sabit. Seperti itulah kegiatan beberapa ibi ibu dikampung kami, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan merangkap jadi tulang punggul keluarga.
Sawah tersebut lumayan jauh dari rumah kami,oleh sebab itu umak dan teman temannya pergi agak cepat karena mereka berjalan kaki, tapi kalau di pagi hari nya tidak terasa capek, karena masih segar dan tenaga belum terkuras, berbeda ketika pulangnya, badan terasa lelah dan kaki pun terasa capek. Namun terkadang umak dijeput ayah dengan kereta butut kami.
"Umak pergi dulu, ajak adik sarapan ya", pesan Umak, sambil menyandang tas usang berisi mukena dan bekal makanan.
Usai mencuci pakaian, aku menuju jemuran pakaian dan siap siap sarapan dan bergegas untuk persiapan ke sekolah pagi ini.
Jam sudah nyaris menunjukkan pukul 06.00,kulihat Ayah keluar dari kamar, menuju kamar mandi sambil memegang sebatang rokok yang sudah menyala.
Aku menyampaikan pesan Umak dan tak lama kemudian Ayah pergi keluar rumah, menuju lopo yang tak jauh dari rumah. Sambil menyeruput sebelas kopi dan bercerita dengan beberapa bapak bapak yang memang langganan ngopi di tempat itu nyaris setiap pagi nya.
Lopo itu sekitar jarak dia rumah dari rumah kami, sesekali terdemgar suara ketawa cekikikan dan suara debat para bapak bapak di Lopo tersebut.
Bu Ani dan teman temannya telah sampai di sawah tempat mereka bekerja. Ia duduk melepas lelah di pondok buk Juli pemilik sawah tersebut.
"Ana loja,maccit Pat na mardalani". Ucap bu Ani sambil mengatur pelan kaki nya.
"Anggo inda karejo, ise na get parsikolakon daganak? Aha panabusi indahan Ta? ".
Sahut buk Afni dari belakang.
Bana Mei na, inda tardokkon tie, sambung ibu yang disebelahnya.
Para ibu ibu yang berprofesi ganda sebagai ibu rumah tangga dan tulang punggung keluarga tersebut hanya pasrah dengan keadaan, demi anak-anak mereka tetap bertahan dengan keadaan yang diluar impian seorang ibu rumah tangga pada dasarnya.
Mereka hanya berusaha sekuat tenaga dan berharap keberuntungan dan kegiatan hidup berpihak pada mereka nantinya.
Matahari sudah mulai naik, buliran keringat sudah basah di baju masing masing ibu ibuk pejuang keluarga tersebut.
Sambil sesekali menyeka keringat di dahi, mereka menggunakan sebilah sabituntuk memotong padi padi tersebut. Padi padi yang telah disabit tersebut diletakkan bertumpuk tumpuk.
Selain bekerja dibawah milik tetangga, kami juga punya sawah. Setiap menamakan padi umak selalu berdoa "Berhasilkan padi kami ini ya Allah dan berilah kami rezeki berkunjung ke Makkah".
******
Pagi ini, halaman Mesjid di Kampungku dipenuhi oleh manusia berpakaian putih, mereka para calon jama'ah yang akan menunaikan rukun islam yg kelima. Terlihat para kelurga antusias membersamai mereka dan duduk dipelantaran Mesjid yang lumayan luas. Demikian dengan suami dan anak anakku juga turut serta dalam pengantaran calon jama'ah haji tersebut.
Terimakasih ya Allah, do'a Umak telah engkau ijabah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus sekali tulisan nya Bu.