Sepanjang jalan Asri lebih banyak terdiam. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. “Hai centil kenapa kamu diam saja. Ngomong apa kek,” Dani melontarkan pertanyaan untuk memecahkan kesunyian di mobil pagi ini. Tak biasanya ia melihat Asri seperti itu. “Lagi malas aja tu,” jawab Asri pelan. Sejak kecil mereka punya julukan masing-masing. Asri suka meledek Dani dengan kutu karena Dani kutu buku. Sedangkan Dani sering meledek Asri dengan sebutan centil karena Asri nggak bisa diam. “Sejak kapan kamu malas ngomong?” tanya Dani. Asri hanya menggelengkan kepala tanpa menoleh sedikitpun. “Kalau punya masalah ngomong aja centil, aku kan sangat mengenalmu. Ini bukan kamu banget.” Dani mencoba memancing Asri bercerita. Belum sempat Asri berkata-kata mata Asri menangkap suatu pemandang di hadapannya. “Heii, bukankah itu Iwan cowokmu ?” tanya Dani tiba-tiba. “Dengan siapa dia ?” tanya Dani. Itu perempuan yang kemarin digandeng Iwan di café. Asri yakin sekali itu perempuan yang sama. Rambut panjangnya yang berwarna kecoklatan diingat dengan jelas oleh Asri. Hatinya bergemuruh melihat pemandangan yang berjarak dua motor di hadapannya. Lidahnya kelu tak mampu menjawab pertanyaan Dani. Sekilas Dani melirik kearah Asri. Perubahan raut wajah Asri membuat Dani yakin ada sesuatu yang sedang terjadi.