PERTEMUAN SEORANG PENULIS DENGAN MANTANNYA
Di sebuah pagi yang mendung di atas sebilah kursi di sebuah stasiun kereta api. Dari koran di tanganku bermacam berita hangat yang ditulis. Satu yang menarik, di kolom kesenian: foto sederet pemenang lomba cipta cerpen ASEAN. Aku berada diantaranya.
***
Dari jauh, aku melihatnya setelah cukup lama menghilang atau entah memang waktu yang sengaja menyilangkan pertemuan. Kami berjabat tangan. Laki-laki itu lebih dulu memulai percakapan. Selebihnya aku diam, memilih tak memulai lebih dulu karena bukan aku yang berkepentingan dalam pertemuan ini. Sesudah kereta tujuan datang, aku masih tak berkutik kecuali tawarannya untuk berjalan memasuki gerbong. Kereta berjalan pelan meninggalkan stasiun. Laki-laki itu duduk di sampingku dengan ceritanya.
“Keseharian istriku hanya bekerja. Jika pulang lebih awal, ia tak langsung pulang. Tanpa mengabariku ia akan singgah di rumah orangtuanya. Jika lelah ia akan sekalian bermalam di sana. Bukan semalam dua malam saja ia melakukannya. Sudah sering ia bermalam di sana. Aku heran juga dengan orangtuanya. Bukannya menasehati putrinya itu malah seperti mengabaikan kelakuannya. Sekadar meminta maaf padaku atau sekali waktu menanyakan kabar cucunya pun tidak. Ketika di rumah ia akan sibuk dengan pekerjaannya yang dibawa pulang. Seolah ia tak punya ruang untukku dan putraku. Kalaupun harus sakit hati, seharusnya aku yang merasakan. Masih ingat benar aku bagaimana orangtuanya mencibirku perihal kemampuan finansialku dalam pembiayaan resepsi pernikahan. Dan karena itu hampir saja kubatalkan pernikahanku itu. Jika bukan karena hati nurani pasti aku tak jadi menikahinya”.
Mendung telah berganti menjadi rinai hujan sejak keberangkatan kereta dari stasiun kota. Kereta melaju cepat membawa penumpang membelah jalanan yang semakin kelabu. Dan satu penumpang pria di sampingku ini masih mengisahkan kisah muramnya kepadaku.
“Susah aku menegurnya, segala nasihatku tak pernah diindahkan. Akhirnya aku mendatangi ahli spiritual. Lalu ia menyarankan yang berikut kepadaku. Sepulang kerja bilaslah kedua kakimu! Air bilasan itu letakkanlah dalam sebuah wadah lalu tuangkan di sebuah gelas! Berikan air itu untuk istrimu! Setiap sore kusuruh bibi meletakkan gelas itu di meja kerjanya supaya diminum oleh istriku. Setiap kukucurkan air di kedua kakiku selalu kuyakinkan hatiku bahwa cara ini bisa membalikkan hati istriku. Istri yang selalu hangat menyambutku. Memasak untuk sarapan dan makan malamku. Menghabiskan sisa waktu sebelum terlelap untuk bertukar pendapat seputar keluarga, atau sekadar bertukar cerita perihal pekerjaan kami seharian. Sayangnya selama sebulan lebih berangsur nyatanya kelakuan istriku semakin menjadi”.
Kubuka sebagian jendela kereta. Hujan di luar bagai suasana sebuah film yang menampilkan kisah sedih. Pada pria yang sekarang terlihat semakin tambun itu di sepasang matanya bisa kurasakan tatapan yang tergores. Dingin perlahan masuk, pelan-pelan mulai mengoyakkan batinnya.
“Berikutnya kudatangi spiritual yang kedua. Aku tak kunjung megerti apa kesalahan yang sudah kuperbuat hingga dia bersikap seperti itu. Pagi-pagi sekali, sudah kudapatinya berseragam. Tanpa berbasa-basi padaku, tanpa mencium kening putranya, tanpa berpamit dan mencium tanganku juga tanpa sarapan pagi berangkatlah ia ke kantor. Bibi selalu sia-sia saja menyiapkan sarapan dan makan malam. Sebab aku sendiri akan kehilangan selera makan bila tak berteman”.
Tak ada kilat cahaya di langit. Jendela kereta kubuka sepenuhnya. Tempias hujan satu persatu lembut menapaki pipiku. Sedikit kuperhatikan wajahnya, wajah yang dulu tak pernah menyiratkan perpisahan sedikitpun.
“Akhirnya sang spiritual bernasihat yang demikian kepadaku. Berpuasalah mutih selama tiga puluh hari berturut. Sehari setelahnya lakukanlah pati geni. Kemudian spiritual mengeluarkan secarik kertas. Lalu menuliskan sebait mantra yang harus kurapalkan setelah semalaman menjalani ritual pati geni. Aku sungguh kasihan pada putraku itu. Di kantor aku selalu iri bila melihat rekan kerja sebagai ibu muda yang selalu mencuri-curi waktu untuk izin di tengah jam kerja atau melihatnya tergopoh-gopoh pulang ketika jam kerja berakhir. Banyak alasannya: sekadar ingin menemani putranya ke posyandu, ingin memandikan putranya, ingin memasakkan mpasi anaknya, ingin segera menyuapkan makan malam anaknya, dan banyak lagi. Bertolak sekali dengan istriku.”
Kuperhatikan suasana gerbong: sekelompok keluarga yang memakan bekal bersama, sekelompok remaja yang sibuk dengan gedgetnya masing-masing, tingkah bocah yang gesit berselang berdiri-duduk di pangkuan ibunya, percakapan kakek-kakek tentang kursi gratis yang disediakan petugas, suasana sudah cukup lenggang. Dan pria disampingku masih tetap dengan ceritanya.
“Selanjutnya kudatangi ahli spiritual ke tiga karena cara sebelumnya tak mendatangkan hasil. Belakangan aku semakin sering ribut dengan istriku. Keributan itu kumulai dari kecemburuanku padanya. Di sebuah kedai kopi pinggir jalan tak jauh dari tempat kerjanya aku melihatnya. Duduk berhadapan dengan seorang lelaki sambil saling senyum kadang saling lempar tawa sebelum akhirnya keduanya berpisah di persimpangan jalan. Aku tahu benar jika dia bukan teman barunya. Pertama aku melihatnya akhirnya timbullah selalu keinginanku untuk intens menguntitnya. Setiba di rumah kudapati ia tetap melangkah tenang menuju ruang kerjanya. Lalu keluar menuju kamar mandi. Hatiku rasanya sudah tak karuan ingin melengkingkan suara, membanting apapun yang ada di dekatku, mencakar wajahnya, menjambak rambutnya, bahkan ingin mendorongnya keluar rumah serta melemparkan seluruh pakaiannya. Namun aku selalu memikirkan putraku. Panjang lebar aku menceritakan itu kepada sang ahli spiritual”
Kututup kembali jendela lalu kusandarkan kepalaku. Aku menghela nafas. Kuluruskan kakiku. Kuregangkan kedua tanganku karena pegal. Tentu dengan tetap menyimak ceritanya tanpa memalingkan perhatianku pada yang lain.
“Kau tahu Maretha aku terhenyak ketika demikian ia berkata kepadaku: Datanglah kembali kepadanya barangkali waktu sudah memperkenankan hatinya untuk memberikan maaf kepadamu. Itulah maksudku mengajakmu serta dalam perjalanan ini Maretha. Maafkan aku!”
“Aku tak mengerti harus menimpali ceritamu dengan apa. Sebab aku takut kau bercerita dengan orang yang salah. Tidakkah kau terlalu yakin yang dimaksud spriritual itu aku?”
Setengah jam berselang kereta tiba di stasiun. Aku menjabat tangannya. Matanya semakin lesu dan tandus. Aku diam dan berlalu.
***
Banyak kios yang masih tutup, mungkin karena pemilik meghabiskan waktunya semalaman untuk merayakan pergantian tahun. Meskipun tak hanya burung yang dijual, tetapi kicaun burung terdengar lebih mendominan di pasar itu. Kami berjalan menyusuri setiap tikung jalan pasar burung. Laki-laki yang berjalan bersamaku memulai kisah keberhasilannya. Tentang baru saja ia menyelesaikan studi S2. Tentang berbagai karyanya yang menang setelah mengikuti beberapa perlombaan. Tentang kesibukannya di luar kariernya: undangan-undangan sebagai narasumber di beberapa workhsop bisnis. Dan yang lebih penting tentunya aku telah tahu tanpa ia bercerita kepadaku. Aku sedang menungggu giliran untuk menceritakan padanya bahwa aku juga tak kalah dengannya.
“Namun yang tak kunjung membuat keluargaku ingar adalah buah hati. Lama kami menantinya. Aku telah melakukan bermacam-macam cara. Menjaga pola makan, pola hidup, dan berbagai hal tentang kehamilan.”
Tiba-tiba raut wajahnya berubah murung dan berat. Sorot matanya tak secerdas ketika ia bercerita tentang kemajuan kariernya.
Perjalanan kami telah sampai di pasar bunga. Kami memasuki kios bunga yang lebih luas dari kios-kios yang lain, serupa greenhouse. Aku tetarik berjalan mengelilingi tanaman gantung. Anggrek, begonia, geranium, lobelia, lantana. Begonia ungu, dia menawariku untuk membelikannya. Aku menggeleng.
“Seleramu sudah berubah Maretha?” Tanya laki-laki itu.
Ia berjalan mengikutiku sambil melanjutkan ceritanya.
“Dokter menyatakan bahwa istriku sehat-sehat saja, tak ada masalah dengan saluran reproduksinya. Kami hanya perlu mengonsumsi obat-obatan. Enam bulan berlalu tanpa hasil. Akhirnya dokter mengambil tindakan lain dengan menyuntikkan hormon untuk merangsang ovulasi pada istriku. Sama halnya dengan usaha yang pertama, istriku tak kunjung hamil.”
Kami memasuki sebuah kedai kecil yang terletak di perbatasan pasar burung dan pasar bunga, duduk dan menyandarkan punggung di kursi. Kami memesan kopi. Ia masih melanjutkan ceritanya.
“Atas saran teman-teman, kami pergi ke rumah sakit lain dengan dokter dan petugas medis yang katanya lebih berkualitas. Hasil pemeriksaan sama halnya dengan yang pertama. Dokter tidak menemukan ada sesuatu yang tak normal pada kami. Akhirnya dokter memberikan vitamin untuk mematangkan sel telur istriku. Enam bulan juga kami menjalani usaha ini, dan ternyata usaha kami berjalan tanpa hasil.”
“Kami pergi ke klinik berikutnya. Di sana dokter menemukan temuan baru bahwa tubuh istriku bisa membangun imun yang begitu kuat sehingga spermaku ditolak. Maka dokter memutuskan untuk melakukan terapi dengan mengambil darahku untuk dipisahkan putihnya lalu disuntikkan ke istri setiap tiga kali seminggu. Selama delapan bulan langkah ini kami jalani ternayata kami masih gagal mendapat keturunan.”
Ia semakin mengisahkan ceritanya dengan sendu. Ketabahannya untuk terus berusaha berkali-kali seolah sengaja ditunjukkan kepadaku supaya aku juga menunjukkan rasa peduliku padanya.
“Kami pergi ke rumah sakit lain. Di sana dokter melakukan sebuah tindakan dengan memasukkan kamera dan alat lainnya ke dalam rahim istriku. Tujuannya untuk membersihkan segalanya yang perlu dibersihkan. Hasilnya tidak ditemukan adanya hal yang signifikan dalam rahim istriku. Tindakan berikutnya adalah inseminasi karena menurut dokter kami bisa melakukan pembuahan secara alami. Selang delapan bulan langkah ini pun ternyata gagal.”
Bagaimanapun juga pertemuanku dengannya menimbulkan hasrat yang tak bisa terjangkau dengan akal. Aku menunggu jedanya untuk juga mengisahkan betapa eloknya hidupku sekarang. Namun keinginan yang sempat membuncah dan kukuh itu menjadi berbelok ketika mendengar kelanjutan ceritanya.
“Ternyata semua bukan usaha yang mudah. Kami harus berbolak-balik, berkonsultasi menemukan dokter yang terbaik. Ke sana- ke mari melakukan pemeriksaan dan bertemu dokter baru. Dalam waktu dekat kami akan menjalani usaha medis yang terakhir. Sebelum melakukan tindakan medis dokter yang budiman itu berbicara demikian kepadaku. Dari setumpuk dosa yang telah kau perbuat, berpikirlah, ingat-ingatlah! Barangkali kau sedang terjerumus dalam laknat yang tak terperi. Ingat-ingatlah kepada siapa kau berbuat! Tak ada salahnya bila kau kembali datang kepadanya untuk meminta maaf. Siapa tahu kisahmu sama seperti kisah seorang yang tak kunjung mendapat kerja karena berdosa kepada gurunya.”
“Sekarang sekiranya kau tahu maksud pertemuan kita. Aku kembali kepadamu untuk itu Maretha. Maafkan aku barangkali sakitmu yang kutimbulkan saat itu lebih parah dari apa yang kudera sekarang.”
“Mengapa kau turuti saja permintaan dokter yang budiman itu? Barangkali kau hanya butuh waktu dan usaha ntuuk memiliki seorang keturunan?”
***
Mereka tak mengerti bagaimana aku karena ulah mereka. Bahkan mereka tak tahu betapa terlalu lebar dan dalamnya luka yang kudera. Namun aku tak pernah mengeluh. Tak pernah meratap. Tak pernah berprotes. Saat mereka datang dengan selembar kisah pilu, mereka meminta penyelamatan dariku. Kiranya penyelamatanku bisa menghentikan kisah pilunya. Padahal dengan pertemuan itu sama halnya mereka tunjukkan padaku bahwa aku merasa menang atas mereka. Mereka tak tahu bahwa cukup dengan maaf dari bibir sajalah, aku bisa menulis kisah yang mendalam yang menjadikanku penulis yang menanjak cepat dan menyebar dengan karya yang laku keras di pasaran. Jika kumaafkan mereka dari hati aku takut kisahku dengan mereka dalam cerita akan usai. Itu artinya aku akan kehilangan selera untuk menulis lagi.
Malang, 15 Januari 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar