nila maulana

Nila Maulana lahir di Malang pada 21 November 1988. Pernah Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang. Saat ini mengajar di salah sa...

Selengkapnya
Navigasi Web

Penjarah

Kami berjalan menyisiri pantai. Sesekali menyentuh, menerjang, dan bermain bersama ombak. Bilapun hanya sekedar berjalan menyisir pantai, pada akhirnya kami akan basah kuyup. Bermain dan menyatu dengan alam adalah cara kami melipur diri. Ketika terik mentari mulai membasuhkan seluruh sinarnya, nyiur kelapa kian melambai dengan eloknya. Di sana, perahu-perahu kecil dengan para awaknya mulai berlarung. Kami, aku dan putri kecilku juga menyewa sebuah perahu. Kulihat putri kecilku itu dengan langkah sigapnya segera mengambil tempat dan duduk pada sebilah papan. Perlahan perahu mulai berlarung. Menerjang dan menaklukkan ombak. Sesaat kemegahan terasa mengelilingiku. Langit dan laut membiru, menyatu dalam hembusan angin dan deburan ombak. Dengan goyangan perahu yang tetap berirama dengan ombak, perlahan, terus dan terus melaju seperti akan menembus cakrawala. Dengan sedikit bergeloyong aku berusaha berdiri sambil mengulur benang lalu kuterbangkang layang-layang. Putri kecilku itu, terlihat begitu girang melihat lakuku kemudian dia berdiri sambil tersenyum dan memberiku tepuk tangan. Kuberikan benang padanya lalu ditarik ulurkannya benang itu.

“Berat Bu. Kapan terakhir kita bermain layang-layang di laut?” Ucap Elmira

“Mungkin liburan sekolah tahun yang lalu”

Bagi kami, bermain layang-layang di tengah laut itu tidak menantang tapi menenangkan. Layang-layang akan bertahan lama menari di angkasa sehingga bisa melihat keelokannya lebih lama. Namun hari ini kurasa berbeda. Tiba-tiba terdengar olehku para awak perahu lain bersorak ketika di angkasa terbang satu layang-layang lagi. Dan itu bukan milik kami. Layang-layang itu terlihat lebih megah. Memang berbeda dengan layang-layang kami yang bentuknya seperti layang-layang kebanyakan. Putri kecilku itu berdecak kagum. Layang-layang itu terbang mendekat. Sorak para awak perahu lain terdengar semakin keras ketika layang-layang itu berhasil menyambit dan beradu benang dengan layang-layang kami. Aku dan putri kecilku itu, kami sibuk mengendalikan benang agar tak sampai putus. Dan benar saja dugaanku layang-layang itu lebih kuat. Tiba-tiba saja layang-layang kami kehilangan arah, melayang, dan kemudian jatuh tergilas ombak.

“Lain waktu, bisakah kita bermain layang-layang lagi?”

Aku melihat perahu di seberang itu. Di sana pandangan kami bertemu dan seolah menyatukan masa lalu. Wajahku dan juga wajahnya terlihat memerah. Tubuhku melemas dan aku mencoba untuk kembali duduk pada sebilah papan perahu itu. Perahunya semakin mendekat, lalu berhimpit, dan kemudian merapat. Tanpa batas jarak air laut itu, seolah kami sedang duduk beriingan. Dari jarak yang tak cukup jauh pula dengan perahu yang masih beriringan itu bisa kulihat rona wajahnya masih memerah. Pandangan kami bertumpu, lalu laki-laki itu tersenyum padaku. Untung saja putriku kecilku itu muncul dengan ucapannya yang mampu memecahkan suasana.

“Tentu paman! Lain kali kalahkan aku!”

Ketika telah kutetapkan kebencian pada seseorang, tak kuharapkan lagi pertemuan itu datang.

Perahu itu semakin merapat. Laki-laki itu melompat dan berpindah ke perahu kami.

“Boleh kita berkenalan?” Ucapnya

“Elmira” Elmira dan laki-laki itu berjabat tangan

“Saya Himawan, panggil saja Awan” Laki-laki itu memperkenalkan diri. Hanya dengan putriku, tidak denganku.

Aku kurang suka dengan perkenalan yang kurasa menjadikan mereka semakin akrab itu. Kudengar sesekali mereka juga membicarakanku. Aku memang sengaja tak melibatkan diri dalam percakapan mereka itu. Dari belakang kuperhatikan benar wajahnya. Wajah yang terlihat lebih dewasa berbeda ketika kami masih bersama dulu. Dia memang bukan laki-laki yang tampan, tapi ia cakap dalam pembicaraan. Itulah yang dulu membuatku menyukainya. Tapi toh sifatnya itu bisa berubah seketika.

Kurasa memang ibu mertuaku itu yang membuatnya demikian juga membuat kami pada akhirnya berpisah. Jika benar apa yang dulu pernah dikatakan orang pintar itu, rasanya tak adil bila aku ikut menyalahkannya atas perpisahan itu. Pernikahan kami bukanlah sebuah pernikahan tanpa restu dari orangtuaku juga orang tuanya.

Dengan pernikahan itu, kukira aku akan menjadi pengantin wanita yang berbahagia. Di keluarga itu Awan adalah anak tunggal. Anak tunggal yang cemerlang karena kepiawaian dalam permadani hijau itu. Juga berkat kepiawaiannya itu ia berani berjanji akan memenuhi segalanya untukku. Kupikir juga karena dia anak tunggal maka tak ada celah bagi seorang mertua membandingkanku dengan menantu-menantu lainnya. Tapi entahlah belum sampai satu tahun kami menikah, sikap ibu mertuaku itu tiba-tiba saja berubah menjadi begitu beringas. Keganjalan-keganjalan dalam dirinyapun perlahan mulai terpupuk dalam benakku.

Sore hari, ketika suara muadzin menyerukan panggilan sholat kami sekeluarga ayah, ibu, dan aku sedang duduk bersantai di sebuah ruang. Tiba-tiba telpon rumah berdering. Ibu segera beranjak dan menerimanya. Panggilan sayang pada suamiku itu terdengar begitu mesra. Bukan seperti panggilan ibu pada anaknya. Begitupun dengan percakapan mereka. Kecuriagaanku sedikit mulai terpupuk.

Pagi-pagi sekali ketika mentari masih enggan membasuhkan sinarnya, tukang koran dengan ligainya melemparkan koran tepat di depan pintu.

“Ups” katanya sambil berlalu.

Aku tersenyum sambil kuraih lembaran berita yang tergeletak di atas lantai itu. Pagi ini rupanya kebahagiaan sedang berpihak pada keluarga kami.

“Bu, tim Awan menang dalam pertandingan tadi malam” Kuulurkan koran itu padanya.

Namun aku tiba-tiba tersentak.

“Aku tak suka koran bekas” Sambil menyahut dariku lalu melemparkannya di atas meja makan.

“Ini koran hari ini Bu” Kataku menegaskan

“Tapi sudah menjadai bekas, karena kau baca lebih dulu” Kedua bola matanya menyeringai menatapku lalu beringsut meninggalkanku. Dan aku masih berdiri terpaku.

“Ini aneh” Ucapku dalam hati.

“Sudah Nduk, kamu berangkat dulu. Jika terlambat kasihan anak didikmu” Kata ayah yang tiba-tiba muncul dari belakangku.

“Iya ayah”

Dengan tergopoh-gopoh ayah berusaha mengeluarkan motorku dari garasi. Setiap pagi beliau selalu demikian. Bahkan motorku tak pernah terlihat lusuh. Sudah berkali-kali kularang, biar aku sendiri yang menyiapkan motorku. Tapi tetap saja demikian.

“Ayah…”

“Kau juga anakku” Sinarnya matanya teduh, seolah menyiratkan pesan kesabaran padaku.

Setitik kesalahan yang kuperbuat akan selalu berakhir dengan masalah yang besar. Bila demikian bukanlah suamiku yang mendamaikan hatiku, tetapi ayah mertuaku. Suamiku sendiri lebih sering membela dan menurut pada ibunya itu.

Hingga suatu ketika aku tak mampu lagi bertahan dengan sikap-sikapnya yang kerap kali memusuhiku. Untuk pertama kalinya aku merasakan mual yang begitu hebat. Tubuhku terasa lunglai juga kepalaku terasa pusing. Terkadang beberapa jenis aroma masakan membuatku ingin muntah.

“Itu bukan cucuku! Bukan anak Awan” Sangkal ibu mertuaku

Ucapan itu bagaikan seperti sembilu yang menyayat hati, jika kubiarkan darah akan terus mengucur dan akhirnya mematikanku. Air mataku seketika tumpah. Itulah pukulan yang begitu berat bagiku juga bagi harga diriku sebagai wanita.

Hingga kini aku tak pernah beritahukan padanya jika kala itu aku sedang mengandung anaknya. Menurut kabar yang beredar di kampung ibu mertuaku itu sengaja memisahkan kami karena harta. Banyak juga tetangga-tetangga di sana yang bersimpati padaku. Menurut beberapa saudara bahkan ada yang menduga, ibu mertuaku itu menggunakan ilmu mistik untuk memisahkan kami. Pantas saja karena dia hanyalah ibu tiri bagi suamiku. Lamunanku terhenti ketika kulihat perahu telah menepi.

“Paman, sampai bertemu kembali” Elmira melambaikan tangannya.

“Kami permisi” Ucapku

“Elmira, bolehkah paman bermain ke rumahmu?” Rupanya dia berusaha mencegah kepergian kami.

“Tentu” Ucap Elmira girang.

“Sekarang?” Dia bertanya antusias

“Hari sudah fajar. Bila Anda ke rumah kami sekarang, Anda harus menginap karena angkutan menuju rumah kami tak seperti di kota. Angkutan yang lewat saat ini adalah yang terakhir. Sementara di rumah kami hanya ada dua kamar” Ucapku menyela percakapan mereka memberikan tanda bahwa aku keberatan dengan usulan itu. Namun entahlah, pada akhirnya laki-laki itu tiba di rumahku. Sejenak ketika kuhempaskan kebencianku padanya, hatiku bisa merasakan kedamaian. Seperti itukah kelurga yang utuh. Hatiku runtuh ketika tersadar olehku bila ini bukan keadaan yang demikian. Kutinggalkan mereka bercakap di teras depan. Aku menyiapkan makan malam.

“Elmira di mana Ayahmu?” Tanya laki-laki itu.

“Ayahku? Selama ini Ibu tak pernah menceritakan bagaimana ayahku dan juga keberadaannya”

“Elmira tidak mencaritahu?” Laki-laki itu ingin tahu.

“Ibu selalu melarangku. Bahkan ibu selalu marah bila Elmira bertanya soal ayah”

“Jika ibu telah melarang, jangan sekali-kali ada niat untuk mencari ayah”

“Mengapa?” Tanya Elmira

“Mungkin itu akan menyakitkan hati ibumu, mungkin juga akan menyakitimu”

“Tapi ibuku pernah bilang jika ayahku itu sangat baik”

Suasana terasa semakin beku ketika putriku mengambil diri untuk istirahat lebih dulu. Aku memutuskan untuk ikut serta bersama putriku. Namun rupanya laki-laki itu itu menahanku.

“Apa tidak ada yang ingin kau beritahukan padaku?” Dia bertanya

“Tidak” Aku menjawab dengan dingin

“Elmira. Apa dia putriku?” Dia bertanya. Binar dikedua matanya menyiratkan harapan.

“Elmira? Tentu dia bukan putrimu” Aku menyangkal

“Ayahnya? Aku ingin tahu seperti apa ayahnya?”

“Ayah Elmira. Dia ayah yang baik. Dia pandai dan lembut dalam bercakap juga bijak dalam tingkah. Ayah Elmira adalah ayah yang baik”

“Lalu bagaimana kau menjalani hidupmu di sini?” Dengan raut wajah yang iba ia bertanya.

“Aku tiba di tempat ini dengan perut yang sedikit membuncit. Selebihnya Pulau kecil dengan segala keanggunannya ini, juga mereka, penduduk-penduduk yang ramah inilah saksi tumbuh kembang Emira. Bila mentari datang kembali, kubawa serta Elmira untuk mununaikan kewajibanku. Butuh 15 menit bagiku untuk sampai di sekolah. Kami berangkat naik sampan. Sembari menunggu sampan menepi di labuhnya biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan sarapan. Jika tak demikian kami akan terlambat tiba di sekolah. Bila di kota besar usia putriku saat itu telah cukup untuk tinggal di taman kanak-kanak. Namun di sini tak ada sekolah yang demikian. Aku mengenalakan dunia pendidikan padanya dengan mengajak serta putriku untuk ikut ke dalam kelas tempatku mengajar. Di sana biasanya dia sengaja kududukkan di kursi dekat mejaku (meja guru). Bila giliran lonceng berbunyi tanda istirahat tiba tak jarang anak didikku mengajaknya bermain-main. Elmira kecil dulu, ketika mulai mengenal huruf hampir setiap malam dengan semangat dan rasa ingintahunya yang tinggi dia terus mengeja huruf-huruf yang tertulis di buku baca itu. Bila tak kuhentikan sampai larut dia akan terus demikian. Menanyakan makna di balik setiap kata yang tak diketahuinya. Suatu waktu ia pernah bertanya padaku. “Ayah. Apa ayah itu Ibu?” Kubilang, “Ayah itu seperti Pak Karto bagi Ainin juga seperti Pak Pilin bagi Isba. Dia hanya mengangguk dan seperti ingin menanyakannya kembali tapi tak berani. Pertanyaan itu melucut saja dari mulutnya. Dan itu membuatku sedih dan tak tahu bagaimana harus kujelaskan padanya.” Ceritaku begitu panjang

“Meskipun aku ingin marah padamu, selalu ingin memarahimu, bahkan sangat membencimu tapi aku juga ingin berterima kasih padamu. Terima kasih telah memberikannya padaku. Aku tak tahu bagaimana hidupku tanpanya” Tambahku pada laki-laki itu

“Terima kasih pula telah mengajarkan padanya ayah yang baik. Maaf aku tak bisa memberikan kebahagian padamu juga pada putri kecilku. Semenjak kepergianmu ketahuilah bila aku telah menikahi ibu tiriku” Wajahnya memerah dengan air mata yang membendung.

“Ayah mertuaku?” Aku bertanya dengan nada bergetar.

“Beliau wafat. Mungkin dia juga telah menjadi korban sepertiku. Mengapa dulu tak kau beritahukan kehamilanmu padaku?” Ia kembali bertanya dengan suara yang terisak

“Aku tak mau memberikan pilihan tersulit padamu”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mertuanya sadis hee..

21 Jun
Balas

Ya Bu Sadis banget, hehe

21 Jun

Waduh. Kompleks masalahnya. Masya Allah.

20 Jun
Balas

Iya Yudha, semoga masalahnya bisa cepat terurai...

21 Jun

Cinta tanpa syarat.

20 Jun
Balas

Benar Bu Ermawati

21 Jun



search

New Post