nila maulana

Nila Maulana lahir di Malang pada 21 November 1988. Pernah Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang. Saat ini mengajar di salah sa...

Selengkapnya
Navigasi Web

KUTUKAN TUHAN ATAU SERAPAH IBU?

Hari ini berangsur setelah perpindahan dinas bapak pada kantor bagian lain, bapak kerap pulang terlambat. Kami mengerti karena tugas di kantor bagian ini mungkin lebih banyak dibandingkan dengan kantor bagian sebelumnya. Bapak sering meminta izin pada ibuku. Setiap pulang kantor bapak acap mengantar teman wanitanya pulang. Suatu waktu pernah ibuku bertanya mengapa harus demikian? Lalu bapak menjawab dengan alasan kemanusiaan. Baiklah ibu bisa memakluminya.

Suatu malam, bapak belum juga tiba di rumah. Aku berpikir mungkin di sana cuaca sedang hujan karena bapak tak membalas pesan yang dikirimkan ibu. Bapak memang demikian bila hujan belum reda akan tetap tinggal di kantor. Namun aku mendengar kabar lain dari ibu. Malam itu bapak meginap di rumah teman wanitanya dengan alasan keselamatan bila hendak pulang ke rumah karena bapak harus lembur hingga larut. Ini adalah sikap bapak yang baru kujumpai setelah kepindahnya ke kantor bagian baru. Suatu ketika dalam percakapan santai dengan nada hati-hati ibu bertanya.

“Apa tidak mengapa bila kau menginap di sana? Apa suaminya tak keberatan menerimamu di sana?”

“Keluarganya sudah akrab dengaku termasuk dengan kedua putrinya. Suaminya sudah menganggapku sebagai adik. Kedua putrinya juga menganggapku layaknya paklik” Bapak menegaskan hal itu kepada kami.

Baiklah, sebuah pertemanan yang kelak menjadi keluarga. Dan benar saja teman wanita bapak itu sungguh ramah. Pada perayaan hari Raya Idul Fitri ia bersama suami dan ketiga putrinya berkunjung ke rumah kami. Tidak cukup bersilaturahmi saja wanita itu datang dengan tanpa tangan kosong. Kami merasa cocok dan pas dengan pakaian pembelian wanita itu. Demikian dengan ibuku, wanita itu memberinya sebuas tas tangan. Aku tak tahu itu tas bermerek atau tidak, yang pasti ketika tas itu dikenakan ibu terlihat begitu menawan. Tapi ibu menyayangkan, baginya tas itu tak begitu berfungsi. Dalam satu tahunpun dapat terhitung ibu keluar rumah dalam acara resmi. Yang pasti keluar adalah saat pengambilan rapor sekolahku. Berbeda dengan wanita itu. Ia wanita karir yang mungkin setiap hari bisa bergonta-ganti tas menyesuaikan dengan busananya. Bisa bersosial dengan banyak orang di kantor, maka tak ayal bila ia begitu ramah dan banyak pembicaraan untuk membangun sebuah obrolan. Ibuku, ia adalah wanita udik dengan tamatan sekolah dasar. Dalam kesehariannya ia hanya menghabiskan waktu dengan mengurus kami, aku dan adikku. Ibuku, lebih memilih menarik diri bila harus bergabung bersama ibu-ibu rumah tangga lain yang kerap menggunjing tetangga.

****

Hari ini seluruh keluarga kami berkabung. Nenekku, ibu dari bapak meninggal dunia setelah berminggu-minggu menjalani rawat inap di rumah sakit. Banyak tamu berdatangan. Ada yang lalu duduk bersimpuh membacakan doa di depan jenazah. Ada yang menanyakan perihal sakit yang diderita. Ada yang lalu berbaur menyertakan diri dengan keluarga kami seraya meronce bunga krisan dan daun pandan yang akan dilingkarkan pada keranda jenazah. Layaknya adat jawa biasanya, selepas almarhum dikebumikan malam hari kami mengadakan acara tahlilan selama 7 hari. Aku bersama ibu juga saudara wanita lain menyiapkan jamuan-jamuan untuk tamu undangan.

“Assalamualaikum” Kudengar salam seorang wanita dari luar.

Pada peringatan tiga hari kematian nenek seorang wanita datang bersama dengan bapak. Aku bersama ibu duduk menemui wanita itu. Kami mengobrol sebentar sebelum wanita itu menawarkan untuk membantu kami menyiapkan jamuan. Tetapi ibu melarangnya. Ibu mempersilahkannya untuk makan. Kemudian ibu berlanjut dengan persiapan acara tahlilan. Sambil berlalu kami mendapati wanita itu melayani bapak makan. Bapak duduk di kursi sambil bergurau kecil dengan wanita itu. Sementara wanita itu berdiri sambil mengambil sepiring nasi lengkap dengan hidangan laukknya. Lalu mempersembahkannya pada bapak. Itu ganjil pikirku. Bahkan sekalipun hanya berbasa-basi tawaran makan bersama kepada ibu tak keluar dari mulut keduanya. Tak cukup itu selepas acara tahlilan, bapak juga mengantarnya pulang. Suaminya? Kemanakah suaminya? Ucapku dalam hati.

Suatu malam ketika aku hendak memadamkam lampu ruang tamu dan mengunci seluruh pintu dan jendela rumah dari dalam kamar terdengar lirih suara ibu bercakap dengan bapak.

“Apakah Bapak sedang membuat jeda denganku?” Sepertinya ibu bertanya dengan nada kesal.

“Apa maksud Ibu?” Bapak menjawab datar.

“Wanita itu?” Ibu seperti ragu-ragu mengutarakan isi hatinya.

“Mengapa?” Bapak kembali bertanya.

“Dia berperangai buruk” Ungkap ibu dengan kehati-hatian

“Jaga ucapan Ibu!” Bapak sedikit membentak.

Maka kala fajar menyinarkan cahanya kudapati bapak sedang tidur di ruang tengah dengan ponsel di genggamannya.

****

Malam ini hujan turun dengan deras. Gemericiknya mengungkung kami dalam sebuah kebekuan. Dan lihatlah, suasana makan malam kali ini. Tak kudapati lagi ibu yang melayani ayah. Selepas menghidangkan makanan kulihat ibu duduk seraya mengambil nasi dan lauk untuk dirinya sendiri.

“Selama enam tahun Bapak tak pernah keberatan jika harus mengantar Lena sekolah. Mengapa kali ini Bapak keberatan? Bahkan jarak kantor dengan kampus Lena tak sejauh jarak kantor dengan sekolah Lena dulu?” Ibu memulai sebuah obrolan.

“Jangan bicarakan itu kembali” Sahut bapak kesal.

“Tawaran itu tak sepenuhnya untuk Lena. Itu hanya caranya menjaga intensitasnya dengan Bapak” Ucap ibu lirih sambil berlalu meninggalkan bapak yang masih menikmati makan malamnya.

Saat itu belum genap sebulan aku masuk ke perguruan tinggi. Di perguruan tinggi jadwal kuliah semester pertamaku tak begitu padat. Rupanya keadaan yang demikian terbaca oleh wanita itu. Lain waktu ketika dia berkesempatan berkunjung ke rumah kami, wanita itu menawarkan agar aku tinggal bersamanya. Bukan kebetulan memang jika dihitung jarak rumahnya tak sejauh jarak rumah menuju kampus. Jadi, bila ada jadwal kosong di tengah waktu aku bisa beristirahat. Seketika aku menolak tawaran itu. Aku lebih suka mengisi waktu kosongku dengan tetap tinggal di kampus, berkunjung ke perpustakaan atau bermain ke kos temanku. Hal yang demikian itu rupanya tak disetujui bapak. Bapak berkeras memaksaku untuk tinggal di rumah wanita itu.

***

Tengah malam bulan Ramadhan, selepas sholat witir di masjid. Aku mendapati Bapak dengan ponsel di genggamannya. Ibu menanggalkan mukenahnya lalu melangkah mendekati bapak dan menyahut ponsel itu. Dalam sejarah, ini pertama kalinya ibu meluapkan emosinya tanpa kendali.

“Jangan mendakwaku seperti mendakwa seorang maling. Panggilan “sayang” yang demikian sudah biasa di kalangan kami sesama teman satu kantor”

“Sudah kuduga dia bukan wanita baik-baik” Ibuku tertawa sisnis.

“Bukankah sudah kutegaskan di awal?” Bapak menyangkal

“Bapak pikir aku percaya?”

“Baiklah, bila apa yang kau pikirkan benar lantas mengapa? Apa kau ingin kuceraikan? Kau ingin kuliah Lena tetap berlanjut bukan? Berhentilah membahas persoalan ini!” Ucap ayah dengan membentak ibu.

“Ponselmu itu tak kau gunakan dengan sepatutnya. Tingkahmu yang setiap malam bersembunyi-sembunyi dan beringsut meninggalkan kamar melebihi tingkah Lena. Itu memalukan!” Dengan emosi yang membuncah ibu beranjak memasuki kamar adik laki-lakiku. Kudapati ibu tersedu sambil mengusap-usap kening adikku yang tengah tertidur pulas..

***

Untuk pertama kalinya ibu menginjakkan kaki ke rumah wanita itu. Aku tahu, ibu menolak. Namun lagi-lagi bapak berkeras. Dan untuk kesekian kalinya ibu mengalah dengan sifat kerasnya bapak. Di ruang tamu mereka, ibu, bapak, wanita itu bersama suaminya duduk berbincang. Tiba selepas wanita itu menghidangkan minuman di atas meja ibu mendengus bau yang tak sedap. Serupa bau bangkai yang lama tak diketahui. Baunya semakin menyeruak ke seluruh ruangan diikuti dengan datangnya lalat dan belatung. Wanita itu mencoba mencari tahu sumber bau itu. Membuka tong sampah memastikan bila terdapat bangkai yang mebendung di dalamnya. Di sana suaminya mencoba mencari sumber belatung dan lalat itu. Rupanya tak berhasil, belatung dan lalat itu terus berdatangan dan menyebar ke seluruh ruangan. Lalu di taman bapak membiak-biakkan rumpun tanaman, barangkali ada bangkai yang tersembunyi di dalamnya. Sementara ibu hanya duduk berdiam sambil melihat mereka yang mencari sumber bau itu. Suami wanita itu menyemprotkan pengharum ruangan ke seluruh sudut ruangan, dengan tujuan mengusir lalat dan belatung itu. Wanita itu juga memerintahkan putrinya untuk membuka seluruh jendela dan meletakkan cawan berisi aroma terapi. Tetapi bau itu masih terus menyeruak dan hampir membuat muntah. Pada akhirnya mereka menyerah dengan bau tak sedap yang tak kunjung reda itu.

Anehnya bau bangkai itu berangsur memudar bersama dengan kepergian bapak dan suami wanita itu. Dua laki-laki itu meninggalkan ibu dan wanita itu untuk berbincang di rumah.

“Pak Dar lebih suka masakan pedas ya, ia selalu lahap dengan bekal masakan yang saya bawa!” ucap wanita itu. Lalu ibu membalasnya dengan senyum.

“Oh ya Pak Dar juga lebih suka denga sego wadang. Terkadang dari rumah saya sengaja menyisihkan nasi sore hari untuk sarapan Pak Dar” Sekali lagi ibu hanya tersenyum.

Di sela-sela jam kantor wanita itu sering keluar bersama bapak. Sekadar pergi berbelanja ke sebuah pasar induk. Keluar mengantar wanita itu pergi ke rumah ibunya yang tengah sakit. Atau bahkan mengantar wanita itu mengambil rapor putri bungsunya.

Hal yang paling mengarak kesedihan ibu adalah ketika bapak menemani wanita itu bersama putrinya menghabiskan waktu berbelanja di sebuah mall. Padahal permintaan kami yang seperti itu setiap menjelang hari raya tak pernah dilayangkan oleh bapak. Kami tak tahu bagaimana rasanya menghabiskan waktu untuk berbelanja pakaian sendiri. Kami hanya menerima pakaian yang siap pakai. Tanpa tahu bagaimana asiknya memilih pakaian yang cocok dan pantas sesuai dengan pilihan sendiri.

***

Perhatian nyata yang diberikan wanita itu pada bapak. Pemberian hadiah-hadiah ulang tahun padaku juga pada adikku. Kehadirannya pada setiap acara keluarga kami. Segala bentuk bantuannya dan pemberiaannya itu tidaklah setulus yang kukira. Ibu pernah meronta. Ibu ingin tahu kebenaran atas semua, tapi dengannya bapak bersepakat untuk berdalih. Pada akhirnya ibu menyerah dengan pemberontakan itu ketika bapak mengancam kelangsungan hidup kami. Ancaman dengan tidak menyekolahkanku juga adikku. Maka semenjak hari itu ibu dengan entah selapang apa kesabaran yang dimilikinya lebih memilih bungkam. Yang entah dalam kebungkamannya mungkin ibu mengutuk dan menyumpah serampahi wanita itu. Atau dalam kebungkamannya ibu memilih kesehatannya karena ibu tak mau sedih berlarut yang mungkin akan menggerogoti kesehatannya. Dan aku mengutuk wanita itu karena hubungan yang tidak dibenarkan oleh hukum dan agama.

***

Hari ini adalah hari pernikahan putri pertama wanita itu. Ibu bersamaku datang ke acara itu. Bapak dengan alasan membantu pelaksanaan acara sejak tadi malam tak pulang. Terbayangkan bagaimana suasana gedung sebuah pernikahan. Ruangan luas yang dihias lampu dengan beberapa sudutnya teruntai rangkaian bunga. Deretan kursi berjajar rapi lengkap dengan talian pita dan sekuntum mawar merah di bagian belakangnya. Kelopak mawar putih terlihat bertebaran di atas meja yang biasanya menjadi tempat ijab lengkap dengan untaian mawar putih yang disusun melengkung di atas rangka, singgasananya. Sementara calon pengantin laki-laki siap mengucap janjinya. Para saksi siap menjadi saksi ijab itu. Dan para tamu undangan, keluarga, saudara, juga kerabat tengah duduk dengan harapan keberhasilan ijab pada satu tarikan nafas. Namun sesampai di pintu masuk hall aku mendapati pemandangan yang tak semestinya. Kudapati hampir seluruh tamu wanita mengenakan tisu yang ditempelkan di hidung. Sebagain lagi para tamu lelaki menutupi hidungnya dengan telapak tangannya. Di sana setiap petugas WO sebentar-sebentar menyemprotkan pengharum ke seluruh ruangan. Rupanya rangkaian mawar di singgasana tak mampu mengharumkan seluruh sudut hall pahargyan itu.

Aku melanjutkan langkahku ke dalam hall itu. Semakin melangkah ke dalam ruangan penciumanku akan bau tak sedap serupa bau bangkai itu semakin menajam. Aku menyadari keriuhan tamu undangan itu ternyata bukan obrolan-obrolan yang semestinya. Mereka para wanita dengan mulutnya itu mencibir dan mengeluh atas bau serupa bangkai itu. Semua tamu undangan memasangkan tisu di atas hidungnya. Terlihat bapak mengenakan batik malangan lengkap dengan blangkon di atas kepalanya sedang berdiri gusar menampik belatung dan lalat yang semakin berdatangan dan menyebar ke seluruh hall. Kedua hewan itu berkerumun pada setiap hidangan jamuan para tamu undangan.

Keganjilan yang lebih mengejutkan adalah ketika mempelai laki-laki beringsut meninggalkan ruangan ketika penghulu siap menuntunnya untuk ijab qobul. Disusul dengan para saksi dan tamu undangan lain berhamburan meninggalkan gedung pahargyan itu. Dan benar saja. Ini bau bangkai yang sama ketika ibu berkunjung ke rumah wanita itu. Calon pengantin wanitanya tampak pilu. Terpaku tanpa kata. Jika selama ini ibuku bisa membungkam mulutnya sendiri nyatanya ibu tak mampu membumkam Tuhan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

cerpennya menyentuh hati, sepertinya saya turut merasakannya.. Maha besar Allah yang telah memberikan kehidupan dan kematian, begitupun segala dosa yang harus dipikulnya, tanpa harus menunggu lama, hukuman itu pasti akan datang.

24 Jun
Balas

Benar Bu Dati, Allah maha adil...

05 Jul

Keren banget ceepennya bu. Saya terkesima.

24 Jun
Balas

Terima kasih Pak Yudha...

05 Jul

Becik ketitik ala ketara. Baik dan buruk akan tampak sekalipun ditutupi dg apapun dan bgmnpun. Naudzubillah, atas sikap Bapak. Valuable short story, Bu.

24 Jun
Balas

Terima kasih Bu Safiroh. Benar Bu, becik lan ala bakal ketara ing tembe mburi.

05 Jul

Banyak pembelajaran dalam tulisan itu...mksh mba Nila

24 Jun
Balas

Terima kasih juga Bu Umul...

05 Jul

Mbak Nila, sangat menyentuh nurani terdalam.. semoga hanya fiksi.. bukan realita kehidupan..!!! Salam perkenalan.. Wassalam

23 Jun
Balas

Terima kasih Pak Bambang, itu perpaduan realita dan imajinasi hehe

05 Jul



search

New Post