Tikuluak Usang
Tikuluak Usang
Tantangan Menulis Hari ke 34
Tantangan Gurusiana
Perempuan tua itu, duduk sendiri di pintu masuk gubuknya. Wajah tirus itu memandang jauh entah kemana. Terlihat bulir bening pelahan membasahi pipi yang terlihat mulai cekung dimakan usia. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Terlihat tepi *tikuluak yang dipakainya telah basah, karena tiap sebentar digunakan untuk menyapu pipinya. Ia menatap jalan yang sepi. Hanya mobil yang terlihat lalu lalang. Ia berharap salah satu mobil itu akan berhenti dan sesosok wajah akan muncul dan menyapanya. Tapi harapannya hanya sia-sia. Tak seorangpun berhenti. Bathinnya berkata sudah sepuluh kali Ramadhan , dia tak pulang.
Perlahan dia putar badan ringkihnya itu kembali masuk rumah. Beringsut-insut ia seret tubuh tak berdayanya. Ada kasur tipis, dalam ruangan itu. Dia rebahkan tubuh lelahnya. Wajah itu basah air mata. Tak henti-henti diusapnya dengan tikuluak usang yang warnanya telah pudar. Dalam isak itu ia tertidur meringkuk di atas kasur tipis itu. Ketika terdengar azan ashar dia terbangun. Kembali dia menyeret tubuhnya ke kamar mandi yang berjarak sepuluh meter dari gubuknya. Dia mandi dan berwudhu’ dengan susah payah, karena memang kedua kakinya sudah tidak bisa berjalan lagi.
Sebelum mengenakan mukena yang terlihat tak putih lagi, ia kembali ke pintu masuk dan menatap jalan yang di lalui mobil lalu lalang. Mata itu tetap basah, mukena yang usang itupun basah kembali. Ia menyeret tubuhnya ke sajadah yang terletak di lantai tanpa tikar. Ia melakukan sembahyang ashar sambil meneteskan air mata.
Diakhir sembahyang sore itu ia menadahkan tangannya. “ Ya Allah, yang maha menjaga, hamba tidak tahu, apa yang terjadi dengan anak hamba. Sudah sekian lama dia tidak pulang, engkau yang maha tahu ya Allah. Kalau ini salah hamba , ampunilah hamba. Jangan ijinkan sebuah masalahpun menerpa hidupnya. Ya Allah,jangan beri dia kesusahan. Lapangkan hidupnya. Beri dia rejeki yang berlimpah, Ya Allah, ya Rahman. Kabulkanlah permohonan hamba ya Allah”. Dia tutup doa itu dengan kembali mengusap air matanya dengan tikuluak usang yang teronggok di sisi sajadahnya.
Perlahan dilipatnya mukena usangnya. Dia ambil tikuluak usangnya, memakainya di kepala dan ia membuka jendela dekat kasur tidurnya. Di tariknya kursi dengan berinsut ke jendela. Dengan tertatih-tatih ia berdiri dengan berpegang erat pada sisi jendela lalu duduk di kursi. Kembali menatap jalan dan berharap ada seseorang turun dari mobil yang lewat, memeluknya dengan erat. Tapi ternyata masih seperti sepuluh tahun yang lalu. Tak ada siapapun.
Perempuan tua itu mengenang kembali masa-masa di mana kepergian anak perempuannya. Anak perempuan satu-satunya, dia timang dan dia kasihi sepanjang hidupnya. Sejak kecil ia besarkan tanpa ayah yang normal. Suaminya mengalami gangguan jiwa. Dia membesarkan anaknya sambil merawat suaminya yang sakit jiwa. Ketika anaknya berumur dua tahun suaminya hilang entah kemana. Dengan menggendong anaknya yang masih kecil ia berusaha mencari suaminya. Bekerja apa saja untuk memberi makan anaknya. Tak satupun keluarga memberikan dukungan padanya, bahkan membencinya karena dianggap telah memberi malu pada keluarganya.
Sampai matahari hilang dibalik bukit, perempuan itu tak mendapatkan apa-apa dari pandangan mata tuanya. Ia turun dari kursinya, dan berinsut ke dapur. Dia ambil nasi dari dalam periuk, dan ia sediakan piring untuk dirinya dan satu lagi untuk anaknya, mudah-mudahan pulang dan muncul di pintu.
Ketika azan magrib, waktunya berbuka Ramadhan hari pertama, ia suap satu persatu nasi itu ke mulutnya, terasa hambar nasi itu di mulutnya. Tapi tetap dia coba suap. Sampai suapan terakhir masih nanar matanya menatap piring nasi lengkap dengan lauknya. Lauk yang cuma satu-satunya dia letakkan di piring itu dan dia memilih untuk makan sambal saja.
Ketika magrib masuk ia, berwudhu’ dan sholat. Dia cuma bisa sembahyang dengan duduk karena kakinya lumpuh. Kemana-mana ia merangkak. Lutut dan punggung kakinya habis karena selalu diseret di lantai yang kasar. Kalau ada darah yang keluar ia obati dengan obat yang diberi oleh orang yang kasihan padanya. Begitu juga dengan makanan, selalu diberi oleh tetangganya yang kasihan padanya.
Di atas sajadah itu ia ingat kenapa anaknya pergi. Ia dianggap telah membebaninya karena keadaan badannya. Dia dianggap nyinyir karena selalu mengingatkan apapun yang membuat anaknya dalam bahaya. Tapi anaknya tersinggung. Dia ingat malam itu” Umi terlalu ikut campur, apapun hidupku aku yang menanggung, merangkak seperti itu saja masih mengurus orang lain, dasar orang tua”.
Mendengar anak satu-satunya menghardiknya seperti tanpa harga, jiwa ibu yang ada dalam dirinya berontak. Dia marah” kau tahu kenapa aku mengingatkanmu? Karena ini ibu, aku ibumu, aku yang melahirkan dan membesarkanmu. Sekarang kau anggap aku tidak berguna, siapa yang mengajarkanmu?
“Kalau Umi menganggap aku beban, kenapa aku di lahirkan. Aku tak minta lahir dari ibu seperti umi” dengan kemarahan yang tak tanggung-tanggung, perempuan yang telah ia kandung itu mengambil barang-barangnya dan berangkat meninggalkannya. Ia menjerit melarangnya, tapi tak satupun, kata-katanya membuat langkah itu surut. Dengan tangis berderai ia pandangi punggung anak yang ia kasihi. Sejak itu ia selalu melihat ke jalan, berharap anaknya kembali.
Dua tahun kemudian ia mendapat kabar anaknya telah menikah dan memiliki dua orang anak. Ketika ia mendengar anaknya mendapatkan masalah di perantauan, ia menangis dan meminta pada orang yang membawa berita untuk membawanya pulang. Tapi anaknya tak pernah pulang, namun menantunya membawa dua orang bocah padanya. Ia menjerit bahagia, itu adalah cucunya. Tapi mana anaknya? Menantunya itu mengatakan dia tak bisa pulang, karena tersangkut masalah hukum di rantau.
Dia menitipkan bocah itu pada perempuan tua itu. Ketika menantunya kembali, dia ambil sesuatu di ujung tikuluaknya, beberapa lembar uang ribuan dia serahkan pada menantunya, “jaga dia ya nak, ini ada sedikit uang dari umi, mudah-mudahan dia sabar”, katanya dengan air mata berlinang.
Dia peluk cucunya dengan air mata berlinang . Dia berkata, “kalian akan aman bersama uwo nak”. Sejak saat itu, setiap hari tubuh tua itu menanam tanaman apa saja di belakang gubuknya, yang penting bisa dimakan. Tapi kalau saudaranya datang, maka ia akan dimarahi. “ Anak durhaka itu juga yang kau pikirkan, badan saja tak mampu kau gerakkan, dari dulu hidupmu hanya untuk anakmu”. Dia tak menjawab, ditahannya semua cercaan yang mengatakan dia bodoh , diperbudak anak. Dia cuma membathin,” andai Tuhan meminta nyawaku untuk anakku, akan aku berikan, asal hidupnya bahagia”.
Setahun dia menghidupi cucunya dengan tubuh lemahnya. Ada-ada saja orang yang akan membantunya. Dia ciptakan kebahagiaan untuk bocah-bocah itu, dengan segala deritanya. Tikuluak usang selalu basah karena mengusap air matanya. Namun senyum bahagia selalu mewarnai hidupnya.
Ketika dia sedang menebang pisang dengan merangkak di kebun, tiba-tiba terdengar suara cucunya. “ Uwo, papa datang”. Ia merangkak masuk gubuk, ada menantunya di situ. Ia tanyakan anaknya “ bagaimana anak umi? . “ Dia tidak mau pulang mi, saya disuruh jemput anak-anak”. “ Kenapa? Umi merindukannya, tolong bawa dia pulang, tolong umi ya? Perempuan itu menghiba dan meratap sambil mengusap matanya dengan tikuluaknya.
Hari itu, dia lepas menantu dan cucunya pergi. Tak henti-hentinya tikuluak itu mengusap wajahnya. Semua beras, pisang, sayur dan semua uangnya dia berikan pada cucunya. “ Jaga diri baik-baik ya nak, bilang sama mama , uwo akan selalu berdoa dan menunggunya pulang. Mereka berpelukan, semua kenyerian seakan menyatu dalam dadanya. Tak bisa ia bagi , namun ia tahan dengan segenap kekuatannya.
Sejak itu, sudah hampir sepuluh tahun, dia tidak mendengar kabar tentang anak dan cucunya. Setiap ada orang berkata bertemu anaknya, dia kirimkan beras makannya, uang belanjanya, dan dia memilih menahan lapar sampai ada rejeki lagi.
Azan isya terdengar, ia sembahyang dan mengangkat tangannya” Ya Allah, andai tangan ini tak lagi mampu ku tadahkan padamu, untuk meminta satu hal, pertemukan hamba dengan anak hamba . Tapi kalau engkau bisa mengganti pertemuan hamba dengannya, berupa kebahagiaannya , hamba ikhlas ya Allah. Gantilah pertemuan hamba dengan kebahagiaannya. Namun kalau boleh hamba meminta satu hal lagi, ijinkan jasad hamba menyentuh kulitnya ya, Allah. Hamba begitu merindukannya, Kabulkanlah ya Allah”, tutupnya sambil mengusap wajahnya dengan tikuluak usangnya.
Sampai azan subuh dia habiskan waktu hanya untuk membaca Alquran dan sholat . Setelah sholat subuh dia rebahkan tubuhnya yang sangat lemah. Ketika tertidur, ia melihat ayah, amak dan suaminya, duduk di dekatnya” istirahatlah nak, tubuhmu sudah terlalu lelah, ayah dan amak akan membawamu ke tempat yang paling indah"
Dia tatap suaminya penuh rindu. Dipanggilnya suami yang berpuluh tahun ia cari” uda”, lirih suaranya . Laki-laki yang dicintainya itu mengembangkan tangan padanya, tertatih-tatih ia menyambutnya dan menangis dalam pelukan suaminya, air matanya basah, suaminya menghapus dengan tikuluak usang miliknya. “ Uda tak akan pernah meninggalkanmu lagi, tenanglah, kita akan selalu bersama”. Suaminya menggendongnya dengan penuh kasih sayang, berjalan bersisihan dengan ayah dan amaknya.
Sebuah mobil berhenti di jalan depan gubuk itu, seorang perempuan turun diikuti seorang laki-laki dan dua orang remaja. Terlihat rasa tak sabar di wajah mereka. Di depan pintu, perempuan itu memanggil dengan kerinduan luar biasa. “ Umi, aku datang”. Hening, tak ada suara yang terdengar menjawab. Berganti - ganti mereka menggedor gubuk itu, namun tak ada jawaban. Rasa cemas dan panik mewarnai wajah perempuan itu. dia berteriak sambil menangis” Umi , buka pintu, maafkan aku, umi, umi, umi, “. Dia dorong pintu gubuk itu, tidak terkunci. Mereka masuk dan terlihat uminya tidur dengan wajah tersenyum. Ia tersenyum,” umi masih tidur”, katanya lega.
Ketika dia mendekati uminya yang tidur, perempuan itu meraih dan mencium tangannya, dingin. Dia kaget dan mengguncang tubuh itu. “ Umi, umi, umi, umiiiiiiiii, aku pulang, jangan pergi umi, umiiiii”. Seperti orang kehilangan akal sehat, perempuan itu memeluk tubuh tua itu, ia menangis, meratap, memukuli tubuhnya, menjambak rambutnya, bahkan terkadang tertawa terkekeh menceritakan cerita lucu yang di dongengkan uminya waktu ia kecil.
Namun, semua sudah terlambat, segalanya telah berakhir. Penantiannya usai sudah. Dan tugasnya telah selesai .Di hari pertama Ramadhan dia berlalu. Dia telah pergi bersama orang yang yang mencintainya . Tikuluak usang yang tergolek di sisi jasad masih basah karena air mata. Namun senyum kebahagiaan tersungging di bibirnya, wajahnya tenang dan bersahaja. Perlahan gerimis turun, seakan turut melepasnya.
*Tikuluak adalah sebuah selendang, kerudung
Sungayang, 23 April 2020
Marhaban ya Ramadhan, Mohon maaf lahir bathin.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Jadi sedih mbacanya..sukses selalu Nila
Makasih banyak bu, marhaban ya Ramadhan mohon maaf lahir dan bathin