Hampir dua minggu ini aku selalu memperhatikannya, kalau tidak terlambat pasti datangnya pas ketika pagar akan di tutup. Pagi itu dari kejauhan aku melihat dia berlari yang kencang, aku menyuruh satpam agar memperlambat menutup pagarnya. Pernah ketika hampir 15 menit dia terlambat, aku menyuruhnya ke meja piket dan menanyakan perihal keterlambatannya. Wajah pucat dan kurus itu hanya menunduk sambil mempermainkan jemari mungilnya. Aku belum bisa membuat dia berbicara, sambil mengusap kepalanya aku menyuruhnya masuk kelas dan mengingatkannya agar tidak terlambat lagi.

Hari itu dia terlambat lagi, badannya semakin kurus dan pakaiannya sangat kusut. Guru piket  memberinya sangsi dengan menyuruhnya membaca ayat- ayat pendek. Wajahnya sumiringah setelah selesai membacakan hafal ayat- ayat tersebut, akupun merasa lega.

Hampir setengah jam kami menunggu Budi di tempat yang sudah dijanjikan. Aku bersama wali kelas sangat berharap dia menjemput kami. Sebuah sepeda tua tampak dari kejauhan, bunyinya yang keras membuat kami langsung keluar dari mobil. Senyum bahagia dari wajah polos itu membuat kami merasa lega, dia meminta kami memakirkan mobil di sini saja. Selanjutnya mengikutinya berjalan menyeberangi sungai kecil dan melewati pematang sawah. Sebuah rumah dari papan yang hampir runtuh menyambut kedatangan kami, aku sangat terkejut ketika seorang ibu terbaring lemah dilantai dengan badan yang sangat kurus,  di sampingnya duduk dua perempuan cantik yang masih berpakaian SD. Badan kecil itu segera memopong ibunya untuk bersandar, aku tak kuasa menahan air mata yang mengucur deras, kupeluk dia sambil mengucapkan, "Maafkan ibu nak".

Mobil membawa kami pulang dengan pikiran masing- masing, suara khas  Iwan False membuat aku semakin larut.

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu

Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu

Anak sekecul itu tak sempat nikmati waktu

Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal....

Tanjung Pati, 10 Maret 2021