Neneng Susilawati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Ibu sahabat terbaikku

Ibu sahabat terbaikku

Ibu Sahabat Terbaikku

Tetes- tetes air hujan perlahan membasahi aneka macam bunga di halaman. Semakin lama hujanpun semakin deras.

Aku duduk di teras beranda rumah, memperhatikan derasnya nyanyian hujan yang jatuh dari langit. Tetesan air hujan membuat segar tanaman di halaman.

Akupun membatin aah…, selalu saja hujan membuatku terhanyut dengan suasana syahdu. Aku bisa berlama- lama menikmati nuansa indah. Curah hujan membasahi kelopak bunga, daun, seperti butir Kristal yang jatuh memukau.

Tanaman hias di halaman menarikku untuk tetap menatapnya, semua memunculkan kesan indah. Bagian tubuhnya menarik. Memandang bunga, daun, buah, batang bahkan dahannya, cantik menawan.

Tidak hanya indah….semerbak wanginya mengharumkan beranda sampai masuk ke dalam ruangan.

Hembusan angin yang memasuki tubuh membuatku mulai kedinginan.

Tiba- tiba suami datang menghampiriku di beranda.

“Wedang jahe sama pisang goring nih,” suami mendekatiku sambil membawakan secangkir wedang jahe dan sepiring pisang goreng.

“Terimakasih,” ucapku dengan perasaan senang.

Suami yang baik hati duduk disampingku sambil bercerita tentang ibu yang membesarkannya. Aku mengalihkan perhatian kearahnya. Mendengarkan ceritanya sambil menyeruput wedang jahe panas.

Suara Iwan Fals terdengar sayup-sayup menyanyikan lagu ibu di tengah hujan deras.

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh

Lewati rintang untuk aku anakmu

Ibuku sayang masih terus berjalan

Walau tapak kaki

Penuh darah penuh nanah

“Ibu tidak pernah menyerah dengan cobaan yang kami alami.” Kata suami dengan suara bergetar.

Dia bercerita dengan segenap jiwa, kekaguman terhadap sosok seorang ibu panutan begitu melekat dalam angan.

“Bapak dan adik sakit parah di rawat di rumah sakit”. katanya melanjutkan.

“Keadaan ekonomi juga sedang terpuruk”. Sambil memejamkan mata membayangkan kepiluan masa lalu.

Lagu Iwan Fals terdengar lagi, terasa sangat menyentuh.

Seperti udara

Kasih yang engkau berikan

Tak mampu ‘ku membalas

Ibu…

Ibu…

Ku perhatikan bunga cempaka yang bunganya menyembul dari balik dedaunan. Selalu saja aku kagum dengan ciptaan Allah yang maha indah. Berwarna putih, cantik. Bunga cempaka kesayangan Ibu. Melihatnya, selalu membuat aku rindu Ibu…

Seorang ibu memang laksana semarak wangi bunga di taman. Harum baunya melekat hangat dalam relung setiap anak.

Mendengar lagu Iwan Fals, dan memandang bunga cempaka di halaman, mengingatkanku akan harum wangi Ibu.

Ibu yang selalu tegar dalam setiap keadaan. Tidak pernah aku melihat Ibu menangis bahkan ketika ayah berpulang, Ibu dengan tabah menghadapinya.

Ibu beruntung, Bapak seorang suami yang sangat baik dan setia. Tidak sekalipun aku melihat Bapak bersikap kasar atau membentak Ibu. Begitupun sebaliknya. Ibu istri yang sholehah yang siap melayani keperluan Bapak dengan segenap cinta. Tidak pernah ada pertengkaran di antara mereka apalagi karena perempuan lain yang marak terjadi akhir- akhir ini.

“ Kita usaha apa ya Nesya,” kata Ibu setelah 2 bulan kematian ayah.

Ayah seorang pensiunan aparatur sipil Negara dan kakak- kakak sudah bekerja semua. Ibu bisa saja menengadahkan tangan meminta bantuan biaya keperluan rumah tangga. Ibu tidak melakukannya.Tidak pernah aku melihat Ibu meminta- minta walaupun kepada anaknya. Kemandiriannya membuat salut.

“Kita dagang Bu,” ujarku mantap.

“Barang- barang kebutuhan rumah tangga,” kataku melanjutkan obrolan di teras rumah kami.

Teringat sejarah Nabi yang mulai berdagang di usia 12 tahun. Abu Thalib sang paman mengajak Nabi untuk berdagang ke Negeri Syam.

Usaha perdagangan Rosulullah pun tidak main- main. Sang uswatun hasanah telah terlibat perdagangan internasional sejak remaja.

Ibu menanggapi ucapanku dengan tindakan nyata. Dia berikan tabungannya untuk membeli peralatan yang dibutuhkan.

Aku kuras juga tabungannku untuk merenovasi tempat usaha kami. Aku dan ibu memang sangat dekat. Kami team yang kompak.

Aku dan Ibu mulai berjualan dibantu Bibi yang sudah lama menemani kami. Ibu sangat gigih dalam usaha kami, tidak pernah ada keluhan terucap dari bibirnya.

“Perempuan haruslah seorang yang kuat,” kata Ibu suatu hari di beranda.

Wajah Ibu yang menua dengan garis- garis halus tidak membuatnya melemah. Semangat dan gairahnya tetap berkobar. Masih melekat erat senyum tegar di wajahnya.

Usaha kami berkembang cukup pesat. Kebutuhan sehari- hari dan biaya kuliahku bisa kami tangani, tanpa kesulitan yang berarti.

“Tangan yang diatas lebih baik dari tangan yang dibawah”, kata Ibu suatu pagi, ketika kami berbincang setelah sarapan.

“Memberi itu tidak akan membuat kita miskin,” Ibu melanjutkan ucapannya.

Aku menyimak ucapannya. Perkataaanya aku yakini kebenarannya. Selama ini kami merasa cukup bahagia. Kebutuhan sehari- hari bisa terpenuhi dan kami masih bisa berbagi dengan saudara yang membutuhkan.

Ibu semakin renta, tapi semangat dan kemandiriannya tidak berubah. Usianya mendekati 90 tahun, ketika aku mengajaknya ibadah umroh ke tanah suci.

“Kita berangkat umroh ya Bu,” Kataku setengah merajuk.

Ibu menoleh kearahkku, sambil memegang lutut. Akhir- akhir ini memang mulai ada gangguan di kaki Ibu.

“Kalau Ibu capek, bisa menggunakan kursi roda,” Kataku membujuknya lebih lanjut.

Ibu bersedia pergi beribadah umroh bersama keluarga kecil kami. Aku sudah menikah waktu itu.

Kesehatan dan stamina Ibu luar biasa. Pergi dan pulang tidak ada kendala, malah mendapat hadiah kursi roda baru dari maskapai penerbangan Qatar Airways.

Di pesawat ibu yang paling tua usianya. Apresiasi dari perusahaan penerbangan, karena usia lanjut dan masih sehat.

Setelah kepulangan dari tanah suci, kesehatan Ibu semakin membaik. Rasa sakit di kakinya berangsur berkurang.

“Petikkan Ibu bunga cempaka ya…,” katanya di suatu senja.

Bunga cempaka adalah bunga kesayangan Ibu. Aku sengaja menanamnya di halaman. Biasa aku petik di pagi atau sore hari setelah beraktifitas.

“Ya Bu,” dengan senang hati permintaannya aku turuti.

Aku memetik beberapa tangkai bunga cempaka berwarna putih, harum wanginya menenangkan jiwa. Kami mempunyai hobi yang sama, melihat dan mencium harum wangi bunga.

Aku letakkan beberapa tangkai bunga cempaka di tempat tidur Ibu, dan aku selipkan juga di rambutnya. Harum wanginya membuat suasana rumah menjadi segar dan kebahagiaan terpancar dari wajah Ibu.

Usia tua tidak membuat Ibu kehilangan gairah hidup. Tubuhnya selau harum dengan wangi bunga dan parfum kesayangannya. Tidak seperti orang tua pada umumnya yang bau balsam dan sejenisnya.

Rhemason, minyak angin cap lang dan jenis balsam lainnya hanya kadang- kadang digunakan Ibu.

Ibu berpendidikan rendah, tapi sangat cerdas. Mengingat orang, hari dan bulan dengan kejadian yang terjadi, walau kadang untuk waktu yang sudah lama berlalu.

Hobinya menonton berita di TV. Pernah suatu hari ketika aku baru saja pulang beraktifitas di sore hari. Dia bertanya.

Ibu mendekatiku dengan wajah serius.

“ Apakah Presiden Amerika jadi datang ke Indonesia, Nesya” Aku bingung menjawabnya.

Beberapa hari ini aku sangat sibuk dengan beberapa kegiatan yang menyita waktu, sehingga beberapa kejadian yang ada didalam Negeri luput dari pantauan.

Kami keluarga besar,14 bersaudara. Kakak laki- laki tertua mewarisi kecerdasan Ibu. Politikus ulung, karir puncaknya sampai menjadi menteri.

Ibu rumah tangga yang berpendidikan rendah, tapi dapat mendidik anak- anaknya menjadi sarjana. Pastilah Ibu berjuang dalam mendidik dan mengasuhnya.

Tidak mudah mendidik anak sampai berhasil menjadi manusia yang bermanfaat.

Masih terbayang sosok figur Ibu yang membuat kagum. Ada hubungan keakraban yang indah. Sikapnya hangat, bukan hanya kepada anak- anaknya tapi juga kepada keponakan- keponakannya.

Rumahnya selalu ramai, dikunjungi anak cucu, keponakan dan para kerabat. Ibu tidak pernah kesepian.

Ada yang mampir sekedar ngobrol. Ada juga yang berkunjung memang dengan niat merawat dan menyenangkannya. Yang membuat takjub, anak- anak yang rumahnya masih satu kecamatan hampir setiap hari menjenguk Ibu.

Ada kakak laki- laki yang datang untuk memijat kaki Ibu. Kakak perempuan yang menemani, sambil mendengar curhatan Ibu, tentang masa mudanya. Ibu bercerita dengan riang tanpa ada keluhan.

Ada kenangan yang sangat membekas dalam ingatan. Kala itu keponakan Ibu datang, pamit, akan pergi ke tanah suci untuk beribadah umroh.

Ibu menyambut kedatangan keponakannya dengan sangat senang. Diberikanlah mukena yang diambil dari dalam lemari pakainnya. Ibu memberikan mukena yang masih ada bungkusnya. Aku yang melihat kejadian itu agak tidak senang melihatnya. Tahu kenapa….?

Mukena berbahan sutra dengan renda- renda yang indah, sengaja aku berikan kepada Ibu sebagai hadiah terbaik. Berharap Ibu senang dan memakainya ketika sholat. Yang terjadi adalah, mukena itu diberikan kepada orang lain, walaupun itu keponakannya.

Setelah keponakan Ibu pulang, agak kesal aku bertanya.

“kenapa hadiah indah itu diberikan kepada orang lain, Bu?” Aku bertanya kepada Ibu dengan agak kesal.

“Harganya mahal lho, Bu,” kataku melanjutkan.

Ibu melangkah kearahku dan duduk di sebelahku.

“Kalau kamu memberikan hadiah kepada orang lain, berilah yang terbaik,Nesya” Kata Ibu kepadaku dengan sorot mata serius.

“Jika ada yang baru, itu lebih baik” Kata Ibu melanjutkan ucapannya.

Aku tertegun, rasa haru merayapi hatiku.

Ibu telah berusia 1 abad lebih.Tepatnya 101 tahun, tapi kemandiriannya tidak berubah. Makan, minum dilakukannya sendiri.Tidak pernah meminta tolong keadaku atau kepada Bibik yang sudah lama tinggal bersama kami.

Pada suatu malam, tidak seperti biasanya Ibu memanggil- manggil namaku.

Aku terbangun mendengar panggilan Ibu. Kemudian dengan tergesa- gesa masuk ke kamar Ibu.

“ Nesya, nafas Ibu agak sesak,” Kata Ibu dengan suara perlahan.

Aku sentuh pipinya, rasa panas menjalar ke tanganku. “Suhu tubuhnya pastilah sangat tinggi,” batinku.

Aku ambilkan air putih hangat, berharap sesak nafasnya berkurang dan suhu tubuhnya turun.

Paginya aku antar Ibu ke dokter. Hanya demam karena flu yang diderita Ibu, tapi Karena usia lanjut, dokter meminta Ibu untuk dirawat.

Ibu pernah berpesan kepada anak- anaknya, kalau sakit tidak mau di rawat di Rumah Sakit.

“Biarlah kalau ajal menjemput Ibu berada di rumah, ditemani anak- anak.” Kata Ibu kepada anak- anaknya.

“Ibu jangan didoakan panjang umur,” katanya melanjutkan.

“Doakan sehat aja,”Katanya lagi.

Setelah diperiksa dokter, aku membawa Ibu pulang.

Kami merawat Ibu di rumah. Dokter datang memeriksa Ibu setiap 2 hari sekali. Selang 1 minggu perawatan di rumah, ibu menghembuskan nafas terakhir.

Beberapa hari menjelang pulang ke haribaanNya, Ibu memeluk aku sambil melingkarkan tangannya ke leher, layaknya seorang sahabat. Tidak bicara, hanya senyuman lembut tersungging di bibirnya.

Hari terakhir kehidupannya, Ibu minta diantar ke kamar mandi. Mau mandi dan bersih- bersih.

“ Antar Ibu ke kamar mandi,” katanya kepadaku.

“Ya Bu,” jawabku sambil mendekatinya.

Aku dan ketiga kakakku mengantarnya ke kamar mandi.

Semenjak Ibu sakit, semua anak bergantian menjaganya. Karena usia Ibu sudah lanjut, kami anak- anaknya khawatir kalau ajal sudah dekat. Kami berharap kalau ajal menjemput Ibu tidak sendirian.

Di tengah malam masuk waktu pagi, di hari jumat. Ibu mandi, kemudian ambil air wudhu. Aku khawatir Ibu kedinginan, buru- buru aku mengambilkan handuk yang langsung aku pakaikan ke tubuhnya.

Kami tuntun ke tempat tidur. Aku berikan susu kaleng bear brand, Ibu meminumnya, beberapa teguk.

“Aku mau tidur,”kata Ibu setelah meminum beberapa teguk susu bear brand.

Aku dan kakak membaringkan Ibu. Kami berkumpul di tempat tidur. Ada yang memijat kaki Ibu, ada yang menggenggam tangannya, Aku sandarkan kepalanya di tanganku. Aku peluk sambil membisikkan kalimat toyyibah laa ilaaha illallah. Ibu mengikutinya. Tak berapa lama kemudian Ibu menghembuskan nafas terakhir, dalam dekapanku.

Masya Allah, perpisahan yang sangat indah. Kami mengantar pulang dengan hati tenang. Sudah waktunya Ibu bertemu dengan Allah, sang pencipta alam semesta. Ibu bahagia… tersenyum manis menyambut kekasihNya…

Ibu sahabat terbaikku, tetaplah menjadi matahari penerang jiwaku. Penyemangat dikala lelah, cahaya dikala susah.Cinta terbaikku untukmu…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ibuku. Tak bosa dan tak habis pena ini bercerita dan bertutur ttg ibu. Sosok yg mulia. Smg ibundanya husnul khotimah dan penuh rahmat Alloh di alam kuburnya. Slm literasi. Lanjutkan ibuku...

27 May
Balas

Mantap bun, Mohon maaf lahir dan batin

25 May
Balas

Terima kasih, msh terus belajar. Sama2 mohon maaf lahir batin juga.

26 May

Subhanallah, akhir yang indah, Bu. Insyaallah husnul khatimah. Al Fatihah untuknya . . .

25 May
Balas

Alhamdulillah, aamiin

26 May

Subhanallah, Ibu yang menginspirasi bagi para Ibu.

27 May
Balas

U have a great mother bu hj. Ne2ng.

25 May
Balas

Alhamdulillah, thanks dear

26 May

Ibunda telah membawa sukses dunia akhirat, barokallah bu Neneng

26 May
Balas

Keren

25 May
Balas

Majasih pak, hehe sedang belajar

26 May



search

New Post