Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 11 SIJUK. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi!...

Selengkapnya
Navigasi Web
Di Bawah Langit Papua ( part. 11.

Di Bawah Langit Papua ( part. 11.

#menulis

#cerber

#novel

Di Bawah Langit Papua

Part. 11. Aku Mau Sekoah

Malam ini terasa begitu mencekam. Bintang tak menampakkan diri. Bulan tampak mengintip di sela-sela pucuk sagu. Menimbulkan bayangan yang sedikit horor. Membuat nyaliku sedikit ciut.

Hatiku terasa begitu sunyi. Aku menyesal tadi siang tidak mengajak Hasanah, salah satu dari muridku yang duduk di kelas 6 untuk kembali menginap menemani aku. Beberapa malam kemarin ia menginap karena ingin belajar untuk menghadapi ujian akhir yang akan di laksanakan sebentar lagi. Tetapi tadi siang ia minta izin untuk pulang dulu ke rumahnya.

Setelah selesai salat Isya ku buka Al Qur’an kecil yang memang selalu ku bawa. Hatiku merasa sedikit lebih tenang. Rasa gundah yang sejak tadi kurasakan perlahan mulai menyingkir.

Aku tidak sendiri, ada yang selalu menawasiku. Perasaan itu membuatku sedikit lebih tenang.

Hidup sendiri di tengah keterasingan membuatku sedikit labil. Ada saat aku merasa lelah dan ingin melepaskan semuanya. Kembali ke kota dan melupakan semua mimpi yang sedang berusaha aku rajut.

Rasa ingin menyerah dan putus asa semakin terasa. Apalagi saat bahan makanan mulai menipis. Mie instan yang dulu selalu ku hindari sekarang menjadi makanan pokok yang sangat berharga. Yang selalu harus ku hemat agar cukup sampai beberapa hari. Sampai kemudian menunggu warga yang berangkat ke distrik untuk menitip membeli bahan makanan dan keperluan lain yang kami butuhkan.

“Ayo Dea! Kamu harus kuat! Jangan menyerah, lihatlah senyuman dan harapan yang terpancar di wajah-wajah polos. Mereka membutuhkan kamu!” ujar hati kecilku.

Aku mencoba kembali untuk tersenyum.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar ketukan di pintu.

“Siapa yang datang malam-malam?”

Kudekatkan tanganku ke arah lampu. Untuk melihat angka yang ditunjukkan jarum jam yang melingkar di lenganku. Aku tersenyum. Ternyata baru pukul 8 malam. Belum begitu larut. Tapi itu untuk ukuran kota. Tapi di sini...hanya ada gelap dan sepi!

Aku mencoba mengintip dari celah dinding. Ternyata yang datang Dedi. Rasa lega menghampiriku. Segera ku buka pintu.

“Belum tidur kan De?”

“Belum...ada apa?”

“Enggak, Cuma cari teman buat ngobrol. Perasaan malam ini terasa begitu sepi. Apa Cuma aku ya yang merasakan itu?” Dedi menatapku.

“Ya, samalah...tapi harus gimana?” kataku sambil tertawa.

“Apakah kita mampu bertahan?” tanya Dedi sambil duduk di tangga rumah. Aku juga duduk di tengah pintu. Kami memang selalu seperti itu. Ngobrol dan saling memberikan sesuatu hanya di luar rumah. Aku takut terjadi fitnah.

“Kenapa? Sudah mau menyerah?” Aku tersenyum menatap laki-laki yang sekarang selalu menemaniku. Sosok Dedi cukup ganteng dengan hidung mancung dan rambut yang sedikit ikal yang sekarang sudah mulai di biarkannya memanjang. Karena tidak bisa ke tukang cukur. Begitu juga denganku. Rambutku sudah mulai memanjang. Biasanya aku selalu memotong rambutku. Karena kalau sudah terlalu panjang akan rontok. Tetapi di sini terpaksa rambutku hanya bisa ku ikat.

Dedi cukup tinggi, yaitu 173 cm.kalau kami berjalan bersisian aku terasa begitu kecil. Ya, tubuhku memang cukup mungil.

Aku menganggap Dedi adalah kakakku. Aku sudah mulai terbiasa untuk bercerita tentang apa yang kurasakan. Aku juga sudah bercerita tentang Rio. Bagaimana kisah kami dulu dan tentang perasaanku sekarang.

“Lagi kangen ya sama Widya?” aku meledek Dedi. Ia terlihat menghela nafas. Seperti ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

“Kenapa, kalian lagi ada masalah?” tanyaku lagi. Sebelumnya Dedi menceritakan kalau Widya memang tidak setuju dengan keberangkatannya.

“Sepertinya Widya tidak mau menunggu sampai aku pulang...” katanya sambil merapatkan jaket yang di kenakannya.

Aku terdiam.

“Jadi, kamu mau pulang?” ada rasa takut kalau aku harus meneruskan mimpiku di di tempat ini sendiri.

Dedi menggelengkan kepalanya. Melihat hal itu, entah mengapa hatiku sedikit lega.

“Aku tidak akan pulang, karena ini mimpiku sejak dulu. Untuk bisa datang dan mengasah berlian di tanah Papua. Terlalu banyak yang kecewa kalau kita pergi De,” katanya menatapku. Ku tepuk bahunya.

“Ini adalah salah satu tantangan yang harus kita hadapi. Sebenarnya tidak ada yang merasa tersakiti kalau kita saling mengerti dan mendukung.”

“Iya, De. Harusnya memang seperti itu. Tetapi Widya terlalu keras dan egois. Selalu merasa dirinya yang paling benar.” Dedi terlihat sedikit emosi.

“Mudah-mudahan nanti dia berubah pikiran. Dia beruntung mendapat seorang kekasih yang punya sikap peduli terhadap orang lain.”

Dedi terlihat tersenyum, walau wajahnya hanya terlihat samar-samar di bawah sinar bulan yang sekarang terlihat utuh.

“Kamu bisa saja Dea, aku jadi tersanjung,” katanya sambil bangkit dari duduknya.

“Kamu sendiri bagaimana?”

“Apanya?” tanyaku pura-pura tidak mengerti.

“Sudah bisa melupakan Rio?” tanyanya.

Aku kembali teringat tentang apa yang di ceritakan Ibu. Kalau Rio berusaha untuk menanyakan keberadaan ku. Ia juga datang ke sekolah. Mencari informasi tentangku.

Jujur aku belum bisa melupakannya. Mungkin memang benar apa yang di katakan orang kalau cinta pertama tak pernah mati.

“De, sudah malam. Masuklah aku juga mau pulang.” Dedi memintaku untuk masuk. Aku bangkit dari dudukku dan segera masuk. Angin dingin memang terasa semakin menusuk.

Setelah aku mengunci pintu baru ia pulang ke rumah yang di tempatinya.

**

Aku terkejut ketika pagi-pagi sekali, Hasanah datang ke rumah sambil menangis.

“Ibu Guru tolong Sanah...” air matanya tampak mengalir di pipinya.

Aku yang baru saja selesai berkemas untuk berangkat ke sekolah segera menghampirinya dan mengajaknya masuk.

“Kenapa? Apa yang terjadi?” tanyaku sambil memberikan tissue untuk menghapus air matanya.

“Sa masih mau sekolah...Sa belum mau kawin,” katanya sambil terisak. Aku merasa terkejut mendengar ceritanya. Hasanah masih kecil. Umurnya masih 14 tahun. Tetapi tubuhnya memang tergolong bongsor. Malah ia lebih tinggi dariku. Ya, karena aku memang termasuk golongan mungil dan imut. He he.

Kembali ke Hasanah.

“Memang siapa yang bilang begitu?” tanyaku sambil memeluknya.

“Mama, dia bilang. Selepas ujian Ko tak usah sekolah lagi. Ada yang mau melamar.”

“Ya Allah, anak sekecil ini sudah di suruh nikah?” Tanyaku dalam hati.

“Tolong Sa, Ibu Guru...Sa tramau menikah, Sa mau sekolah,” katanya sambil menatapku.

“Iya, sudah. Nan Ibu Guru bilang deng Mama. Ko harus sekolah dulu.” Mendengar itu. Hasanah terlihat sedikit lega. Ia mulai tersenyum.

Kami berangkat ke sekolah bersama-sama. Pak Dedi belum terlihat. Mungkin ia kesiangan bangun. Pikirku. Karena tak biasanya ia telat datang ke sekolah.

Ku tatap Hasanah. Ia sangat cantik. Rambutnya keriting ciri khas bagian timur. Kecantikannya terlihat begitu eksotik. Sepasang alisnya terlihat sangat indah. Seperti semut yang berbaris. Ia juga termasuk anak yang pintar.

Hari semakin siang. Tak kulihat Pak Dedi di sekolah. Ada rasa khawatir. Aku meminta anak-anak untuk mencari Pak Dedi ke rumahnya. Aku takut terjadi apa-apa.

Rasanya tak sabar menunggu kedatangan anak-anak kembali ke sekolah.

Bersambung...

Apa yang terjadi dengan Pak Dedi? Ikuti terus ya...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ada apa dengan pak Dedi

16 Feb
Balas

Iya ada apa ya Bun...hehe. terima kasih kunjungannya

16 Feb



search

New Post