2. Guru Mengajiku
Tg 2 (365)
Kenangan bersama guru tak akan pernah terlupa, abadi sepanjang masa. Setiap sore kami berombongan datang ke surau tempat kami belajar agama. Guru mengaji kami sangat tegas. Usianya sudah tua, namun semangatnya tak kenal lelah. Bergantian kami masing-masing membacakan satu ayat di depan "Angku". Sebutan yang kami sematkan pada orang tua yang mengajarkan kami membaca Alqur'an.
Guru kami mengatur jam dalam seminggu, tidak selalu untuk mengaji saja . Satu hari belajar tajwid, satu hari belajar hafalan bacaan salat dan hari berikutnya praktek ibadah. Masa kanak-kanak yang tak pernah lepas dari bermain membuat kami sangat senang belajar mengaji di sore hari. Kami tidak pernah merasa letih karena belajar tidak monoton dan tidak ada perasaan tegang. Angku kami karena sudah tua sering kami kecoh di saat beliau lengah.
Ketika angku sedang sibuk menyimak bacaan ayat teman, kami meyelinap, diam-diam belanja makanan. Kalau ketahuan, kami harus rela telapak tangan dihadiahi lidi yang diikat menjadi bersatu kita teguh... , merahlah telapak tangan ini, tapi heran kami tidak menangis kena pukulan.
Saat giliran praktek ibadah salat adalah sensasi yang tak akan terlupakan. Surau kami berlantai kayu, ada yang sudah meliuk-liuk, tetapi papannya kuat. Imam di depan adalah teman yang ditunjuk Angku. Ketika sang imam takbir, kami akan mengikuti dengan suara yang tinggi sekali. Hiruk pikuklah suasana saat itu, Angku akan mengangkat senjata andalannya "lidi bersatu kita teguh", kami akan menunduk dan diam menahan tawa. Jika angku melihat kepala mendongak, siap-siap kaki menerima lidi bersatu kita teguh.
"Ulangi takbir!" Perintah Angku pada imam salat. Kami mulai serius, tetapi hanya sebentar saja. Saat baca Alfatiha, semua harus dengan suara keras yang membuat telinga mendengarnya ngeri-ngeri sedap. Angku akan mondar-mandir mengelilingi kami sambil memegang senjata ampuhnya.
Angku akan pindah ke depan, mencontohkan cara rukuk yang benar. Detik-detik ini akan dimanfaatkan beberapa anak lelaki untuk mengikat jadi satu ujung mukena anak perempuan atau mendorong kesamping satu anak sehingga kami ramai-ramai jatuh seperti bidak catur. Suasana akan menjadi ribut sekali, anak lelaki yang berbuat itu seolah tak bersalah saja.
Kalau sudah begitu, semua kami akan dicambuk lagi, meringis...tentu saja karena sakiit juga. Tetapi ayunan cambuk Angku sudah diukurnya dengan "satuan perasaan". Hanya sebentar saja sakitnya, beberapa menit berlalu, kami akan kembali nakal lagi.....(bersambung)
**
#kenangan masa kecil bersama guru#
#guru kami tak punya akta #
Rumahku, 17 november2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ahaha..... gemes2 gimana kalau jadi Angku ya
Mantap ulasannya
Luar biasa Bunda penuh inspirasi dan mencerahkan