Pesan Terakhir Ibunda
Hari menulis ke-395
#TantanganGurusiana
...
Pagi itu, aku mau berangkat ke madrasah untuk melaksanakan kewajibanku sebagai guru. Sebelum berangkat, tidak lupa aku ke rumah orang tuaku dulu untuk pamit. Karena rumah kami berdekatan aku dengan leluasa dapat mengunjungi orang tuaku, kapan saja aku mau. Karena masih terlalu pagi, aku punya kesempatan lebih lama melayani kedua orang tuaku, terutama sang ibunda yang sudah renta.
Saat masuk rumah kulihat ibu sedang duduk di sofa ruang keluarga. Beliau tengah menikmati segelas susu Kedelai yang diracik sendiri oleh adikku. Beberapa potong pisang goreng tergeletak dalam piring, masih mengepul, pertanda baru saja keluar dari penggorengan.
"Assalamualaikum," salamku. Ibu diam saja. Ibu seperti tidak menyadari kehadiranku. Matanya tengah fokus menatap sebingkai foto keluarga yang terpajang di dinding. Entah apa yang sedang terpikir oleh beliau, sehingga setetes demi setetes air matanya jatuh menimpa pipi keriputnya.
Kudekati beliau. Lalu kupeluk tubuh ringkih itu, penuh kasih sayang.
"Ibu, kenapa?" selidikku.
"Eh, tidak. Ibu tidak kenapa-kenapa," jawab ibu gugup. Dia buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Lalu tersenyum padaku, seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.
"Kamu datang diam-diam, kayak maling saja," ucap ibu padaku. Dia merasa aku masuk tanpa baca salam.
"Anna, tadi sudah baca salam kok, Bu," jelasku.
Ibu tersenyum. Mungkin dia menyadari kekeliruannya.
"Kamu tidak dinas hari ini, An?" tanya ibu kemudian.
"Dinas dong, Bu. Kan sudah pakai baju dinas, nih," jawabku, sambil melepas pelukan dari ibu, untuk memperlihatkan kalau aku memang sudah berpakaian dinas.
"Ayo duduk dulu!" ajak ibu.
"Ini ada pisang goreng dibikin adikmu, Dila," kata ibu, sambil menyodorkan piring berisi pisang goreng yang masih hangat itu.
"Iya, Bu. Biar dingin dulu, baru Anna makan," jawabku.
Ibu kembali meneguk susu Kedelainya beberapa teguk. Lalu menaruh gelasnya kembali di atas meja.
"Sebenarnya memang ada yang akan Ibu bicarakan denganmu. Mudah-mudahan cukup waktu menjelang kamu berangkat kerja," aku ibu.
"Begini, An, Ibu dengar kamu mau beli rumah. Apa benar?" tanya ibu.
"rencananya memang, Bu, tapi Anna belum cukup uang. Jadi, ya, ditunda dulu. Anna mau beli rumah itu cas, Bu. Rugi kalau dicicil. Banyak ribanya lagi," jelasku.
"Oh, begitu," jawab ibu singkat.
"Kalau kamu mau, kan tanah pemberian kakek untuk ibu, ada tuh. Kalau kamu tidak keberatan, di sana saja bikin rumahnya, bagaimana? Kan kamu tidak perlu memikirkan tanah lagi" saran ibu.
"Boleh, Bu. Tapi Anna bicarakan dulu dengan Uda Halim, ya," pintaku.
"Alhamdulilah. Semoga suamimu tidak keberatan," ucap ibu.
"Ibu ingin, menjelang Ibu meninggal, kamu dan cucu-cucu ibu sudah punya rumah sendiri. Kan sayang uangmu tiap bulan dipotong bank, gara-gara berhutang," ucap ibu berharap.
Ibu diam sejenak, sambil menikmati sepotong pisang goreng yang sudah berangsur dingin.
" An, Ibu sudah semakin tua. Mungkin tidak berapa lama lagi Ibu akan dipanggil Yang Maha Kuasa. Ibu merasa perlu mengingatkanmu soal berhutang di bank. Mungkin kamu sudah merasakan betapa melaratnya hidupmu sejak berhutang di bank. Kamu gajian tiap bulan, tetapi kamu merasa miskin. Ini sebagai akibat dari praktik riba yang dibuat bank untukmu. Jadi, jauhilah bermain-main dengan riba, kalau kamu sayang pada diri, suami dan anak-anakmu. Percayalah, Nak, jika kamu tidak segera menjauhinya, maka hidupmu akan terus melarat. Camkan itu, Nak," ujar ibu panjang lebar. Air mata beliau kembali bercucuran.
Sisa hutangku di bank masih tinggal setahun lagi. Selama berhutang, memang hidupku sekeluarga tidak tenang. Banyak masalah yang menimpa kami. Untung saja aku tidak membeberkan kondisi keluargaku pada ibu. Namun ibu tetap saja paham keadaanku.
Tidak lama setelah ibu menasihatiku soal riba itu, kondisi kesehatan ibu perlahan menurun. Hampir setiap hari ibu mengeluh sesak bapas, hingga akhirnya beliau pergi untuk selamanya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi
Alhamdulillah. Terima kasih, Pak Dede.
Sangat setuju dengan pesan ibu. Alhamdulillah hidup tanpa riba itu indah. Afwan, bank syariah pun blm terlepas dari riba. Biasakan sajauntuk tidak membelanjakan uang yg belum menjadi milik kita.Bedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Prioritaskan kebutuhan daripada keinginan.Tulisan yang keren syarat hikmah Bun. Semoga sukses sesuai pesan ibu.
Alhamdulillah. Terima kasih komentarnya, Bu Suharti. Sangat mengutkan. Sukses juga, Bu.
jauhilah bermain-main dengan riba, kalau kamu sayang pada diri, suami dan anak-anakmu________ pesan untuk kita semua. Alfatiah untuk ibunda semoga ditempatkan di sorga. Aamiin.
Pesan ibu sudah disampaikan untuk pembaca, ya Pak Ir. Aamiin. Terima kasih.
Pesan ibu memang patut dipertbangkan, ayo ke bank syariah, akadnya bioin hidup jadi islami syar'i.Keren ceritanya.
Semoga demikian ya, Bu Sri. Terima kasih. Barakallahu fiik.
Keren ceritanya bunda....mari.kita jauhi yang namanya riba..jika ingin selamat pesan yg baik...sukses selalu hun
Alhamdulillah. Terima kasih, Pak Suhaimi. Sukses juga, Pak.
Cerita yang menyentuh hati. Salam literasi bun
Terima kasih, Bu. Salam literasi juga.