Mengenang Gempa Sumatera Barat, 30 September 2009
Hari menulis ke-274 (960)
#TantanganGurusiana
.
Mengenang Gempa Sumatera Barat, 30 September 2009 (2)
.
Oleh: Mursyidah
Mata yang tak kunjung terlelap membuat pikiranku melayang ke sana ke mari. Teringat sanak saudaraku yang berada di kota Padang, rekan-rekan di tempat tugas dan sebagainya. Yang terpikir olehku itu bukan tanpa alasan, peristiwa menakutkan sore yang tadi itu ada yang menginformasikan melalui HP, kalau kota Padang dan kota Pariaman sudah luluh lantak. Warga sudah mengungsi karena ada isyu tsunami. Sayangnya informasi lanjutannya tidak bisa kudapatkan karena HPku mati. Dengan apa mau dicas, sedangkan listrik padam.
Di luar rumah beberapa pemuda terlihat hilir mudik. Berkemungkinan mereka melakukan ronda malam, untuk menjaga keamanan warga yang umumnya belum berani tidur di dalam rumah. Mereka juga berjaga-jaga untuk mengantisipasi tangan-tangan jahil yang memanfaatkan situasi bencana ini untuk melakukan kejahatan pencurian atau penjarahan.
Karena ruang tamu yang kami gunakan untuk beristirahat sekaligus berjaga-jaga berada dekat dengan jalan, aku bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan peronda di luar. Dari merekalah informasi pertama kudapatkan bahwa pusat gempa berada di daratan Kabupaten Padang Pariaman. Daerah yang terdampak yang terparah selain kota Padang adalah Kecamatan Patamuan, tempat di mana aku bertugas.
Setelah mendengarkan informasi itu, ingin rasanya kupaksa malam agar segera berganti siang. Aku tidak sabar untuk melihat di bagian mananya Patamuan yang dikatakan kampungnya ditelan bumi itu. Apakah cerita peronda itu benar, atau cuma sekadar isyu? Semakin membuatku penasaran dan tidak bisa tidur sampai pagi tiba.
Usai menunaikan salat Subuh bersama suami dan anak-anak, aku menyiapkan sarapan seadanya. Kebetulan ada beberapa bungkus mie instan yang masih aman dalam dusnya, walaupun dus itu sebagian rusak tertimpa serpihan reruntuhan dinding dapur. Masih untung sebelum kejadian (sebagaimana kebiasaanku selesai memasak) aku sempat melepas selang kompor dari tabung gas dan menutup kompor dengan karton bekas, sehingga masih aman untuk digunakan memasak pagi itu.
Selesai sarapan, kutitipkan anak-anak kepada saudaraku yang tinggal bersama kedua orang tuaku. Sedangkan aku ditemani suami dan si bungsu berangkat ke Tandikat, tempat aku bertugas. Tujuanku kali ini bukan untuk berdinas, melainkan untuk melihat kondisi sekolah pasca gempa kemarin.
Sepanjang perjalanan dari rumahku sampai ke sekolahan, kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri dampak dahsyatnya gempa kali ini. Banyak rumah warga yang rata dengan tanah. Tidak sedikit pula yang kondisinya retak, namun ada juga yang tampak masih utuh.
Suasana terasa mencekam. Makin mencekam lagi ketika kami berada di tempat di mana satu kampung lenyap bak ditelan bumi (Ternyata cerita peronda tadi malam benar adanya). Dari masyarakat di sekitar lokasi kejadian, aku diberi tahu kalau ada beberapa siswaku yang berkemungkinan ikut tertimbun di sana, karena mereka tinggal di kampung yang tertimbun itu. Mendengar kabar itu aku jadi merinding. Air mataku kembali tumpah.
(Bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi