[email protected]

Saya seorang guru pembelajar. saat ini sedang menikmati masa-masa memperbaiki dan merubah kelas sehingga saya menjadi guru berdaya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Lelaki Bersepatu Lumpur

Lelaki Bersepatu Lumpur

Tantangan Menulis hari ke-14

#TantanganGurusiana

23 tahun berlalu, rumah di tengah sawah ini tak banyak berubah. Wangi anyelir bercampur gas amonia dari sapi-sapi kakek langsung merebak ketika pagar bambu ini ku buka. Dan perjalanan ini harus dimulai dengan perjuangan melewati berpetak-petak sawah hingga sampai ke halaman rumah. Kaki yang sesekali membenam ke lumpur ketika pijakan lunak pada pematangnya tak sengaja tersapa. Mendekati pematang terakhir kita akan selalu terkejut oleh gonggongan anjing penunggu ladang kakek. Dulu ketika kami bersaudara berlibur ke rumah nenek di pematang inilah kami berteriak kencang memanggil kakek.

Abaaaaaak, oooo Abaaaak. Cucu Abak datang.” begitu panggilan kami untuk kakek.

Sayup-sayup dari arah ladang kakek akan muncul. Menghalau anjing-anjing yang sedari tadi menyalak. Dan kami pun digandeng hingga sampai ke dalam rumah.

Kakek kami seorang petani. Berpetak-petak sawah itu mampu digarapnya seorang diri. Dibantu nenek ketika bertanam padi. Tanpa tambahan tenaga buruh upah. Diselingi kegiatan menyadap getah karet. Bila sedang lebat tibalah masa memanen buah pinang. Maka cucu-cucunya pun akan datang seminggu sekali untuk membantu mencongkel biji pinang yang sudah kering di jemur.

Kakek hanya punya skill bertani. Lebih dari separuh usianya habis di tengah sawah. Menafkahi istri dan 5 orang anak adalah tugas utama. Hingga suatu hari hama penyakit menyerang padi kakek yang baru sebulan di tanam. Menguning dan lemas habis tak bersisa. Sebenarnya hal itu bisa diantisipasi. Kakek sudah mengairi kembali. tapi perlu ditambah pupuk. Namun malang kakek tidak punya uang simpanan. Hingga di suatu penghujung senja. Kakek tersandar di balik pohon jengkol yang tumbuh tepat di samping rumah. Ada bening di sudut netra. Usaha meminjam uang kesana sini sejak kemarin tak berbuah hasil. Perekonomian yang sedang sulit jadi penyebab. Habis sudah segala usaha. Terbayang kakinya yang berlumpur dari pagi hingga petang. Semakin membuat air mata tercurah tanpa isak.

Ku ingat kala itu ibuku bercerita mereka anak beranak hanya makan dari hasil tanaman ladang. Rebusan ubi kayu, ubi jalar, sagu dan segala sumber daya yang ada diolah nenek jadi santapan sederhana. Yang penting perut tidak kosong. Jika ada kelebihan uang dari penjualan pinang maka di beli sedikit beras. Dimasak dengan tambahan jagung. Begitu terus hingga musim panen padi berikutnya tiba.

Sekarang kakek sudah renta. Punggungnya yang selalu memikul beban berat digerogoti kifosis. Hingga melengkung diangka 50 derajat. Sangat bungkuk. Kakek tidak lagi ke sawah. Beberapa petak sawah ada yang disewakan. Sistem bagi hasil. Sebagian diolah anaknya yang paling tua. Sesekali bila rindu kakek akan diantar atau dijemput cucunya. Menikmati masa tua dengan berkunjung ke rumah anak dan cucu yang ada diperantauan. Itulah kisah kakek ku. Lelaki bersepatu lumpur. Semoga kaki-kaki nya nanti menapak di Surganya Allah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post