MUKHLIS SABIR

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

ANAK SD YANG MANIS DAN IBU GURU YANG CANTIK ( TERPESONA AKU TERPESONA )

Saya masih ingat betul tahun 2006 silam saya mulai mengajar di salah satu SD di kampungku. Halaman sekolahnya luas dengan siswa yang ramai. Rata rata jumlah siswa setiap kelas 25 orang, bahkan ada yang lebih 30 orang. Aku mengajar Pendidikan Agama Islam mulai dari Kelas 1 sampai kelas 6. Satu hal yang tidak bisa saya lupa, ketika Kepala Sekolah saya waktu itu mengatakan seperti ini, “ Kalau guru ini tidak ada, masih bisa diakali, kasi’ saja b*** itu anak – anak, tapi kalau guru agama tidak ada, rempong urusannya.” Saya yakin beliau mengatakan itu bukan merendahkan tugas dan tanggung jawab guru yang lain, tapi memotivasi saya supaya rajin mengajar dan tidak terlalu banyak urusan di luar. Beliau memang sosok kepala sekolah yang saya teladani, selalu memberi motivasi sekaligus kritikan yang elegan. Saya tersipu malu – malu mendengarnya sambil merasakan tusukan pedangnya yang tajam.

Di kelas 1 sampai kelas 2, yang saya lakukan ketika mengajar adalah membantu guru kelas mengajar anak anak itu menulis huruf, menulis kata dan membaca. Terkadang saya tidak mengikuti kurikulum karena yang dasar saja anak anak itu masih kewalahan. Pembaca bisa bayangkan, jika salah satu dari mereka mau buang air kecil, maka separuh isi kelas akan ikut keluar. Belum lagi kalau mereka ingin minum, maka sayalah orang pertama yang mereka datangi untuk dimintai pertolongan membuka tutup botol minumnya.

Pernah suatu waktu, yang saya ajarkan adalah menulis huruf hijaiyyah. Dari 26 siswa di kelas itu, sisa 1siswa belum selesai. Anaknya perempuan, berambut panjang dan putih kulitnya. Manis dipandang mata. Saya mulai mendekatinya dan melihat tulisannya. Tiba tiba ia menutup bukunya dan matanya berkaca – kaca mau menangis. Saya lumayan kaget, lalu saya tanya, “ Kenapa Nak ?” Ia menggeleng. Matanya makin berkaca – kaca. Saya lalu mengambil kursi siswa dan duduk di depannya. “ Coba bukunya dibuka, Bapak mau lihat tulisanmu !” Ia menggeleng, kali ini anak perempuan yang manis itu menangis. Perlahan – lahan saya ambil bukunya dan membuka untuk melihat bagian catatannya. Ia memang menulis beberapa huruf hijaiyyah mulai alif, ba, ta, tsa, jim, ha, kha’ dal, sampai dzal. “ Belum selesai rupanya,” kataku dalam hati. Lalu anak yang manis itu saya tanya, “ mana huruf ra’ nya , Nak ?” Ia menggeleng dan berkata seakan tak terdengar karena mengatakannya sambil menangis “ Tidak bisa ka’ Pak buat itu, huruf ra’ “! Oh…. Itu ternyata masalahnya. “ Tidak apa – apa Nak, nanti di rumah diteruskan tulisannya, kan mamanya bisa ajari.” Anak manis itu makin menangis dan makin menggemeskan “ Lha, apa yang salah dari ucapanku” kataku dalam hati. Aku membujuknya sekali lagi. “ Kan mama bisa ajari di rumah” kataku. “ Tidak natahu juga mamaku bikin itu huruf ra” katanya sambil menangis. Duh…!!

Aku tersenyum lalu mengatakan kepadanya “ Ya, sudah, bukunya dirapikan, nanti minggu depan kita tulis itu huruf ra’.“ Segera ia merapikan bukunya, menyimpan di tas warna pink-nya dan berlari meninggalkan saya sendiri di kelas yang masih terbengong – bengong. Mungkin saat tulisan ini saya posting, anak itu sudah cantik sekali atau bahkan sudah menikah. Entahlah. Saya berharap semoga kelak ia bisa mengajarkan kepada anak anaknya menulis huruf ra’.

Di Kelas yang berbeda, kelas 4, saya lupa tahun berapa, biasanya di kelas itu saya mengajar sesudah jam istirahat kedua. Kelas sudah panas sekali dan anak anak juga sudah sangat lelah. Lelah belajar dan capek bermain. Gaya mereka sudah saya hafal mati, biasanya kalau ada tugas menghafal atau ulangan harian, sebelum saya masuk kelas, mereka akan bergantian atau ramai ramai membujuk saya untuk bercerita nanti kalau saya masuk kelas. Dan seperti biasa, saya juga akan berpura – pura lupa kalau hari itu ada tugas menghafal.

Ketika lonceng masuk sudah dibunyikan, nafas saya tarik panjang, minum air putih sebanyak banyaknya dan berjalan ke kelas sambil membawa buku paket dan beberapa perangkat mengajar lainnya. Saat kelas sudah disiapkan, mereka akan duduk manis, semanis manisnya. Beberapa dari mereka akan batuk batuk kecil atau ber-hemm – heem sambil memasang senyum tercantiknya. “ Pak bagaimana mi ceritae, jadi ji hari ini ?” kata ketua kelasnya. “ oh iya, saya akan menceritakan Kisah Nabi Yusuf “ Meskipun saya tahu bahwa kisah Nabi Yusuf itu tidak ada dikurikulum kelas itu, tapi tak apalah, toh akan banyak yang bisa diteladani. “ Bapak akan bercerita hari ini, tapi dengan satu syarat, …!” saya sengaja memotong kalimat itu dan melihat reaksinya. “ Apa Pak ?” Suara mereka serempak. “Kalau ada yang ribut atau mengganggu saya bercerita, cerita akan saya hentikan dan kita akan melanjutkan hafalan !” kataku tegas sambil menatap mereka satu persatu. Mereka biasanya akan saling berbisik, saling mengingatkan untuk tidak ribut dan semacamnya. Mungkin mereka kaget juga kenapa saya bisa mengingat tugas menghafal itu.

Ketika bercerita, saya biasanya berkeliling kelas, berjalan di antara kursi kursi mereka atau singgah berdiri di dekat salah satu siswa yang mulai memancing keributan. Cerita biasanya saya dramatisir, saya tambah tambahkan agar makin seru. Entah cerita saya terlalu asik atau bagaimana, tiba tiba salah seorang siswa membuat “ kode – kode khusus” ke saya sambil matanya digerak gerakkan ke samping kirinya. Ternyata salah seorang temannya tertidur pulas. Saya hentikan bercerita dan memasang jari di mulut tanda kelas harus diam. Aku berjalan diam – diam ke depan anak yang tertidur pulas itu sambil jari saya tetap di mulut agar kelas tetap diam. Sebagian anak laki – laki mulai tidak tahan untuk tertawa, saya cuma melihatnya dan melototkan mata tanda peringatan keras. Aku juga geli bercambur gemas melihat anak laki laki itu duduk bersandar di kursi sambil tertidur pulas. Setelah beberapa menit, ia terbangun dan kelas seperti bioskop yang menampilkan film komedi. “ Kenapa Nak tertidur ?” tanyaku. “Sakit perutku, Pak !” katanya sambil mengucek ucek matanya. “ Perut atau kepala ? “ tanyaku menggoda. “Pasti anak ini begadang.” batinku. “ Perut, Pak, dari pagi saya belum makan !” Aku tidak tidak melanjutkan lagi pertanyaan. Ada perasaan yang menyayat hati. Sebelum kelas bubar, aku memanggilnya dan memberikan beberapa lembar uang ribuan. Ia menatapku ragu. “Ambil !” kataku sambil memasukkan lembaran uang itu ke satu bajunya. “ Terima kasih Pak !” katanya. Aku mengangguk pelan. “Nanti kau singgah beli indomie atau wafer, agar perutmu tidak sakit lagi, !” Aku masih duduk di kursi guru di kelas. Ada butiran air mata yang mau tumpah, namun kucoba menahannya sekuat tenaga.

Besoknya aku menunggu anak itu di gerbang sekolah. Ketika sudah tiba di depanku, aku bertanya “ Kamu sudah makin pagi ?” Ia menggeleng. Kuambil uang 5 ribuan dan kusimpan di saku bajunya. “ Kau beli nasi kuning dulu, ya !” Ia tersenyum dan berlalu dari depanku. 10 menit kemudian, aku melihatnya sudah berlari bermain bola di halaman sekolah. Ada rasa bahagia di dada. Angin sejuk pagi itu bertiup manja membelai wajah. Aku berdoa dalam hati, tidak muluk muluk dan tidak setinggi langit, sederhana saja, semoga kelak ia menjadi seseorang yang berguna untuk keluarganya. Semangatnya untuk bersekolah kuat sekali walau di kelas dia selalu berada di peringkat akhir. Anakku, ujian sesungguhnya adalah ketika engkau sudah tidak bersekolah lagi, dan yakinlah angka angka di raport itu tidak bisa diuangkan.

Pagi semakin cerah, siswa dan guru makin ramai. Beberapa tenaga sukarela kami yang jauh rumahnya sudah tiba. Ada beberapa orang dan mereka cantik cantik, tidak kalah dari artis sinetron RCTV. Mereka ibarat bunga yang sedang bermekaran. Pagi pagi begini dan disapa ibu guru cantik membuat semangat mengajar berlipat ganda. Sebelum masuk kelas, kami biasanya senam, senam Maumere. Dan kalian bisa tebak, posisi saya di mana, pasti di dekat ibu guru yang cantik itu. Sering saya sengaja berpura pura salah gerakan pas dibagian lagu “ putar ke kiri ye.. nona manis putarlah ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri dan ke kiri…!” Nona manisnya akan perputar ke kiri dan saya…. akan berputar ke kanan, karena kalau saya salah gerakan, pasti kami akan bertemu pandang. Ah, sudahlah, cerita ini akan saya akhiri dan berharap istri saya tidak membacanya. Salam rindu untuk sekolahku dulu. Oh iya, jika salah satu dari pembaca ini cowok dan masih lajang, nomor WA ibu guru yang cantik itu masih ada saya simpan.

Ditulis di batu – Batu, 12 Februari 2021, saat rindu & air mata akan meledak.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah .. yang pertama selalu mudah dikenang. Bagus tulisannya pak.

16 Feb
Balas

terima kasih Pak atas apresiasinya..

16 Feb

Moga-moga dibaca istri

16 Feb
Balas

waah cerita yang keren, ada rasa haru ingin nangis, ada yg lucu, bapak modus dech saat senam.. ha..ha.. maumere ..maumere... Sukses selalu dan salam literasi

16 Feb
Balas

hust....!! jangan ribut !

16 Feb



search

New Post