PUTRI KODOK ( dongeng anak)
Puncak Mahameru, demikianlah nama puncak gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Gunung yang tampak gagah ini, menjulang tinggi, kekar dan kuat. Dari jauh sepanjang permukaannya terlihat hijau keabuan karena tertutup oleh hutan yang dipenuhi oleh perdu, alang- alang, pohon- pohon lebat, jurang dan bebatuan alam. Puncak gunung juga sering tertutup kabut tebal. Sesekali tersibak oleh pancaran sinar matahari yang mengusir ketebalan kabut. Perlahan menipis dan berangsur pergi. Tapi saat matahari mulai tenggelam, kabut pun datang lagi menyelimuti. Demikian silih berganti. Sungguh panorama alam yang indahnya menakjubkan, mengundang kekaguman akan kuasa Sang Maha Pencipta.
Begitulah tentang Gunung Semeru yang juga terkenal sebagai tempat kediaman abadi para dewa.
Konon di lereng gunung itu, terdapat sebuah kerajaan,Tanggul Angin namanya. Kerajaan diperintah oleh seorang raja yang terkenal arif dan bijaksana, bernama Raja Dwipayana. Sang raja mempunyai tiga orang putra, yaitu Pangeran Giriwara, Pangeran Suyudana dan Pangeran Swandara. Ibunda mereka sudah meninggal dunia, saat mereka masih kecil. Ketiga pangeran diasuh oleh para dayang istana. Sedangkan sang raja selalu sibuk dengan urusan istana. Mungkin hal itulah yang menyebabkan watak ketiga pangeran berbeda. Pangeran Giriwara dan Pangeran Suyudana senang berfoya-foya. Sepanjang hari waktunya dihabiskan untuk bermain dan mengadu ayam. Tak seorang pun yang berani melarang atau mengadukannya kepada raja. Sangat berbeda dengan Pangeran Swandara, meskipun paling muda, Pangeran Swandara mempunyai sifat yang jauh lebih baik. Ia sopan dan hormat kepada yang lebih tua serta menyanyangi yang lebih muda.Kata- katanya selalu lembut dan penuh kasih. Saat kedua kakaknya mengadu ayam, Pangeran Swandara sangat sedih dan kasihan pada ayam-ayam aduan itu.
“Kangmas Pangeran, mengapa Kangmas senang sekali mengadu ayam. Lihatlah Kangmas! Ayam-ayam itu berdarah. Apakah Kangmas tidak merasa kasihan ? Ayam-ayam itu pasti kesakitan,” kata Pangeran Swandara seolah memohon kepada kedua kakaknya agar tidak lagi mengadu ayam. Tetapi justru sebaliknya, Pangeran Giriwara dan Suyudana malah menertawakannya. “Sudahlah Dimas, kalau Kau tak suka … pergilah !” jawab mereka. Pangeran Swandara diam menunduk. Hatinya menangis sedih, tidak tega melihat ayam-ayam itu berlumuran darah.
( bersambung)

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren nian sajian dongengnya.Ditunggu lanjutannya Bund
Terimakasih Bun..
Keren....lanjutannya ditunggu...salam kenal..sdh saya follow
Terimakasih pak Pujarsono. Apa benar ya..Bapak juga sering menulis puisi di komunitas guru menulis? Seingat saya, ada yang namanya Pak Pujarsono...
Setia menunggu sambungan ceritanya
Siap Bun...
Ditunggu lanjutannya... sukses selalu bun
Masih belajar ndongeng Mb.Arik.Terimakasih diampiri. Semangat!
Saya follow
Terimakasih