Pola Asuh dan Pendidikan, Kepanjangan Tangan Pembentukan Karakter Anak.
Setiap kali kita berbicara tentang anak, pasti kita akan mengatakan bahwa setiap anak itu terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Hal ini karena masing-masing kita sudah mengetahui bahkan menghafal sebuah Hadits dari Rasulullah Muhammad SAW yang artinya “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?” (HR. Muslim).
Anak adalah amanah yang diberikan oleh Allah SWT kepada suami istri. Karena anak itu amanah, maka sudah menjadi kewajiban suami-istri atau orang tua untuk menjaga amanah tersebut. Dan nantinya di yaumul akhir akan dimintai pertanggungjawaban dari amanah yang diterimanya.
Masa kanak-kanak adalah masa yang rentan dalam pembentukan karakter. Pada masa itu seorang anak akan sangat mudah merekam apapun yang diterima lewat panca inderanya. Hal ini dapat diibaratkan bagai mengukir di atas batu. Oleh karena itu, orang tua harusnya selalu memperhatikan perkembangan putra-putrinya. Sewaktu anak masih kecil kadang membuat orang tua gemes dan merasa sangat terhibur dengan tingkah si anak. Namun kadang juga ada sikap rewel dan bandel yang membuat orang tua marah. Bagaimana pun keadaan anak, orang tua harus selalu mendidiknya agar menjadi pribadi yang baik.
Orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya memiliki karakter hidup yang baik, terpuji, sholih-sholihah, taat kepada orang tua dan agama. Bahkan, maaf, seorang pencuri pun tak ingin jika anaknya meneruskan pekerjaannya sebagai pencuri. Mereka tetap menginginkan anaknya lebih baik dari dirinya.
Dalam hal pembentukan karakter anak, menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan, ada banyak hal yang mempengaruhinya. Antara lain pola asuh, lingkungan, teman, dan kebiasaan orang tua sendiri. Namun, perang orang tua menjadi unsur yang dominan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW di atas dan sebuah Firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (RS. At-Tahrim (66): 6).
Dari ayat di atas jelas bahwa salah satu kewajigan orang tua adalah menjaga keluarganya dari siksa api neraka. Keluarga di sini tentunya istri dan nak-anaknya. Kemudian bagaimana cara orang tua menjaga agar anaknya terbebas dari api neraka? Tentunya dengan ditanamkan pendidikan agama sejak dini. Dengan pendidikan agama sejak dini anak akan terbiasa melakukan segala hal dengan nilai-nilai agama islam. Contoh kecil misalnya dengan membaca basmalah ketika akan melakukan kegiatan, doa mau makan, doa setelah makan, dan lain sebagainya.
Jika anak sudah terbiasa melakukan segala sesuatu berdasarkan ajaran agama, tentunya hal tersebut akan dibawa hingga anak tersebut dewasa. Sehingga ketika dia beranjak dewasa, dia juga akan menggunakan nilai-nilai agama dalam memilih dan memutuskan suatu hal. Misalnya ketika akan melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, jika dia sudah terbiasa dengan ajaran agama, maka ia pastinya akan melakukan sholat istikhoroh untuk menentukan pendidikan yang baik untuknya.
Pendidikan tak terbatas ruang dan waktu. Bagaimanapun juga keadaan seseorang, jika ia mau belajar pastinya akan mendapatkan sebuah ilmu dari apa yang ia pelajari. Begitu juga tentang pengetahuan tentang pembentukan karakter pada anak. Orang tua harus belajar ekstra dalam hal pembentukan karakter anak.
Pertama, tentang pola asuh atau taraf perhatian orang tua terhadap sesuatu yang diterima anak. Hal ini mencakup makanan, minuman, ucapan, pendengaran, perasaan, ataupun penglihatan.
Hal ini dapat kita lihat di lingkungan sekitar kita.
Masa kecil anak kisaran umur dua sampai tiga tahun adalah masa pengenalan pertama terhadap sebuah kepemilikan. Pada masa itu seorang anak hanya tahu, benda ini adalah milikku dan benda itu adalah milikmu. Apabila dalam masa ini seorang anak sering digoda barang yang ia miliki, maka akan menghasilkan sebuak karakter yang tidak baik. Contoh nyatanya begini:
Ketika seorang anak kecil sedang memegang permen 2 buah. Kemudian orang-orang disekelilingnya atau pengasuhnya berkata:
“Sini tak ambilnya permennnya satu.” Sang pengasuh menggoda.
“Nggak, nggak, nggak” rengek si anak.
“Hi.. kemu pelit, kamu pelit.” Ucap sang pengasuh.
Pasti si anak akan meringik tidak mau, karena mereka belum kenal dengan yang namanya memberi dan meminjamkan sebuah hal. Apabila pola seperti ini diteruskan, maka anak tersebut akan terbiasa dengan sikap “nggak mau” untuk memberikan sesuatu kepada orang lain, atau sifat pelit.
Agar anak dapat melewati masa tersebut dengan hasil yang baik maka orang tua harus juweh untuk meniadakan hal-hal seperti di atas. Akan lebih baik jika dikatakan kepada sang anak demikian:
“Nak, pean harus ngucapkan Alhamdulillah kepada Allah, karena pean sudah memiliki permen dua buah. Allah itu akan sayang kepada makhluk-Nya yang pandai bersyukur. Apalagi dengan orang yang suka memberi. Jika permen ini diberikan satu kepada temanmu si-A, pean masih punya satu. Kasihan si-A tidak memiliki permen yang enak seperti punyamu.”
Dengan ucapan yang halus dan bersahabat dengan anak seperti di atas, mungkin si anak akan lebih merespon untuk membagikan permenyang dia miliki. Sehingga kita akan bisa memunculkan karakter yang baik dalam diri anak.
Beginilah perlunya kehati-hatian orang tua dalam pembelajaran pertama kepada si anak. Sampai ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa, senakal dan sebandel apapun seorang anak, orang tua tidak boleh berkata kepada anak “anak nakal”, “anak bandel”, “anak bahil”, dan ucapan-ucapan negatif lainnya. Disamping ucapan orang tua kepada anak itu bisa berarti doa, ucapan-ucapan tersebut akan langsung terekam jelas oleh si anak dan dikemudian hari pastilah ucapan-ucapan tersebut akan keluar dari mulut si anak.
Kedua, masa pembelajaran anak. Pada masa pembelajaran ini kita akan membahas tentang sistem pendidikan yang tidak menghukum. Baik itu pendidikan di lingkungan keluarga maupun pendidikan formal di sekolah. Mengapa demikian, karena kebiasaan memfonis dan men-stempel suatu hal yang sering kita lihat dilakukan oleh anak-anak kita atau teman-teman kita merupakan sebuah karakter sebagai hasil dari pembelajaran.
Banyak di lingkungan sekeliling kita melihat orang tua yang membodoh-bodohkan anaknya ketika sang anak tidak bisa melakukan suatu hal yang diperintahkan. Jika kita telisik lebih lanjut, kita akan menemukan bahwa orang tua tua tersebut dulunya juga sering dibodoh-bodohkan oleh bapak atau ibunya. Karena kebiasaan orang tua yang dahulu dimarahi orang tuanya, pada masa kecil, hal itu akan menular atau terbiasa dilakukan kepada anaknya pada saat ini.
Seorang anak yang diperintah untuk melakukan suatu hal dengan kasar dan dengan ancaman. Awas .....; Kalau ......; Nanti ............, dan kata-kata sejenisnya, anak tersebut semangatnya akan menurun meskipun hal tersebut dilakukan. Akan berbeda sekali jika anak tersebut dipuji dan disenangkan hatinya dalam melakukan segala ahal.
Guru adalah orang tua kedua setelah bapak dan ibu si anak. Dalam peranannya, seorang guru adalah pengasuh dan pembentuk karakter yang pengaruhnya sangat besar. Ada sebuah nadzom berbahasa jawa yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bunyinya begini, “Orang tua itu memberikan makanan jasmani (untuk pertumbuhan fisik), sedangkan guru memberikan makanan rohani (untuk pertumbuhan jiwa).
Ada sebuah artikel yang saya baca dalam salah satu group watsApp. Artikel tersebut menjelaskan tentang bagaimana karakter seorang anak itu ketika dewasa nanti dipengaruhi oleh sistem pembelajaran yang dialami oleh anak.
Dalam artikel tersebut diceritakan ada seorang ayah yang memprotes kepada guru pada salah satu sekolah di Amerika Serikat. Permasalahannya adalah tentang nilai yang diterima oleh anaknya. Menurut sang ayah, karangan hasil pekerjaan anaknya itu biasa-biasa saja bahkan mungkin mendapatkan nilai buruk, namun setelah karangan itu dikumpulkan di sekolah oleh sang guru diberi nilai E yang artinya Excellence/sempurna, hebat, bagus sekali.
Setelah sang ayah bertemu dengan guru tersebut, saat protes, sang guru menjelaskan bahwa sistem pembelajaran di Indonesia dengan di Amerika sangat berbeda. Di negera Indonesia seorang guru itu sangat sulit memberi nilai. Filosofi penilaian di Amerika bukan untuk menghukum (seperti di Indonesia? Melainkan untuk merangsang orang agar maju, Encourangement. Dia juga menceritakan bagaimana dengan mudahnya dia menyelesaikan pendidikan di Amerika dengan nilai “A”, sedangkan ketika dia di Indonesia dia harus jungkir balik untuk menyelesaikan studi, bahkan sampai mendapat ancaman drop out dari dosen-dosen penguji yang siap menerkam.
Dengan sistem pendidikan yang mendorong peserta didik untuk maju akan sangat mempengaruhi perkembangan pola pikir peserta didik. Semangat belajar dan daya inisiatif siswa akan meningkat. Meskipun peserta didik tersebut belum mencapai kriteria minimal ketuntasan, namun seorang pendidik tidak boleh merendahkan dan bahkan memvonisnya bahwa dia bodoh atau perkataan yang lainnya yang merendahkan dia.
Seorang pendidik bukanlah penyalur sebuah ilmu pengetahuan, namun ia adalah pembimbing agar peserta didik mampu memperoleh sebuah pengetahuan. Untuk itu, seorang guru harus mampu mendampingi kegiatan belajar peserta didik dengan baik. Meningkatkan minat dan semangat siswa, menampung aspirasi dan inovatif dari siswa yang beraneka ragam bentuknya.
Rentannya pengaruh dari luar terhadap pembentukan karakter anak juga menjadi hal yang sangat penting yang harus selalu diperhatikan oleh orang tua, apalagi pada zaman teknologi yang super canggih seperti sekarang ini. Pada saat ini banyak orang tua yang disibukkan dengan mencari kebutuhan hidup dan melalaikan perkembangan naknya. Sehingga banyak dari orang tua yang menyesal ketika sudah berusia lanjut, mereka baru sadar ketika anaknya tidak seperti apa yang mereka harapkan. Anak-anak mereka selalu membantah mereka dan tidak memperdulikan mereka. Naudzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik.
***
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar