Much. Khoiri

MUCH. KHOIRI (nama pena dari Much. Koiri). Lahir di Madiun tahun 1965, kini dosen dan penulis buku dari FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa), trainer, ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bangunan Liar yang Dilematis
Sumber gambar: video.antaranews.com

Bangunan Liar yang Dilematis

Oleh MUCH. KHOIRI

TATKALA satpol PP menertibkan bangunan liar—baik gubuk maupun kios liar—hati saya selalu tersayat-sayat. Kasihan sekali nasib saudara kita yang “tempat hunian” mereka dirobohkan serata tanah. Ke mana lagi mereka akan bertempat tinggal dan mengadu nasib?

Itu sisi kata kemanusiaan saya. Rasa kemanusiaan saya selalu meleleh menyaksikan orang-orang pinggiran yang tak jelas hidupnya itu tersiakan. Setelah bertahun-tahun menghuni “istana liar”-nya, mereka dipaksa untuk angkat kaki dan hengkang entah ke mana. Karena itu, hati ini kadang mendukung aksi perlawanan mereka—yang heroik itu.

Namun, lama saya merenung. Mengapa hunian mereka disebut bangunan liar? Apakah ia tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) tapi status tanahnya milik sendiri? Ataukah hunian itu dibangun di atas tanah milik negara dan berarti pula tanpa IMB?

Dari banyak kasus yang saya amati, bangunan liar itu jatuh pada ‘definisi’ kedua. Banyak bangunan yang dibangun di atas tanah bukan milik si pendiri bangunan itu. Kebanyakan mereka mendirikan bangunan di atas tanah milik negara. Menurut hukum, status hunian mereka liar.

Cobalah telusuri bantaran-bantaran sungai di berbagai pelosok negeri. Di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung saja, ada ratusan atau ribuan gubuk liar. Demikian pun di anak Sungai Mas di Surabaya. Juga bantaran sungai-sungai besar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, dan lain-lain. Terlebih, sungai yang melintasi kota-kota besar. Kondisinya pun kerap kumuh dan kotor.

Belum lagi di taman-taman, atau di pinggir jalan, tak jarang orang kemudian membangun rumah gubuk atau warung. Dari amatan dan wawancara dengan mereka, semua itu dilakukan secara bertahap. Sama dengan yang dilakukan di bantaran sungai, para pembuat warung atau kios ini semula juga membuat bangunan ala kadarnya.

Setelah itu, ketika tidak ada yang mengingatkan, mereka membangun bangunan semi-permanen. Mereka membuat pondasi bangunan dengan batu atau cor; namun temboknya masih gedhek atau kayu. Nah, agar tidak dinilai liar seliar-liarnya, mereka membaur dengan masyarakat setempat—termasuk membayar iuran kampung. Jika perlu, mereka mengurus KTP sementara.

Petugas yang mendata mereka lumer dan halus rasa kemanusiaan mereka. Maka, diizinkanlah mereka tetap menghuni bangunan semi permanen itu. Mereka tidak diusir tanpa kehormatan. Sementara itu, mereka semakin akrab dengan petugas kampung; dan jadilah kedekatan emosional.

Kemudian, meningkatlah strategi mereka. Dimulailah membangun rumah atau bangunan permanen—dengan pondasi kuat dan tembok yang mapan pula. Hal ini sama kuatnya dengan konstruksi sosial-budaya yang mereka bangun di dalam lingkungan mereka. Tak jarang mereka telah memiliki anggota komunitas berjumlah ratusan.

Nah, ketika 30 tahun telah berjalan, ketika mereka keenakan menempati rumah mereka itu, ada program penggusuran. Ditengarai bahwa bangunan-bangunan liar itu menyebabkan kumuhnya lingkungan kota, dan sekaligus mendorong timbulnya banjir. Maka, mereka pun melawan!

Saya telah beberapa kali menyaksikan proses penggusuran bangunan liar, yang latar belakangnya persis dengan ilustrasi di atas. Yakni, pemerintah (kota) menggusur bangunan liar yang telah berdiri puluhan tahun di atas tanah negara. Lalu, para penghuni itu melawan, dan minta ganti rugi! Mereka berhadapan (bahkan, sampai meneteskan darah) dengan petugas satpol PP.

Dalam kasus ini, saya sepakat bahwa aturan tetap harus ditegakkan, baru kemudian rasa kemanusiaan. Bukannya saya tidak terenyuh dengan terusirnya mereka dari tempat hunian mereka selama ini, bukan. Tetapi, satu hal sudah jelas bahwa mereka seharusnya tidak berhak mendirikan bangunan di bantaran sungai, taman, atau tepi jalan yang bukan miliknya.

Loh rumangsamu iku duweke sapa?” (Loh, menurut kalian tanah itu milik siapa?). Itu yang sering disampaikan petugas. Dan itu benar di banyak kasus, bahwa mereka telah menempati hunian di atas tanah tak jelas itu selama belasan atau puluhan tahun secara gratis! Coba hitunglah, seandainya mereka kontrak rumah atau indekos, berapa biaya yang harus dikeluarkan selama ini?

Di samping itu, tak dimungkiri, para penghuni bangunan liar telah dituding sebagai berperikehidupan yang kumuh. Bagi yang menghuni bantaran sungai, misalnya, kesadaran hidup sehat masih amat rendah. Mereka tak segan mencuci, mandi, membuang sampah di sungai. Secara simultan, ulah mereka tak jarang menyebabkan banjir besar.

Maka, melihat ekses bangunan liar yang lebih besar mudharat-nya (akibat buruknya) dibandingkan kebaikannya (meski dilihat dari rasa kemanusiaan bagi penghuninya), saya tak hendak menolak jika diadakan penertiban. Apa yang ditempuh pemerintah akhir-akhir ini terhadap seluruh bangunan liar di berbagai daerah patut didukung.

Sekali tempo aturan perlu ditegakkan dengan baik dan benar serta tegas. Pemilik bangunan liar yang benar-benar terbukti liar secara hukum, seharusnya legawa alias menerima apa adanya. Seharusnya mereka berkaca ulang, mengapa mereka dulu telah menempuh sesuatu yang keliru. Bukankah seharusnya mereka telah mengantisipasinya?

Tentu saja, ada-ada saja jawaban yang terlontar—katanya, mulai pembiaran hingga permainan gelap di baliknya, bisa terjadi sehingga mereka tak rela diusir dari tempat tinggal mereka. Bahkan, ada yang menjawab, bahwa mereka “tinggal di bumi Allah. Semua ini hanya milik Allah.” Nah, kalau ini respons mereka, siapa pun akan berhadapan dengan kata “pokok’e”.

Namun, perlu diingat bahwa, untuk membangun sebuah masyarakat yang tertata baik, para pejabat memang perlu lebih mementingkan (mendahulukan) hukum, norma, dan aturan main daripada rasa kasihan, rasa kemanusian. Selain membuat berwibawanya hukum, norma, dan aturan main; hal itu juga memberikan pembelajaran bagi kita semua, bahwa di atas hak seseorang ada hak orang lain yang harus dihormati.***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Dilema Pak Ketika akan ditertibkan pasti ada perlawanan dan meraung raung sangat memprihatinkan..

20 Feb
Balas

Bu Sri, itu yang sebenarnya mengherankan.

20 Feb

Setuju ....

19 Feb
Balas

Pak Slamet, begitulah, membela yang benar

20 Feb



search

New Post