Mohamad Imron

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
TIKUNGAN ANGKER (Bagian 3)
CERITA HOROR

TIKUNGAN ANGKER (Bagian 3)

Kukayuh sepedaku menyusuri jalanan yang kondisinya cukup gelap. Kali ini aku bisa mengayuhnya dengan cukup kencang karena tidak ada Jamila dan Satria yang harus kujaga keselamatannya ketika mereka berdua membonceng di belakang. Kendala laju sepedaku palingan hanya batu-batu besar yang lepas dari tempatnya akibat dilewati truk yang biasa lewat di jalan ini. Dulu, waktu aku masih tunangan dengan Jamila, kami pernah jatuh berdua dari atas sepeda akibat roda depan terbentur bongkahan batu seukuran kepala anak kecil. Kami berdua dimarahi habis-habisan oleh orang tua kami, terutama aku diomeli oleh ibuku karena dianggap tidak bisa melindungi calon istriku waktu itu. Kami berdua berjalan pincang lebih dari seminggu. Untunglah, menjelang pernikahan kaki kami pulih seperti sedia kala. Sejak saat itulah, aku selalu berhati-hati jika bersepeda dengan membonceng perempuan yang paling aku sayangi itu. Apalagi sekarang sudah ada Satria yang harus kami jaga dengan ekstra hati-hati.

Nyes ...

Semilir angin dingin tiba-tiba menyeruak ke tengkuk belakangku saat aku melintas di atas jembatan yang menghubungkan antara dusunku dengan dusun sebelah. Hawa panas tiba-tiba saja menyergap sehingga membuat tenggorokanku kering seketika. Kalau sudah seperti itu bagian perutku menjadi tidak enak dan serasa mau muntah saja. Aku pun meludahkan cairan yang ada di dalam mulutku ke arah kiri sebanyak tiga kali sembari mengucap taawwudz.

"Audzubillahi minas saytonirrojiiiim ...."

Hawa panas itu tiba-tiba lenyap berganti dengan hawa dingin khas angin malam di area persawahan yang cukup membuat tubuhku menggigil kendinginan. Aku pun kembali mengayuh sepedaku untuk melanjutkan perjalanan. Rasa dingin ini tiada artinya dibandingkan harus melihat Satria menangis meraung-raung karena sandal kesukaannya hilang.

"Yah, aku suka banget loh dengan sandal yang dikasih bude Kiki. Gambarnya bagus," itulah kata-kata yang sering diucapkan Satria setiap akan memakai sandal itu.

Ingatan terhadap ucapan anakku itu yang membulatkan tekadku untuk mencari sandal milik anakku itu. Tak sejengkal tanah pun lepas dari pantauan kedua mataku yang sedang mencari benda itu. Meskipun hanya diterangi cahaya bulan, mata sehatku mampu melihat benda-benda yang ada di sepanjang jalan yang aku lalui.

Tak terasa, aku sudah cukup jauh meninggalkan rumah mencari sandal itu. Namun, mataku tak jua menemukan benda yang aku cari. Peluhku pun sudah membasahi baju yang sedang kupakai. Dinginnya angin malam masih kalah dengan panas yang dihasilkan oleh metabolisme tubuhku.

"Duh, di mana jatuhnya sandal anakku itu? Semoga saja aku sudah menemukannya sebelum sampai di tikungan itu," pikirku di dalam hati.

Mataku terus saja memeriksa seluruh bagian jalan yang berbatu-batu, tapi sandal itu tak jua kutemukan. Hingga akhirnya, dengan ekor mataku aku melihat sesosok bayangan hitam sedang duduk di atas pinggiran jembatan yang terbuat dari adonan semen.

"Permisi ...," ucapku sedikit lebih cepat daripada gerakan menoleh kepalaku karena kalau aku menyapa orang tersebut setelah aku menoleh sempurna, tentunya sudah terlambat. Aku yang sedang berada di atas sepeda tentunya sudah melampaui orang tersebut beberapa meter.

"Ya Allah!!!" pekikku terkejut setelah menyadari bahwa tidak ada siapa-siapa di atas pembatas jembatan itu. Padahal aku sangat yakin kalau tadi ada seseorang yang sedang duduk di sana. Aku menduga ia adalah salah satu tetanggaku yang sedang beristirahat setelah mengairi sawahnya. Tapi, dugaanku ternyata salah. Nyatanya, tidak ada siapa-siapa di tempat itu.

"Ah ... Barangkali aku hanya salah lihat saja," ucapku pada diri sendiri untuk menghilangkan kecemasanku.

Aku kembali berkonsentrasi mencari sandal Satria. Hingga akhirnya, aku pun sampai di tikungan yang terkenal angker bagi warga di sekitar daerah ini. Saat itu suasana di sana begitu hening. Hanya terdengar suara binatang sawah yang saling bersahutan. Entah kenapa, suhu udara yang semula terasa dingin, kembali menjadi hangat bahkan tenggorokanku menjafi kering kembali. Rasa mual kembali aku rasakan. Aku berusaha menghilangkan perasaan aneh itu. Aku berkonsentrasi memeriksa sekeliling untuk mencari sandal Satria. Benar kata istriku, akhirnya aku melihat sandal Satria tergeletak di tengah jalan tepat di tikungan. Hatinya bersorak.

"Alhamdulillah ... Akhirnya aku menemukan sandal anakku," pekikku di dalam hati.

Dengan penuh semangat aku pun mengayuh sepedaku menuju sandal itu berada. Begitu sampai, aku langsung merengkuh sandal itu dari atas tanah tanpa turun dari sepeda. Setelah berhasil merengkuhnya aku pun segera memutar setir dan segera memasang ancang-ancang untuk kembali ke rumah. Namun, sesuatu terjadi di luar dugaanku. Sepeda yang sedang kunaiki tidak bisa digerakkan ke depan seolah-olah ada yang sedang memegangi di belakang. Keringat dingin pun mengucur deras membasahi pakaian yang aku kenakan.

Bersambung

(Kelanjutan cerita ini akan dipost di aplikasi Noveltoon dengan Judul yang sama dengan nama penulis JUNAN) Terimakasih

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ngerii..tapi tetap ingin menunggu lanjutannya

16 Feb
Balas

Terima kasih.....

17 Feb



search

New Post