Mismawati Marolan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

LAYANGLAYANG TAK TERBANG

#tantangan gurusiana menulis 5

Suara bel tanda istirahat menerobos liang telinga. Sejak beberapa menit yang lalu kami merindukan bel yang mirip sirine itu. Menggema-gema, mengabarkan belenggu telah usai. Selanjutnya bebas merdeka berlari, tertawa, teriak kegirangan, atau barangkali hanya sekadar memejamkan mata sembari menelungkupkan wajah di atas meja. Sejak tadi kelas ini gerah. Ruang tanpa kipas angin ini pengap. Sepertinya tarikan nafas menanggung beban berat bertemu oksigen. Kelasku riuh. Suara sepatu yang bergegas menjauh dari kelas, candaan, suara mengejek, dan suara benda-benda yang dibanting di lantai. Buku tulis beberapa masih tergeletak di atas meja. Pemiliknya telah berlarian menuju halaman sekolah.

Teman-teman perempuan nampak berkumpul di teras kelas. Mereka tertawa-tawa dan asyik bercerita. Anak laki-laki ada yang bergabung pada kelompok perempuan dan ada yang langsung menyerbu kantin. Berebut jajanan gorengan, nasi uduk, es rasa buah dari bubuk instan yang harganya hanya seribu rupiah. Udara gerah begini es yang sebenarnya memicu penyakit ini cepat tandas.

“Kau tak istirahat, Mad?” Si Hitam Manis menegurku dengan senyum riang. Dia mendekat, tak sungkan duduk di sisi kanan lenganku. Tangan sebelah kirinya disangga oleh kain putih yang dililitkan ke lehernya. Gadis ini terjatuh dari sepeda jengki dua hari lalu. Itu sebabnya dia tetap berada di kelas.

“Mad, kau melamun?” Dia meneliti wajahku macam profesor yang melakukan riset.

Aku menggeleng. Tersenyum padanya agar dia percaya.

“Nggak ke kantin?”

“Malas!”

“Haa...malas? Mengherankan, biasanya sudah kabur duluan. Tu Mamang bakso bakar udah mangkal.” Tangannya menunjuk ke arah luar sekolah. Dari dalam kelas, dari tempat duduk, kami melihat jelas sepeda motor butut bagian jok belakangnya bertengger gerobok terbuat dari papan triplek bertulis “Bakso Bakar Rasa Ikan Tuna”.

Aku mencibir. Tidak percaya sejak lama. Meyakinkan diri bahwa itu bukan terbuat dari ikan tuna sungguhan. Manalah mungkin bakso ikan tuna seharga lima ratus perak, Walaupun demikian lidahku tak mudah kubujuk dengan nasihat-nasihat yang baik. Tetap saja bulatan tepung yang menempel di lidi tusuk sate itu, jika kutaruh di atas lidahku, terasa kenyal dan gurih. Saos sambalnya bagai semut menggigit dan berlarian mengikuti air liur yang terburu-buru menuju kerongkongan. Sungguh makanan paling lezat di SMP ini.

Sejak seminggu yang lalu aku tak pernah menukar uang jajan senilai tiga ribu dengan bakso tusuk bakar. Aku memilih tidak makan apa-apa dari pada harus menemui Mamang itu. Oh tidak, sesungguhnya bukan Mamang itu penyebabnya. Aku tidak ingin melihat ke bagian depan sekolahku yang dibatasi pagar pendek. Aku juga tidak ingin melihat para penjaja makanan yang mengiba di sana. Bukan karena jengah sekolahku berubah jadi pasar kaget. Pokoknya aku tak mau melihat, apa lagi membeli, titik.

Kakek bongkok yang menggelar lapaknya di sebelah Mamang bakso tusuk senantiasa membuatku ingin menangis. Wajah yang selalu tersenyum itu sesungguhnya menyimpan kegetiran. Badannya kurus melengkung. Pundaknya membukit dan kepalanya hampir sejajar dengan gundukan punggung. Kulit mukanya macam baju tak disetrika. Jika tertawa gigi setianya tinggal satu setengah. Itu pun sudah goyang dan berkarat. Entah kapan gigi- gigi yang lain memilih bercerai berai dengan anggota kelompoknya.

Aku menghela nafas. Melegakan dadaku yang terasa masuk angin ketika ingat dia adalah kakekku. Mengesalkan mengapa ia berjualan layang-layang di situ. Aku sudah bicara berkali-kali, sekolahku ini siswanya sudah bujang semua, tak ada yang mau beli layang-layang. Mending kakek cari SD-SD terdekat. Tapi kakek tak main pertimbangan, rezeki sudah ada yang mengatur. Hanya berusaha dan tawakal, begitu katanya. Sesungguhnya mata batinku yang terdalam merembes. Hadir rasa kasihan teramat sangat. Setua itu masih harus mencari peruntungan. Harusnya istirahat saja menunggu bedug tiba.

Belum lari dari pelupuk mata, Emak menagis. Sambil meniup api tungku dengan semprong, Emak sesenggukan. Aku paham air mata itu bukan lantaran asap api yang memerihkan mata Emak. Isakan dan sesenggukan itu tandanya, Emak sedang bersedih. Aku sengaja tidak ingin tau. Sejak bapakku meninggal tiga tahun yang lalu, kami sudah mutung dengan paparan penderitaan. Biasa menjadi kerak, kami menyadari beruntungnya orang yang selalu memiliki nasi.

“Aku tak berani lagi berhutang” suara Emak lirih, “hutang sudah menumpuk, dan mereka...” Emak meragu. Suaranya serak. Bukan hanya mata, hidungnya pun mengeluarkan tangis, ingusnya meleleh bening.

“Mana beras habis.” Akhirnya Emak berhasil menamatkan maksud.

Kakek tidak menyahut. Bangkit dari duduk, membetulkan letak peci di kepalanya, kemudian mengeluarkan sepeda kumbangnya dari dalam kamar. Kakek punya kebiasaan mengeloni sepeda itu setiap malam. Diusap-usap bagian stang, sadel, dan ruji-ruji dengan mesra. Benda ini sangat berharga. Harta termahal yang sanggup dimilkinya. Sepeda adalah nyawa. Menemaninya berjalan-jalan keliling kampung manakala hatinya bungah. Membawa bersilaturahim ke teman lamanya jika punya waktu senggang. Atau hanya sekadar menemani kakek berdialog dengan kesepian.

“Izinkan aku kerja ke Malaysia, Pak!” Kejar Emak.

Kakek tidak jadi mengayuh sepedanya. Dia menoleh tetapi pandangannya sengaja tidak ditabrakkan pada sorot mata Emak yang menaruh harap.

“Kau tetap di rumah.”

“Kita tidak bisa terus begini. Izinkan aku bekerja, Pak.”

“Tidak, Bapak yang bekerja.”

Sejak saat itu, Kakek berjualan layang-layang di sekolahku. Saat jam istirahat, anak-anak mengerumuninya hanya demi mengagumi layang-layang. Yang membeli hanya satu atau dua orang saja. Lain waktu tidak seorang pun menengok dagangan Kakek. Kalau sudah begitu kakek memanfaatkan waktu luang dengan berkipas-kipas dengan sobekan kardus. Dia duduk di sebelah sepeda kumbangnya yang disandarkan dengan kayu penompang.

Haruskah aku menukarkan badanku dengan kakek. Atau aku lari saja dari kehidupan Emak dan Kakek agar beban hidupnya berkurang. Biar aku merasakan apakah ada keperihan lain yang lebih perih dari kehidupan miskin. Pernah aku ikut bekerja menggali sumur. Di awal-awal pekerjaan, tidaklah sulit menggali tanah sedalam tiga meter. Tetapi setelahnya aku tidak berani lagi meneruskan. Kebanyakan aku di atas, bertugas menimba galian tanah merah. Tapi, belum juga sumur mengeluarkan air, kakek menjemputku. Ia marah aku melalaikan sekolah.

Pada musim kemarau biasanya langit dipenuhi burung kertas meliuk-liuk menyenangi angin. Benang-benang tarik ulur, kemudikan kertas yang melayang-layang. Demikian lamunan kakek senasib layang layang itu. Sudah beberapa pekan menunggu pembeli. Debu melekati kertas. Yang putih jadi menguning. Yang kuning warnanya pudar. Bagian ekor beberapa sudah robek. Kakek tetap mengayuh sepedanya. Dia menuju sekolah dan aku hanya menonton dari balik jendela kelas. Kusaksikan perjalanan tuanya semakin cepat. Mukanya semakin kusut dan punggungnya makin rendah. Tangan gemetar itu menggetarkan hatiku. Layang-layang robek itu pun serupa hatiku. Tiba-tiba pulpen yang menyelip di tanganku berubah jadi pisau tajam. Gambar di buku paket itu menyeringai, mencakar-cakar mukaku. Aku hunuskan pisau itu, mencabik-cabik makhluk sombong yang bersembunyi dalam buku paket. Pisaunya berdarah-darah dan aku membawanya lari sekencang-kencangnya menuju sepeda Kakek. Tapi, aku hanya menemukan robekan kertas yang tidak bisa melayang menggapai langit. Cita-cita terbang tinggi kandas. Cita-citaku pun layang-layang itu. Hanya sepeda nyawanya. Kakek tiada.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post