CERPEN ANAK
PERTUALANGAN NOLA
Malam baru saja menyapa, namun mataku terasa begitu sulit untuk diajak kompromi. Baru saja kurebahkan kepalaku ke bantal kesayanganku seketika pendengaranku kian memudar, aku terlelap mengarungi malam. Inilah kebiasaan burukku bila sedang berada di rumah kakekku, yang terletak di kaki Gunung Gasing yang super sejuk dan nyaman. Suasana pegunungan yang adem, membuat mataku begitu cepat terlena, ditambah lagi seharian aku telah begitu banyak menghabiskan energi untuk berpetualang keliling kampung.
“Nola…,” sekilas aku mendengar sapaan lembut dari nenekku sambil mengelus keningku. Aku memutar kepala menghadap ke sumber suara yang menyapaku. Dengan mata yang masih tertutup, kutarik tangan yang penuh kedamaian itu ke bawah pipiku. “Ayo bangun cucu Nenek, hari sudah siang, bukankah kamu mau pergi ke sawah kakek hari ini.”
Mendengar perkataan nenek, maka seketika kantukku langsung lenyap, kulingkarkan kedua tanganku ke leher nenek, sambil mencium pipi nenek yang sudah tak kencang lagi. Aku selalu menemukan kedamaian dalam pelukan nenekku. Aku adalah cucu kesayangan nenek dan kakek, karena aku adalah cucu pertama perempuan, yang dimiliki oleh mereka, sementara 3 orang anak nenek dan kakek, semuanya laki-laki. Itulah sebabnya aku diberi nama Nola, yang merupakan singkatan dari nama kakekku Norman dan nenekku Laila. Sekaliapun aku selalu dipenuhi limpahan kasih sayang dari nenek dan kakekku, namun aku tidaklah menjadi manja, malah aku terkesan sedikit tomboy.
Pagi ini kakek sudah siap dengan kostum kerjanya. Kakek masih duduk di teras samping ditemani sepiring pisang goreng dan secangkir kopi. Aku segera berkemas dan mempersiapkan barang keperluanku. Setelah selesai, kami beranjak dari rumah, tak lupa bersalaman dengan nenek dan meminta doa semoga hari ini diberi kelancaran dan ridho dari Allah SWT.
Kakek menghidupkan motor kesayangannya yakni Yamaha model lama dengar suara khas “trut tut tut tut trut“ dari motor tersebut . Aku segera menaiki motor dan kami pun bergerak meninggalkan rumah menuju ke sawah kakek yang letaknya kira-kira dua kilo meter dari rumah. Sawah yang diolah kakek ini adalah sawah program pemerintah, dimana setiap kepala keluarga harus memiliki satu petak sawah. Dulunya penduduk kampung kakek tiap tahun selalu menanam padi di ladang berpindah, namun sejak hutan sudah semangkin menipis, maka pemerintah melarang penduduk untuk membuka lahan baru. Apalagi lahan tersebut dibuka dengan cara dibakar.
Sepanjang perjalanan masih banyak hutan belukar, parit-parit yang masih dialiri air, dan bukit kecil yang masih memiliki hutan yang penuh pohon-pohon besar. Menurut cerita kakek, tidak ada yang berani menebang pohon-pohon yang ada di bukit tersebut, karena adanya larangan dari tetua kampung. Menurut kepercayaan masyarakat kampung kakek, di tempat tersebut merupakan tempat tinggal bangsa bunian atau bangsa mahluk halus. Mereka juga beranak pinak sama halnya seperti manusia. Jadi bila tempat tinggal mereka diganggu maka mereka juga tidak akan membiarkan masyarakat di kampung itu hidup dengan tenang.
Menurut cerita kakek, dulu pernah ada seorang warga kampung, yang merasa berani dan tidak percaya terhadap cerita tersebut, maka dia menebang pohon yang ada di Kawasan bukit tersebut untuk membuat rumahnya. Apa yang terjadi beberapa lama kemudian, warga tersebut jatuh sakit, dan akhirnya meninggal, semua keturunan selalu diganggu oleh penunggu hutan tersebut. Bahkan ada beberapa keturunan warga tersebut yang memiliki penyakit lupa ingatan. Walahualam, apakah cerita kakek benar atau tidak, tapi yang pasti seluruh masyarakat yang ada di kampung kakek mentaati semua perintah tetua kampung.
Tak terasa, kami sudah memasuki area persawahan. Sapaan lembut udara pagi menumbuhkan berjuta semangat. Itulah sebabnya para petani selalu merasa gembira. Hidup mereka tidak dibebani dengan segala hingar bingar kehidupan kota, bila melihat tanaman mereka tumbuh subur, mereka sudah sangat bahagia.
Kakek memarkir motornya agak sedikit jauh dari pondok di bawah pepohonan yang masih terdapat di pinggir area persawahan. Kami berjalan kaki menuju petak sawah kepunyaan kakek, dengan melewati beberapa petak sawah milik warga yang lainnya. Jalanannya sedikit semak dan licin, hingga kami harus berhati-hati. Di tengah petakan sawah warga terdapat sebuah aliran irigasi yang berukuran kurang lebih 150 cm. Airnya jernih dan mengalir cukup deras. Air inilah yang biasanya digunakan warga untuk mengaliri sawah mereka. Air ini juga biasa digunakan mereka untuk keperluan yang lainnya. Sepertinya juga cukup nyaman untuk berlatih berenang pikirku.
Ini adalah kali pertama aku diajak kakek ke sawah beliau setelah dibuka setahun yang lalu. Aku mengekor punggung kakek menuju pondok, dengan jalan yang sedikit tertatih, karena agak licin. Sementara kakek dengan santainya menapaki pematang sawah tanpa takut terpeleset. Sesekali kakek menoleh kebelakang, karena aku yang agak jauh tertinggal, sambil beliau meneriakan, “Hati-hati, awas nanti terpeleset.” Aku hanya tersenyum sambil mengacungkankan jempolku.
Sampailah kami di pondok. Aku langsung masuk ke pondok kakek yang berbentuk persegi empat dengan dinding yang hanya dipasang setengah. Kurentangkan kedua tanganku, kuhirup udara pagi yang begitu segar, ku hembuskan berlahan, serasa begitu nyamannya berada di tengah hamparan hijau persawahan. Kata Ibuku, dulu kita hanya bisa melihat sawah bila berada di Pulau Jawa, tapi kini dimasa kecilku aku bisa menyaksikan dan merasakan sendiri bahwa di kampung kakek juga ada persawahan. Pemandangan yang menakjubkan dengan latar Gunung Gasing ku abadikan dengan dengan kamera ponselku.
Terlihat tak jauh dari petak sawah kakek, ternyata Pak Tarman yang sudah turun ke sawah, menyiangi gulma-gulma penganggu diantara tanaman padi tersebut. Kakek berseru menyapa Pak Tarman, “Hoi Pak Tarman, pagi sekali sudah sampai di sini,” sapa kakek dengan suara agak kuat sambil melambaikan tangannya.
“Aku baru juga sampai, belum 10 menit,” timpal Pak Tarman sambil tersenyum. Pak Tarman kembali melanjutkan pekerjaannya, dan kakekpun bersiap-siap untuk turun ke sawah.
Sebelum turun, kakek sempat berpesan kepadaku, “Yang, nanti kalau mau main, jangan jauh-jauh ya… Kakek mau menyiangi rumput di sana, apa kamu mau ikut Kakek?” tumpal kakek kemudian.
“Ee, Aku ikut Kakek dulu ya” jawabku dengan seulas senyum buat kakek.
Semilir udara pagi terus saja menebar pesonanya, sinar Mentari timbul tenggelam diantara awan yang yang berarak. Menjadi seorang petani ternyata tidaklah mudah, kita harus bergumul dengan lumpur, dan bercengkrama dengan teriknya mentari. Itulah sebabnya kita tidak boleh menyepelekan apapun pekerjaan seseorang, apalagi para petani. Mereka adalah menyedia barang yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat Indonesia, karena tanpa mereka kita tidak bisa mendapatkan makanan pokok kita, berupa beras yang akhirnya menjadi nasi.
Dengan berlumur lumpur, aku berusaha membantu kakek menyiangi gulma penganggu di sela-sela tanaman padi kakek yang telah berusia kurang lebih 5 minggu. Menurut kakek sekitar 3 bulan ke depan, padi kakek siap untuk dipanen. Sekalipun aku kerjanya diselinggi dengan sedikit bermain, dan mengajukan pertanyaan ini itu ke kakek, tapi kakek tetap senang dan antusias menjawab pertanyaanku. Tak terasa sudah sekitar satu setengah jam berlalu, setengah petak dari sawah sudah bersih dari gulma.
“Alhamdulillah… karena dibantu cucu kakek yang pintar ini, pekerjaan kakek jadi cepat selesai,” puji kakek, sambil melirik ke arahku, yang dipuji senyum-senyum senang tentunya. “Kita istirahat dulu ya, nanti kita lanjutkan,” ajak kakek kepadaku sambil berjalan menuju pondok.
Setelah melepas penat dan menganjal perut dengan berbagai cemilan yang dibekali nenek tadi, kakek Kembali melanjutkan pekerjaannya. Tapi aku diminta kakek untuk tetap beristirahat di pondok, karena sengatan mentari sudah sedemikian teriknya. Aku ikuti saja anjuran kakek.
Kurebahkan badanku di lantai pondok kakek yang terbuat dari belahan bambu, serasa mengganjal di punggungku, tapi tak apalah, hembusan angin tetap memberikan kesejukan tersediri. Selang beberapa menit, pendengaranku menghilang, aku terbuai dalam lelap.
“Nola… bangun, katanya mau main, ayo kita main sama-sama.”
Seketika mataku terbuka, dan aku sempat kaget, dihadapanku sudah berdiri seorang anak perempuan sepantaranku. Dengan pakaian yang agak aneh menurutku. Baju tanpa lengan dipadu dengan rok pendek di atas lutut. serta asesoris ikat kepala, gelang tangan dan kaki serta kalung, yang semuanya seperti terbuat dari kulit kayu atau binatang, akupun kurang pasti juga, yang pasti bukan seperti pakaian yang terbuat dari kain. Wajahnya cukup manis, dengan kulit yang bersih, bila dibandingkan dengan aku yang berkulit agak gelap, dia terlihat lebih cantik dariku. Rambutnya dijalin dua, dengan lesung pipit bila tersenyum.
Belum sempat aku berfikir lebih panjang, siapa gerangan gadis aneh yang ada di depanku ini, dia telah menarik tanganku untuk mengajak ku segera bangun. Sempat terfikir di kepalaku, apa ini jelmaan penghuni sawah ini, atau anak kampung kakek yang memang aku belum pernah lihat sebelumnya. Ah, apa peduliku, yang penting hari ini, aku bisa punya teman, dan bisa main sepuasnya di area persawahan kakek.
Genggaman tangan teman baruku ini membuat tubuhku menjadi sedikit ringan, dengan santai melintasi pematang sawah, mengikuti geraknya yang juga lincah. Belakangan aku baru tahu kalau gadis ini bernama Maryam. Dan dia sudah mengenalku sejak beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah selamatan kampung di tempat kakek.
Aku diajaknya menyisir area persawahan yang menghijau dengan sejuta pemandangan yang menakjubkan, Melewati pematang-pematang dengan air yang jernih. Sesekali kami terjun ke dasar pematang, bermain air sambil teriak-teriak kegirangan. Aku begitu menikmati suasana tersebut. Menyelam, mengikuti ikan-ikan yang berenang, yang terlihat jinak namun tidak mudah untuk ditangkap.
Hingga akhirnya kami sampai di sebuah perkampungan yang terlihat begitu damai. Rumah-rumah penggung yang mirip antara yang satu dengan yang lainnya, dengan jarak yang sama, dan terlihat sangat bersih. Beberapa anjing liar saling berlarian dan begitu juga dengan berbagai hewan peliharan yang lain bebas berkeliaran. Namun aku tidak melihat satu orang manusiapun di perkampungan itu.
Belum sempat aku mengajukan pertanyaan tentang perkampungan yang ada di depan kami, Maryam memberikan isyarat kepadaku sambil menempelkan telunjuk dibibir yang telah dimonyongkannya. Dia mengamit tanganku dan berjalan dengan Langkah pelan menuju salah satu rumah yang ada di tengah perkampungan. Kami masuk lewat pintu belakang. Sebuah dapur perapian yang sepertinya biasa digunakan keluarganya untuk memasak. Seperti perkampungan tadi, di rumah Mariam juga terlihat sangat sepi.
Kuberanikan diri bertanya pada Mariam, dengan suara setengah berbisik, “Kemana keluargamu, koq sunyi sekali.”
“Mereka semua sedang tidur,” dengan suara yang juga pelan Mariam menjawab pertanyaanku.
Setengah heran, aku hanya mangut-mangut saja. Sambil mengikuti Langkah Mariam menuju ruang samping yang terdapat satu almari yang terbuat dari kayu jati yang sangat artistik sekali. Mariam membuka almari tersebut, dan ternyata berisi berbagai makanan yang siap santap. Almari ini tak ubahnya sebuah kulkas yang ada di rumahku.
“Ayo sini, tadi katamu lapar, silahkan kamu ambil sendiri, kamu mau makan apa, semuanya sudah matang, siap untuk dimakan,” terang Mariam kepadaku, masih dengan suara pelan.
Aku sedikit terperangah, menyaksikan makanan yang ada dalam almari tersebut, semua makanan serba daging hewan, ada ikan, ayam, bebek, burung, bahkan kancil. Lebih herannya lagi, semua tersaji tanpa dipotong sedikitpun.
Kembali Mariam mencolek lenganku, untuk segera mengambil salah satu makanan yang ada dalam almari tersebut. Aku jadi binggung, antara mengambil atau tidak. Aku mencoba mengambil salah satu piring yang berisi ikan panggang, yang terletak agak di ujung, namun tanpa sengaja aku menyenggol salah satu piring yang ada di dalam almari tersebut, tak dapat dihindarkan, peralatan kayu beradu dengan lantai rumah menimbulkan suara gedebuk, yang sempat membangunkan salah satu penghuni rumah. Melihat hal tersebut, Mariam, Kembali menarik tanganku untuk segera keluar dari rumah. Kembali aku terpelesat saat menuruni tangga rumah Mariam, aku meringgis kesakitan.
“Aduh… perih…,” sedikit erangan keluar dari mulutku.
“Nola… dari tadi Kakek membangunkanmu, tapi kamu begitu pulasnya tertidur, seperti tak menghiraukan panggilan Kakek, itu sebabnya tadi kakimu Kakek pukul pakai ranting baru kamu terbangun,” jelas kakek kepadaku.
Aku termanggu mengingat semua kejadian yang baru saja aku alami, seperti nyata, tapi rupanya aku berpetualang dalam mimpi. Tanpa terasa aku sudah tertidur cukup lama, pantas saja perutku memang sudah terasa keroncongan.
Mendengar penuturan tentang mimpiku, kakek berucap syukur, untung saja kata beliau aku tidak sampai makan di tempat yang aku ceritakan. Menurut kakek, kisahku tadi bisa jadi kenyataan, kita tidak akan bisa Kembali lagi ke tempat kita semula bila kita sudah makan sesuatu di tempat mereka. Itulah sebabnya, tadi kakek membangunkanku dengan menggunakan ranting, sebagai penawar dari seseorang yang larut dalam mimpi dan sulit untuk dibangunkan. Sebetulnya kakek juga cemas, saat aku susah dibangunkan tadi, ungkap kakek kepadaku.
Menedengar penuturan kakek, aku juga jadi sangat takut. Seandainya aku sampai makan bersama Mariam, maka selamanya aku akan tinggal diperkampungan itu. Tiba-tiba bulu kudukku jadi ikut merinding.
“Itulah sebabnya, bila kita tidur, jangan lupa untuk berdoa, agar kita dijaga dari segala gangguan, termasuk gangguan setan,” nasihat kakek kepadaku.
Aku mengiyakan apa yang kakek katakan. Tadi aku tertidur dengan buaian angin sepoi-sepoi dan suasana sunyi yang menentramkan, tanpa sebait doapun. “Ampuni hamba ya Allah…atas segala kelalaianku. Terima kasih Engkau masih menjagaku,” desisku dalam hati.
Kamipun bersiap untuk pulang, sepanjang jalan aku masih membayangkan semua mimpiku tadi. Dari kejauhan terlihat bukit yang masih rimbun dengan pepohonan, tempat yang masih terjaga dari tangan-tangan serakah manusia. Seakan ada tangan mungil dari balik hutan tersebut melambaikan tangannya kepadaku. Semoga suatu saat kita bisa bermain bersama kembali. Terima kasih atas petualangan hari ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren buk ceritanya...
Keren ceritanya, Bu Minarti.Bisa kupakai buat cerita fantasi nih. Izin yaTetangga ku ada juga yang mengalami hal seperti itu. Tapi lebih parah....sampai orang sekampung mencari beliau.
Alhamdulillah....terima kasih sudah baca cernak saya....Jadi semangat juga mau menulis lagi...sukses juga buat kita semua....
Alhamdulillah....terima kasih sudah baca cernak saya....Jadi semangat juga mau menulis lagi...sukses juga buat kita semua....
Hehe, ceritanya mantap. Smg sukses bunda...
wow, kisah yang sungguh menarik...cocok sekali untuk anak. sukses selalu, salam kenal.
Keren ceritanya
Keren Bu ceritanya.
Wah keren bunda..bisa menerbitkan novel khusus anak nih
Mantaap cerita nya Bun. Izin saya falllow yang ke 18 ya Bun. Salam literasi. Sukses selalu
Keren ceritanya salam literasi
Keren buk...
ceritanya yang keren... sukses selalu
mantap ceritanya