Illahi Robbi; Kami Kembali
“Dug..... dug... dug”, bedug ditabuh dari masjid samping rumahku. Syahdunya Adzan magrib tak mampu lagi ku dengar dengan kidmat. Lantunannya kalah oleh teriakan ibuku.
“Tolonggg, toloonggg....Ragiiiillll, Ragiill tolong naakkkk cepaat”, suara dari kamar belakang terasa begitu mencekam.
Aku dan adikku berhamburan entah dari arah mana. Kami berlari kencang menuju kamar yang terletak di belakang dapur. Rasanya aku ingin melompat, karena terdesak oleh tekanan rasa ingin tahu atas apa yang terjadi. Seumur hidup tak pernah ku dengar ibu berteriak seperti itu.
Di lantai kamar bermarmer putih, ku dapati Ibu duduk memeluk ayah sambil menangis. Ku amati wajahnya dengan cepat, berusaha mendeteksi apa yang tengah terjadi. Dalam pangkuan ibu. Ayah tak lagi bergerak. Dia hanya diam. Irama naik turun perut yang sering ku perhatikan saat dia tidur, tak lagi dapat ku lihat. Sementara Ibuku terus nangis sesegukan mengucap kalimat - kalimat permohonan pada Tuhan dengan suara lirih. Entah bagaimana kejadian ini berlangsung begitu cepat laksana kilat.
Setengah jam yang lalu, kami masih bersantai di teras belakang. Ibu melipat pakaian, Ayah baru selesai memberi makan burung peliharan. Sementara aku hanya jadi mandor.
Selang beberapa waktu, aku sudah berdiri di ambang pintu kamar mereka. Kakiku kaku membeku.
Ayahku tiada. Pergi meninggalkan kami menghadap Ilahi Robbi.
Aku berharap ini mimpi. Aku ingin bangun dengan sadar. Rasa takut mencambukku. Tergiang bagaimana nasib Ibu, aku dan adikku setelah ini.
“Panggil bidan Widya cepat!, perintah Wak Basri entah ditujukkan untuk siapa.
Tak ada yang menjawab. Tak ada yang beranjak pergi. Kami diam. Sibuk bagaimana memahami peristiwa ini.
Bidan Widya datang memeriksa ayahku. Rumah kami yang sempit ternyata sudah penuh sesak oleh tetangga. Bahkan tenda dan kursi pinjaman dari balai desa sudah mulai disusun rapi di halaman depan.
Ayah dibaringkan di sepotong kasur yang dilapisi sprei berwarna ungu. Ibu hanya mengenakan daster berlengan tanggung. Dia duduk tak berdaya hingga harus disanggah oleh adik lelakiku. Beriring isak tangis, lantunan surat yasin dan doa - doa menggema tanpa henti hingga menjelang pagi.
Kakiku tak lagi menapak bumi. Ku harap ini semua hanyalah mimpi. Akal sehatku masih bertoleransi bersama bengkaknya mata yang terus mengeluarkan air. Aku meyakinkan diri, kami harus tetap mengarungi hidup setelah ayah pergi menghadap Illahi Robbi. Kami harus bersama saling menguatkan.
Hari - hari terasa mencekam. Hal kecil kerap menjadi sulutan api, hingga seringkali membakar kehangatan keluarga kami. Canda tawa seakan terkikis bersama hilangnya acara nujuh hari kepergian ayahku.
“Kalian itu sedarah sedaging, hanya dua bersaudara”, pesan Ibuku.
Sulutan api emosi, bukti kehilangan panutan hidup sering berkobar diantara kami, namun segera kami padamkan dengan keakraban yang pasti tak dapat diganti.
Saat makan malam misalnya, kami berdiskusi membahas langkah apa yang harus diambil untuk menjalani alur kehidupan ini. Kami selalu saling menguatkan. Aku dan adikku melakukan kebiasaan baru. Mencium kening Ibu adalah kegemaran kami tiap kali harus meninggalkan rumah untuk bekerja. Kecupan hangat itu mengingatkan kami hanya punya dia seorang. Pintu surga bagi kami. Kami berpegang erat. Saling mendukung satu sama lain.
Ibuku menjadi sangat cinta dengan agama. Dia semakin banyak menghabiskan waktu di atas sajadah, memohon doa kepada Yang Maha Kuasa.
“Aku mendoakan semoga kalian segera mendapat pekerjaan yang baik, mendapat jodoh dan kita dipertemukan lagi di surga”, katanya kala kami duduk bertiga di atas bale - bale teras belakang.
Adik lelakiku yang masih belia pun tampak sudah sadar beban ayah sudah berpindah ke pundaknya.
“Kita harus jadi berguna dan buat ibu bahagia, kak”, ucapnya kala mendapati aku menangis melihat foto ayah di ruang tengah. Aku memeluknya erat. Dan berterima kasih pada Tuhan karena kami menjadi anak - anak baik yang sadar akan tanggung jawab.
“Sudah, tak usah dilanjutkan hingga 40 hari. Buang buang uang. Baiknya disimpan saja untuk biaya kawin anak - anakmu nanti. Jika mau pinjam uang, aku tak punya. Karena tidak ada jaminank” saran adik Ayahku waktu itu.
Sebagai ahli yang bertanggung jawab atas 2 keponakannya. Kepergian ayahku nampaknya menjadi momok menakutkan bagi mamangku. Dia sepertinya takut akan kelangsungan hidup setelah ayah meninggalkan kami. Takut kalau kami gantungi dompetnya.
Namun ibu tak goyah menyelenggarakan acara tahlilan hingga nyeratus. Tentu karena dia ingin selalu mempersembahkan hal - hal terbaik untuk ayah. Wujud cinta, penghormatan dan terima kasih karena sudah menjadi kepala keluarga yang baik.
Hidup kami memang sederhana.Ayahku seorang guru yang sudah menerima tunjangan sertifikasi. Bahkan aku masih betah menjadi perawat honorer di rumah sakit. Adikku baru saja menamatkan kuliah sebagai ahli program komputer beberapa bulan setelah kematian ayah.
“Rejeki itu diatur Tuhan. Tak usah takut skalipun tak makan hari ini. Biar Tuhan saja yang atur segalanya. Pasrahkan hidup kita kepadaNya. Tempat bergantung hidup. Tempat meminta segala sesuatu. Dia yang Maha segala - galanya”, kalimat itu berulang kali diucap Ibu sebagai wujud nasihat untuk kami. Aku pun menyadari tiada tempat kembali bagi yang hidup kecuali pada-Nya.
Kapal rumah memang sedikit goyah sejak nakhodanya meninggalkan kami. Seringkali, beberapa orang datang menanyakan ini dan itu pada Ibuku. Menanyakan harga warisan kami. Menawar sesuka hati atas harta peninggalan ayahku.
Kerap ku dengar di teras belakang seseorang datang. Namun selalu dipersilahkan duduk oleh Ibuku.
“Berapa mau dilepas tanah di dekat jembatan”, tanyanya pada Ibuku.
“Tidak ada jual beli meskipun dibayar dengan gunungan uangmu,” bentak Ibu pada sang penanya.
Ibu tak gentar menghadapi penipu kelas kakap yang merekayasa cerita demi secumpuk harta. Entah apa yang dipikirkan mereka. Kami tak ingin menjual apapun setelah ayah pergi. Tapi kenapa mereka masih datang silih berganti.
Alasan jual beli tak lagi ampuh merayu Ibuku. Saudara - saudara ayahku bahkan dengan teganya menggugat ini dan itu. Menginginkan bagian yang bukan hak milik mereka. Aku pun rasanya sudah muak. Kasihan ibuku.
Kami ketakutan karena beberapa kali rumah hampir dibobol maling.
“Sungguh tak berhati nurani” teriak hatiku sedih.
Kasihan Ibuku dibebani banyak pikiran. Sudah pasti dia lelah. Namun kami semakin berpegang erat, selaras melangkahkan kaki dan saling menguatkan. Tidak ada hal yang tak kami ketahui satu sama lain. Kami sering berkomunikasi bahkan hanya sekedar menanyakan menu makan siang. Kami membahas banyak hal, bertukar ide hingga menemukan jalan keluarnya. Hingga Ibuku merestui kala adikku berkeinginan untuk melanjutkan sekolah pasca sarjananya.
Tiada tempat bergantung dan berpasrah diri. Sembari memperbaiki doa semoga Tuhan mengabulkan. Keluarga memang sebaiknya tempat kembali. Wadah tempat keikhlasan dan ketulusan dari hati. Seperti kami hari ini yang sudah mantap mengendalikan kapal rumah yang sempat goyah diterjang puting beliung. Bukankah setiap kesulitan selalu diikuti kemudahan, begitu firman Tuhan. Ibuku tidak lagi berdagang di pasar, sementara aku sudah diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Bahkan adikku berkesempatan kuliah di Universtas Tsukuba di Negeri Sakura setahun setelahnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerita yang penuh makna...dirangkai dengan indah oleh Dindaku yang luar biasa..sangat menyetuh hati dan penuh pembelajaran...sehat n sukses selalu ya Dik...barakallah
Kehidupan yang saling menguatkan satu sama lain dengan landasan kepasrahan dan penghambaan pada Sang Pemilik jagad raya menciptakan kekuatan maha dahsyat dalam mengarungi kehidupan dengan segala liku likunya. Sukses selalu dan barakallah
Masyaallaah, kisah kehidupan yang sarat makna dan kaya akan pesan Tentang kehilangan yang merupakan keniscayaan, karena ada akhirnya semua akan kembali kepada Allah Azza wa Jalla, Sang Maha Pencipta Sehat dan sukses terus saudariku. Barakallaah ❤