imam abu yazid dan al hallaj 1
Berbicara masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya untuk memperoleh pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT, namun tasawuf ibarat induk jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang lebih kecil darinya sesuai dengan faham dan tokoh yang merintis jalan tersebut faham tersebut. Jadi bagi yang ingin memilih jalan Tasawuf sebagai Jalan pikiran sekaligus menjadi Jalan hidup bisa memilih jalan mana yang baik menurutnya.
Mereka yang merupakan tokoh tasawuf itu mempunyai konsep pendekatan kepada Allah yang bermacam-macam, ada yang ajarannya tentang mahabbah (Rabiatul Adawiyah), Ma'rifah (Ghazali), dan lain-lain.
Adapun tokoh yang akan penulis kemukakan adalah dua orang tokoh sufi fenomenal dan controversial yang memiliki corak tasawuf yang sejalan dari segi tujuan, berupa kedekatan atau lebih khususnya penyatuan diri manusia secara bathiniyah dengan Allah, namun memiliki konsep yang berbeda. Abu Yazid Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para mistikus, karena yang terlihat darinya adalah hal-hal yang berada diluar nalar manusia biasa.
Di dalamnya akan dibahas sejarah hidupnya serta ajarannya yang sangat terkenal fana’ baqa dan Ittihad, serta Al-Hallaj dengan garis kehidupan dan konsepnya yang kontroversi terhadap pandangan ulama’ dan pemimpin waktu itu sehingga mengakhiri hidupnya di dunia, dukungan oleh banyak pengikutnya dari berbagai kalangan, serta penjelasan tentang Hululnya.
Semoga pemaparan makalah ini akan meluruskan pandangan dan meluaskan wawasan terhadap kehidupan dan corak pikiran tokoh Islam di bidang, tidak dilihat dari sudut pandang yang lain.
Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thoifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M. Al Bustami adalah nama adalah nama yang dinisbatkan kepada tempat kelahiranya, Busthan sebuah kota kecil di Khurasan Barat, Persia atau sebelah tenggara dari laut Kaspia. Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya Surusyan, pada mulanya seorang penganut agama Majusi kemudian masuk Islam. Pendidikan dasar yang dialami Abu Yazid ia belajar Figih mazhab Hanafi dengan Abu Ali al-Sindi, begitu juga ilmu tauhid dan ilmu hakikat, begitu juga ilmu pengetahuan mengenai alam fana.
Keluarga Abu Yazid termasuk orang berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana, Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari Surat Luqman yang berbunyi, "Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid
Pengetahuan yang mendalam mengenai fikih Hanafi menjadikan ia seorang yang kuat memegang Syari’at Islam. Hal ini dapat dipahami dari beberapa pernyataan yang pernah dilontarkanya, ia pernah berkata ; kalau kamu melihat seseorang telah mampu melakukan hal-hal keramat yang besar-besar, walau ia sanggup terbang di udara, namun janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti suruh dan menghentikan larangan dan menjaga batas-batas syari’at.
Abu Yazid meninggal dunia tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat hidup dan pemikiranya hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur b Isa dan tokoh lain yang pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa Al-Dabili, Abu Ishak Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya tergabung kedalam tarekat Thaifuriyyah yang merupakan pelanjut dari ajarannya. Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di kota kelahiranya Bustham.
Ajaran Fana’, Baqa' dan Al-IttihadAbu Yazid
Ajaran al-fana’, al-baqa’, dan al-ittihad Abu Yazid adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dari segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Keadaan dari Syai’ (sesuatu) yang tidak berakhir, artinya apabila tetapnya suatu keadaan telah berakhir, dikatakan bahwa ia telah mencapai fana
Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M) mendefinisikannya : "hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya
Di antara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengan mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs
Menurut Al-Thusi : Fana’ adalah berarti sirnanya pandangan seseorang terhadap tindankan-tindakannya.
Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi, yaitu :
ذهاب قلب عن حسن المحسوسات بمشاهدة ماشاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن ذهاب هذا مالا نهاية له. يعنى قد غابت المحاضر وتلفت الاشياء فليس شيء يوجد ولا يحس بشيء يفقد
Hilangnya daya kesadaran qalbudari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara slilih berganti sehingga tiada lagi yang disadaridan dirasakan oleh indera.
Sebelum sampai kepada al-ittihadseorang sufi terlebih dahulu menghancurkan dirinya, selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, ia tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Itu se babnyaal-fana’ sebagai proses awal lalu kemudian dilanjutkan dengan al-baqayang satu dengan yang lain merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan. Yang dimaksud dengan hancurnya jiwa suci bukan berarti hilang, tetapi kehancuran yang akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap dirinya. Kesadaran ini disebut dengan al-fana ‘alan nafs wa al baqa’ billah, yaitu kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbulah kesadaran diri Tuhan. Dengan terjadinya fana otomatis baqa akan datang sendiri dalam kondisi seperti itu ittihad pun terjadi pula. Abu Yazid membawa pengertian yang berbeda dengan Junaid khususnya dalam masalah sakar, yaitu mabuk dalam mencintai Tuhan.
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya (fana an nafs)
Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohani
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentang wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka:“Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”.
Dengan demikian bisa dikatakan pencapaian Abu Yazid ketahap fana' dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah SWT.
Adapun salah satu jalan untuk mencapai fana’ fillah disamping mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan perantaraan zikir, dalam kitab hikam diterangkan:
والذكر أعظم باب أنت داخله
لله فأجعل له الأنفاس حراسا
Zikir adalah sebuah pintu yang paling besar (untuk mencapai fana’ dan makrifah) pada Allah; maka masukilah, sertailah setiap keluar masuknya nafas dengan zikir
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. la bertanya, "Bagaimana caranya agar aku sampai pada- Mu? Tuhan menjawab, "Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah. "Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya:
أعرفه بى حتى فنيت ثمّ عرفته به فحيّيْتُ
Artinya:
"Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana', kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”
Kehancuran (fana') dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma'rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid.
b. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.
Adapun baqa' berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa' tidak dapat dipisahkan dengan paham fana' karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana', ketika itu juga ia sedang menjalani baqa'
Dengan tercapainya Fana’ danBaqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun
Paham Fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan firman Allah SWT yang bunyinya
Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18: 110)
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa'. Disebutkan oleh Abdul Razaq Al-Katsani :
التحاد هو شهود الوجود الحق الواحد المطلق الذى الكل به موجود بالحق فيتحد به الكل من حيث كون كل شيء موجوداً به معدوما بنهسه، لا من حيث أنّ له وجوداً خاصاً اتحد به فإنه محال
Artinya:
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fananya tak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.
Usaha untuk mencapai fana’,baqa’ dan ittihad itu bagi Abu Yazid, seperti sufi lainya, juga diawali dengan zuhud. Ia berkata ketika seseorang bertanya kepadanya, tentang perjuangan mencapai ittihad. Ia menjawab tiga tahun sedang umurnya pada waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan kata lain setelah ia berumur tujuh puluh tahun ia mencapai maqam ittihad. Ia juga berkata hari pertama aku zuhud terhadap dunia dan segala isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala yang akan terjadi disana, dan pada hari ketiga aku zuhud terhadap apa saja selain Allah.
Seorang sufi dipandang telah mencapai station ittihad adalah ketika ia dalam keadaan mabuk (sakr atau trance). Ucapan-ucapan seperti itu juga diucapkan oleh Abu Yazid, antara lain ia berkata: “manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak, aku hannya mengucapkan tiada Tuhan selain Allah"
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan "pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: "Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: "Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu. Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Abu Yazid telah dekat dengan Tuhan, tetapi ittihad belum ia capai, ittihad tercapai ketika ia mengucapkan sebagai berikut:
"Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau. Konversasi ; terputus Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, "Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku." Pernyataan di atas menunjukan bahwa Abu Yazid mengucapkan “aku” bukan sebagai gambaran dirinya, tetapi sebagai gambaran Tuhan. Hal ini terjadi karena Abu Yazid sedang mengalami ittihad.
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.
Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan ucapannya sendiri. Perkataan yang diucapkanya dalam kondisi begini tidak akan terucap dalam kondisi normal, bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri .
Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya.
Biografi Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Mughist Al-Husain ibn Mansyur ibnu Muhammad Al- Baidhawi. Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 244 H/ 858 M. Ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang Majusi dari silsilah Abi’ Ya’qub
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah.
Ia mulai belajar Al-Qur’an pada Qura’ Al Qur’an mazhab Hambali dan dan sudah hafal pada usia dini, tahun 260 H/ 873 M, dia pindah ke Tustar dan menjadi murid Sahl bin Abdullah al-Tusturi, seorang sufi pengembara yang ketat dalam pengamalan tasaufnya. Dari al-Tusturi ia belajar mengenai teori Nur Muhammad (The light of Muhammad) yang selanjutnya sangat menentukan arah pemikiran al-Hallaj dikemudian hari. Setelah belajar 2 tahun dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah lalu melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Di Basrah ia balajar dengan Amir Makki (w.279/909) salah seorang murid al-Junaid, di Baghdad ia menuntut ilmu dan berada di bawah asuhan sufi Abu Ya’kub al-Aqtha juga murid al-Junaid dan ia kawin dengan putri gurunya Umm al-Husain.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar