Hiruk pikuk keramaian di dunia politik, telah banyak menyita waktu kehidupan bangsa. Saling sikut, saling menjatuhkan sampai pada sistem politik belah bambu sudah menjadi konsumsi publik di negeri ini. Sadar atau tidak sadar semuanya telah dilalaikan dengan kondisi semcam ini.

Ada yang haus jabatan lalau mulailah mencitrakan diri sebagai orang baik dan lurus, tapi pencitraan terhadap diri tidak harus terjadi di panggung politik, di luar dari itu bisa juga terjadi.

Lihatlah bagaimana orang-orang ini mendandani diri agar terlihat perfect di mata publik. Lobi sana, terkam sini. Rangkul sana, tendang sini. Semua dilakukan demi memenuhi syahwat obsesi pribadi.

Ketika dirinya mulai terpojok, maka cara yang paling tepat untuk menarik simpati dan dukungan dengan klaim. Klaim dirinya difitnah dan dizholimi.

Hal tersebut lakukan karena untuk menutupi kekurangan diri atau ketidakmampuannya dalam berdedikasi. Itulah arogansi, sayangnya orang lain tidak akan melihatnya, karena sikap tersebut dibingkainya dengan tutur kata yang lembut dan prilaku yang nampak sopan.

Lihatlah bagaimana dia menghabisi partnernya secara perlahan, apalagi rivalnya. Haus dengan pengakuan orang, dan lapar dengan penghormatan. Selalu merasa tersakiti saat orang lain terlihat selangkah lebih maju apalah lagi jika melesat jauh di depannya.

Jika diberi wewenang maka cendrung menyalahgunakannya. Jika wewenangnya diambil maka mulailah dia berkicau dengan segala ketidaksukaannya. Ambisinya hanya untuk dirinya, membangkang dengan aturan adalah caranya untuk mencitrakan diri sebagai pribadi yang berprinsip. Tidak sedikit program patner menjadi kacau karena direcoki.

Dalam dunia pendidikan orang semacam ini tidak akan memajukan lembaga tapi sebaliknya. Segera dilepas agar sistem di dalam kembali normal.