Memahami hakikat rasa tak semudah menuang gelas yang berair setengah. Jojo terlalu gagap untuk menterjemahkannya. Terlalu banyak pilu yang ditemuinya. Terlalu banyak beban yang terletak di pundaknya. “Baiknya kau pergi merantau, jo.!” Salah seorang tetangganya memberi saran. Jojo, lelaki yang sudah berumur kepala tiga itu tak pernah mau mendengarkan. Baginya, jika satu perempuan tidak sanggup menerima cintanya, akan ada perempuan lain yang akan menyambutnya. Jojo menyadari, mungkin sudah tak cukup jari tangan dan kakinya untuk menghitung berapa kali dia ditolak.

Hari ini dia akan mencoba untuk ke sekian kalinya, meminta tetangganya untuk menjadi perantara menyampaikan maksud hatinya. Dia lihat si putri nelayan seberang desa pasti akan menerimanya. Jojo sudah beberapa kali melihatnya menemani ayahnya menambak ikan di pinggir pantai. Jojo juga pernah berpapasan dan melempar senyuman padanya. Bahkan setiapkali bertemu sang putri sering memberikat isyarat yang sangat akrab dan bersahabat. Sang nelayan dan putrinya nampak hidup sederhana, dia yakin putrinya tidak akan pernah menolaknya. Sebagaimana puluhan wanita yang pernah menolaknya.

Selepas tetangganya menghadap sang nelayan. Jojo segera menanyakannya dengan harap menjulang tinggi. Tetangganya juga sangat antusias menyambut kedatangannya. Tidak perlu menunggu banyak kalimat yang disampaikan. Tetangga jojo hanya mengelus dan menepuk-nepuk punggungnya sambil tersenyum. Kali ini jojo tidak bisa berkata lagi. Sepertinya dia memang harus mendengarkan saran tetangganya. Merantau. Agar nanti banyak pelajaran yang bisa dia temukan. Tentu juga banyak hakikat rasa yang akan menjadikannya memahami tempaan kehidupan.