Meinanda Hesti Purwandani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Kesetaraan dan Keadilan Gender

Abstrak:

Mengikuti perkembangan zaman milenial ini, wacana tentang kepemimpinan perempuan ternyata kian berkembang dan mendapat respon dari masyarakat, bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi bahkan penempatan dimana manusia beraktivitas sehari-harinya. Karena kepemimpinan tidak hanya melalui aspek bakat, keturunan, pengalaman dan terutama kaum laki-laki tetapi dilihat dari sisi kesiapan fisik dan mental laki-laki maupun perempuan dalam berencana untuk masa depan.

Keyword : Perkembangan, Kesetaraan, Keadilan, Gender.

PENDAHULUAN

Perkembangan gender dimulai dari peran orangtua sebab mereka adalah bagian terpenting dalam perkembangannya. Bukan sepenuhnya tergantung pada peran orangtua, akan tetapi peranan mereka bergantung dari jenis kelamin dan usia anak itu sendiri. Pada masal awal perkembangan anak ibu mempunyai tanggung jawab yang lebih banyak dibandingkan dengan ayah, penentuan peran seks dilakukan oleh ibu pada saat itu. Sedangkan pengaruh ayah dalam penentuan peran seks anak dapat dilihat dari hubungan ayah dengan anaknya dan sebagian pada jenis kelamin anak itu sendiri.

Kesetaraan gender disebut juga dengan keadilan gender adalah sebuah pandangan atau kesempatan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara atau sama derajatnya dan tidak dibedakan atau didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka masing-masing yang bersifat kodrati.

Dalam lingkungan masyarakat dizaman milenial ini, perbedaan gender sangat membantu kita untuk berfikir kembali mengenai peran yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki agar membangun gambaran hubungan yang dinamis dan baik serta cocok dengan kenyataan yang ada di lingkungan masyarakat.

Secara umum dapat dilihat ciri-ciri dari gender yaitu adalah bersumber dari manusia atau masyarakat, komponennya yaitu tingkah laku atau kebudayaan, bersifat dapat dipertukarkan, berlaku yang berubah-ubah dan berbeda-beda. Sedangkan seks atau jenis kelamin yaitu dari Sang Maha Pencipta, komponennya yaitu alat reproduksi, bersifat tidak dapat dipertukarkan, dan berlaku sepanjang masa serta dimana saja.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalah yaitu :

1. Bagaimana perkembangan gender dalam lingkup internasional maupun nasional?

2. Bagaimana kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia?

Dari perumusan masalah yang sudah diuraikan di atas, dapat di simpulkan tujuannya yaitu :

1. Mengetahui perkembangan gender dalam lingkup internasional maupun nasional

2. Mengetahui kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia

PEMBAHASAN

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender).

Istilah gender bukanlah hal yang mudah diselesaikan. Namun pengertian secara bahasa ini masih mendapat penolakan dari beberapa kalangan feminis. Adanya perbedaan atau penolakan tersebut menghasilkan pemikiran yang positif dikarenakan masyarakat dapat mengetahui peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia baik perempuan maupun laki-laki. Maka dari itu perbedaan ini di anggap menjadi tumpuan bagi masyarakat agar tidak salah menganalisis maupun mendiskriminasi seseorang dengan peran, fungsi maupun tanggung jawabnya. Akan tetapi masih banyak dari kalangan masyarakat yang menjadikan persoalan dan juga menimbulkan pendapat yang pro dan kontra. Bukan hanya dari kalangan masyarakat tetapi dari akademis maupun pihak pemerintah sendiri masih mempersoalkan konsep gender ini.

Berbagai teori tentang Gender

1. Teori Alam Atau Teori Nature

Secara alamiah, biologi laki-laki dan perempuan berbeda, seperti laki-laki mempunyai sperma dan perempuan memiliki rahim, payudara dan mengalami menstruasi sehingga perempuan mampu dan bisa mengandung, melahirkan serta menyusui ini pula yang menyebabkan kodrat laki-laki dan perempuan berbeda. [1]

Faktor lain yaitu pembawaan dari sifat perempuan dan laki-laki juga ada perbedaan. Perempuan dikenal sebagai sosok penyayang, penyabar dengan penuh kasih sayang sedangkan laki-laki identik dengan sifat yang keras, tegas, bertanggung jawab dan juga tegar. Tidak menutup kemungkinan sifat diatas bisa dimiliki secara terbalik, misalkan laki-laki mempunyai sifat penyabar dan juga penyayang. Tetapi sifat tersebut hanya dominan dimiliki beberapa orang saja, sejatinya laki-laki adalah orang yang mempunyai banyak tanggung jawab. Selain itu perempuan lebih memakai perasaanya untuk bertindak berbeda dengan laki-laki yang memakai fisiknya untuk bertindak atau melakukan suatu hal.

2. Teori Kebudayaan

Teori ini bertentangan dengan teori alam sebagaimana disebut diatas. Prinsip dari teori ini adalah perbedaan peran laki-laki dan perempuan bukan disebabkan kodrat alam yang berpuncak pada faktor biologis, namun perbedaan itu lebih pada hasil pengembangan melalui pendidikan kultur dan kebudayaan.[2]

Dalam teori ini muncul pertentangan dikarenakan laki-laki lebih berpotensi dari perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki sudah menjadi tanggung jawabnya menafkahi keluarga, bekerja keras untuk keluarganya dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menyongsong masa depan anak-anaknya. Sedangkan seorang perempuan atau istri juga turut di beri nafkah oleh suaminya, seperti layaknya anak-anak mereka. Disisi lain perempuan sudah menjadi kewajibannya menjadi seorang istri mendidik dan melayani keluarganya.

3. Teori Fungsionalisme Struktural

Masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan merupakan suatu sistem yang saling terkait satu sama lain secara sistematis, artinya yang satu membutuhkan yang lain, demikian juga sebaliknya, kedua jenis kelamin itu punya kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi.[3]

Sebagai makhluk sosial sudah bisa dipastikan tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan bantuan orang lain (saling melengkapi). Oleh karena itu sebagai makhluk sosial hendaknya saling membantu dalam hal yang positif. Terlebih dalam sebuah rumah tangga. Laki-laki dan perempuan dituntut untuk bekerja sama dalam sebuah rumah tangga, agar terjalin atau terciptanya suasana yang harmonis.

4. Teori Feminisme Liberal

Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.[4]

Dalam hal ini menyinggung tentang penyamaan derajat, karena sejatinya perempuan saling melengkapi dan juga memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Teori ini menggagaskan bahwasanya tidak ada perbedaan supaya tidak terjadi sebuah kesenjangan sosial. Sebab kesenjangan sosial mulai dianggap remeh untuk masyarakat sekarang.

5. Teori Feminisme Marxis-Sosialis

Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya.[5]

Teori ini memusatkan untuk keberlangsungan generasi penerus di era milenial ini. Memerangi adanya perilaku-perilaku yang kurang sepantasnya dilakukan oleh masyarakat, agar masyarakat lain sama-sama belajar dari pengalaman bahwa ketimpangan gender disebabkan oleh mereka sendiri.

6. Teori Feminisme Radikal

Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan instusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai instusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriaki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan.[6]

Sejatinya manusia adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup, maka dari itu tindakan individualisme tersebut hendaknya diluruskan dengan teori-teori yang menyebutkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajibannya masing-masing.

Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi, sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki pada.

Manusia yang sering kali tidak terkendali dengan egonya dapat membuat cara pandang mereka menjadi sangat instan atau langsung, tanpa adanya pemikiran yang benar-benar matang terlebih dahulu. Oleh sebab itu, terjadi ketidaksamaan yang sangat menonjol akan pemikiran itu. Ditambah adanya informasi-informasi dari sumber yang belum jelas atau hoax, menyebabkan manusia mempunyai pemikiran yang mudah terpengaruh akan hal-hal disekitarnya tanpa mencari suatu kejelasan informasi tersebut.

Sejauh ini masyarakat yang mau menyikapi suatu hal dengan bijak dan memfilternya dengan benar akan memberikan informasi sesuai pada kenyatannya. Akan tetapi masyarakat pun belum sepenuhnya dapat menyikapi suatu hal dengan baik, lantaran mereka akan mencari informasi sudah sudah lama beredar dan sering kali diperbincangkan.

Perkembangan gender internasional dan nasional

Kondisi keluarga di abad 21 sangat unik dan tidak dapat dibandingkan dengan situasi keluarga di abad atau era sebelumnya. Tantangan yang dihadapi oleh keluarga abad ke-21 memang lebih kompleks dan sangat berat dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Semua tantangan ini membutuhkan pentingnya studi keluarga dan gender dalam menanggulangi dampak dari perubahan iklim dan dampak negatif dari perkembangan teknologi serta informasi, perubahan ekonomi global dan perubahan iklim. Semua tantangan ini membutuhkan pentingnya studi keluarga dan gender.[7]

Gender dan Keluarga

· Di Korea, Cina, Vietnam : Aliran Confucius membuat hanya laki-lakilah yang secara struktur anggota yang relevan dari suatu masyarakat dan menjadikan perempuan bergantung pada sosial.

· Di Jepang : Keinginan laki-laki dimanjakan dan diijinkan untuk sedikit tidak diatur, sedangkan anak perempuan diajarkan nilai-nilai yang berhubungan dengan perempuan Jepang yang rendah hati dan terhormat.

Gender dan Keluarga India

· Kelahiran anak laki-laki lebih disukai di masyarakat India sejak dahulu. Seorang anak laki-laki dianggap menjamin kelangsungan generasi dan yang akan melaksanakan ritual terakhir ketika orangtuanya meninggal.

· Anak perempuan juga diharapkan untuk tumbuh menjadi istri yang baik dan memberikan dirinya untuk kesejahteraan suaminya melalui tindakannya dalam ritual keagamaan, tugas rumah dan menjaga kesucian.

Gender dan Keluarga di Asia Selatan

· Di Arab : menganggap bahwa laki-laki lebih kuat daripada perempuan, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan moral, oleh karena itu perempuan membutuhkan laki-laki untuk perlindungan dan bimbingan.

· Pakistan : laki-laki lebih dihargai. Mereka bertindak sebagai kepala rumah tangga, pencari nafkah, pembuat keputusan dan pendisiplin.

· Iran : perempuan menikah demi kehormatan keluarga. Perempuan harus memperhatikan perilaku mereka didepan umum dan secara langsung dijaga oleh kerabat laki-laki di luar rumah.

Gender dan Keluarga di Amerika Latin

· Di Meksiko : ayah memiliki peranan yang dominan, seorang ayahlah yang membuat setiap keputusan penting dan membuat standart disiplin, bahkan perkataannya tidak dapat dibantah.

· Di Spanyol : suami menganggap istrinya sebagai benteng keluarga, ia menganggapnya bahwa seolah-olah istrinya adalah orang suci. Ibu adalah sosok yang rela berkorban, kuat dan tekun.[8]

Dapat diketahui dari berbagai jenis negara dengan kebudayaan mereka masing-masing. Budaya tersebut akan berkelanjutan hingga anak cucu mereka kelak, karena sudah menjadi adat kebiasaan nenek moyang yang turun menurun dan harus dilestarikan, maka kultur budaya pada negara tersebut sangat mendarah daging dan menjadi sebagai acuan untuk kedepannya.

Terdapat berbagai pandangan yang berbeda-beda dari berbagai negara tersebut, mengakibatkan kultur budaya menjadi ciri khas mereka dalam berfikir. Namun, secara bersamaan mengakui bahwa konstruksi sosial budaya tetap berpengaruh signifikan terhadap pembagian peran yang mainkan oleh laki-laki dan perempuan dalam institusi keluarga. Ini berarti bahwa konstruksi sosial budaya sangat berperan dalam penciptaan hubungan berkontribusi antara laki-laki dan perempuan sama-sama atau terjadi ketimpangan.

Problem fundamental dari ketidaksetaraan yang menimpa perempuan adalah alasan sirkularitasnya, yaitu bahwa rendahnya level sumber kapital manusia terutaman perempuan tak hanya merupakan penyebab tetapi juga akibat. Perempuan tak seoenuhnya disalahkan, demikian juga laki-laki karena kuatnya sistem yang tak setara tersebut.[9]

Pendidikan Gender Mulai Usia Dini

Pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia dini begitu penting untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu perteumbuhan dan perkembangan anak terdahulu adalah menjadi dasar pada pertumbuhan dan perkembangan kelak, sehingga apabila terdapat suatu hambatan pada perkembangan anak akan menjadi hambatan pada masa kelak.

Pada tahun awal perkembangan, Orang tua adalah pengaruh penting dalam perkembangan gender. Walaupun kedua orang tua memegang peranan penting dalam penentuan peran seks anak, peranan mereka beragam bergantung dari jenis kelamin dan usia anak. Karena ibu lebih banyak bertanggung jawab dalam pendidikan anak selama masa awal hidupnya dibandingkan ayah, penentuan peran seks lebih dilakukan ibu dari ayah pada saat itu. Berapa besarnya pengaruh ayah kelak pada penentuan peran seks anak akan bergantung sebagian pada hubungan ayah dengan anaknya dan sebagian pada jenis kelamin anak. [10]

Keluarga merupakan tempat belajar pertama anak yang diperankan oleh orang tua sebagai sumber ilmu anak. Peran kedua orang tua sangat dibutuhkan sebagai pengembangan konitif, afektif, dan psikomotorik saat usia dini atau sebelum anak-anak akhirnya mengenal dunia luar dan dunia sekolah. Pada tahap usia dini ini anak mulai dikenalkan tentang masalah identitas gender mereka dan untuk mempersiapkan anak berkecimbungpada dunia luar lingkup keluarga.

Pengenalan tentang masalah gender sudah seharusnya ditanamkan sedini mungkin karena untuk menyipakan anak pada proses perkembangan social dilingkup yang lebih luas. Perkembangan social ini nantinya akan menjadikan jati diri seorang anak sesuai dengan gender masing-masing, selain itu untuk menuntun anak menjadi apa yang diharapkan.

Keluarga memiliki peran yang penting dalam perkembangan gender anak. Meskipun banyak perdebatan yang terjadi menolak dan mendukung pernyataan tersebut. Namun, kita mengetahui dengan pasti bahwa keluarga adalah lingkungan pertama yang dimiliki oleh anak. Apalagi dalam tahun-tahun pertama anak sebelum memasuki dunia sekolah, keluarga dan anggota keluarga di dalamnya sangat berperan dalam perkembangan anak. [11]

Masalah mengenai gender dirasakan masih menjadi bagian yang sulit untuk dapat dipecahkan. Hal ini dimungkinkan karena gender erat kaitannya dengan pemahaman masyarakat yang telah mengakar dan berujung pada pemahaman yang keliru mengenai konsep gender itu sendiri. Beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dapat diterapkan dalam mengatasi kesalahpahaman mengenai gender ini antara lain, mengajak anak untuk diskusi tentang apa yang mereka pahami dan buat anak agar tidak merasa dilarang ataupun dibatasi aktivitasnya.

Selanjutnya, melatih anak untuk berpikir logis, misalnya ketika melarang anak untuk melakukan sesuatu, berikan alasan yang tepat mengapa hal itu tidak boleh dilakukan. Mengenalkan anak pada peran-peran yang bisa dilakukan baik untuk laki-laki maupun perempuan, misalnya mengajak anak berkebun, mengerjakan pekerjaan rumah, atau melihat berbagai profil pekerjaan yang bisa dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah dengan menanamkan sikap menghormati dan menghargai anatar jenis kelamin.[12]

Selanjutnya, setelah anak sudah menginjak sekitar umur 4 tahun atau lebih akan menginjakkan pada bangku taman kanak-kanak atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Khusus pada jenjang ini telah diketahui bahawa metode pada PAUD dalah belajar sambal bermain, sehingga anak mulai beradaptasi dengan adanya guru sebagai orang tua selama di sekolah. Pada tahap ini anak akan mendapatkan pelajaran baru yakni pada perkembangan sosialnya, siswa mulai mengenal lingkup dunia luar keluarga, dimana anak dapat bermain dan melaksanakan tugas perkembangan dan pertumbuhan mereka disini.

Dari penjabaran tersebut perlu dilakukan dan diperhatikan oleh guru dalam menerapkan strategi bermain peran bagi anak usia dini dapat dijelaskan sebagia berikut:

1. Pemanasan, yaitu kegiatan untuk memperkenalkan anak pada masalah yang mungkin mereka hadapai, seperti sopan santun terhadap orang tua, menghargai teman sekelas, dan lain sebagainya.

2. Memilih pemain, yaitu kegiatan di mana guru dan anak usia dini memilih karakter yang akan dimainkan anak. Kegiatan ini dapat dilaksanakan sesuai pilihan guru, usulan dari anak, atau cabut undian.

3. Menata panggung, yaitu kegiatan di mana guru dan anak usia dini akan berdiskusi di mana, bagaimana, dan apa saja yang diperlukan dalam memainkan perannya nanti.

4. Menyiapkan pengamat, yaitu kegiatan di mana guru akan menunjuk beberapa anak untuk mengamati peran yang dimainkan oleh teman-teman mereka.

5. Memainkan peran, yaitu kegiatan permainan peran yang akan dilaksanakan secara spontan. Guru tidak perlu menyiapkan dialog sehingga anak dapat mengeksplor peran mereka sendiri.

6. Diskusi dan evaluasi, yaitu kegiatan di mana guru dan anak usia dini mendiskusikan permainan yang telah dilaksanakan terlebih pada peran-peran yang ditunjukkan.

7. Memainkan peran ulang, yaitu kegiatan mengulang kegiatan permainan peran yang sudah dilaksanakan sebelumnya sesuai dengan hasil diskusi dan evaluasi yang telah dilakukan, dengan harapan anak-anak menjadi lebih paham terhadap peran-peran yang dimainkan.

8. Diskusi dan evaluasi kedua, yaitu kegiatan evaluasi yang lebih diarahkan pada konteks realitas pada kehidupan sehari-hari.

9. Berbagipengalaman dan kesimpulan, yaitu kegiatan di mana ank diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema yang sesuai dengan permainan peran yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada saat membuat kesimpulan diharapkan anak-anak lebih memahami peran-peran yang telah ditampilkan dengan mengaitkannya pada kehiduan sehari-hari. (2)

Kesetaraan dan Keadilan Gender

Pada hakikatnya bicara tentang kesetaraan gender sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Khusus dalam bidang pendidikan, amandemen UUD 1945 pasal 31 dan UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan mengenai Konverensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pun menegaskan bahwa pendidikan adalah hak warga negara baik itu laki-laki maupun perempuan yang dapat ditempuh melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. [13]

Secara teoritis, kesetaraan gender merupakan suatu kondisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam mencapai hak-hak dasar dalam lingkup keluarga, masyarakat, negara dan dunia internasional. Sedangkan keadilan gender merupakan suatu proses yang menjamin seimbang laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses dan kesempatan, partisipasi, kontrol dalam pengambilan keputusan dan manfaat pembangunan. [14]

Pembangunan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia memiliki akar historis dan konstitusional serta telah menjadi komitmen global. Secara historis atau cerita, tuntutan untuk menyetarakan kaum perempuan dan laki-laki mulai gencar dilakukan oleh Kartini sebagai inpirator gerakan perempuan Indonesia,nyang kemudian menjadi sumber inspirasi yang tak pernah padam bagi para pejuang perempuan berikutnya, baik pada masa penjajahan Belanda, maupun setelah kemerdekaan.[15]

Pada dasarnya memang ada perbedaan gender dalam kemampuan mental dan kepribadian. Anak perempuan lebih unggul dalam perkembangan bahasa, namun lebih sensitive dan tergantung. Sedangkan anak laki-laki unggul dalam kemampuan keuangan dan lebih agresif. Hal ini berdasarkan pandangan bahwa anak perempuan cenderung lebih banyak memanfaatkan otak sebelah kirinya, sedangkan anak laki-laki lebih banyak memanfaatkan otak sebelah kanannya, yang banyak berkaitan dengan spasial atau keruangan.

Pendidikan bukan hanya memberikan keluasan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti kekerasan, penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik. [16]

Adanya pembatasan atau pemantauan terhadap subjek pendidikan makan akan melindungi dan juga mengurangii permasalah-permasalahan diatas. Pihak berwajib sebagai badan pelindung negara dijadikan tempat rujukan bagi orang yang tekena permasalahan tersebut.

Sebagai konsep sosial-budaya, perbincangan gender tentu lebih dinamis karena mempertimbangkan variable psiko-sosial yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, dengan bahasa yang berbeda Nassarudin Umar menegaskan bahwa, konsep dimana pembagian peran antara laki-laki dan perempuan tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normatif dan kategori biologis melainkan pada kualitas dan skill berdasarkan konvensi-konvensi sosial.[17]

Dalam hal ini peran dan fungsi perempuan dan laki-laki sudah nyata di depan mata. Seperti halnya perempuan mengandung, mengurusi anak, menjadi ibu rumah tangga, dll. Sedangkan laki-laki yaitu mencari nafkah, pelindung keluarga, serta menjadi kepala rumah tangga. Dalam hal ini sering kali masyarakat mempunyai paradigma pemikiran yang tidak selaras dengan pemikiran pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya broken home (patah hati karena masalah keluarga) yang menjadikan perempuan tersebut harus mencari nafkah sendiri, yang seharusnya pekerjaan tersebut dilakukan oleh laki-laki mau tak mau perempuan tersebut harus menjalaninya untuk bertahan hidup.

Anatomi biologis yang berbeda dari laki-laki dan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial dua jenis kelamin tersebut. Laki-laki berperan utama dalam masyarakat karena dianggap lebih potensial, lebih kuat dan lebih produktif. Sedangkan perempuan karena organ reproduksinya (hamil, menyusui dan menstruasi) dinilai memiliki ruang gerak yang terbatas. Perbedaan itulah yang dari kelas ke kelas sesuai perkembangan zaman. Sedangkan seks adalah jenis kelamin biologis yang melekat pada masing-masing jenis kelamin tertentu dan tidak dapat dipertukarkan karena merupakan kodrat.[18]

Peran gender adalah serangkaian ekspetasi yang menentukan bagaimana perempuan atau laki-laki harus berfikir, bertindak dan merasa bahwa dirinya layak atau pantas melakukannya. Peran ini mengarah pada pola atau suatu rangkaian perilaku laki-laki atau perempuan yang mempertimbangkan budaya tertentu.

Dalam banyak perbincangan publik era modern ternyata perjuangan persamaan gender yang telah lama didengungkan, secara realitas menunjukkan bahwa peran perempuan dalam perspektif persamaan hak dan kedudukan dengan laki-laki telah sedemikian maju dan berkembang. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kesadaran dari kaum perempuan itu sendiri mengenai arti penting pendidikan bagi masa depan umat manusia khususnya perempuan muslim, dalam menghadapi kerja dan karir yang setara dengan laki-laki. [19]

Kesetaraan gender adalah suatu persamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatannya yaitu hak dan kewajiban sebagai manusia untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang misalkan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan serta keamanan negara. Dalam hal ini kesetaraan gender dapat terwujud dengan tidak adanya diskriminasi antara pihak perempuan dan pihak laki-laki untuk mencapai keinginan serta memperoleh manfaat yang akan dicapai.

Konsep kesetaraan dan keadilan gender yang dikemukakan merupakan proyek pemerintah yang lahir dari konsep kesetaraan gender dari budaya Barat, yaitu kesetaraan dan keadilan gender akan terwujud apabila kaum laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang sama, sedangkan konsep kesetaraan gender menurut budaya timur adalah kesetaraan dan keadilan gender akan terwujud apabila kaum laki-laki dan perempuan saling bekerja sama secara harmonis dan seimbang dalam mengerjakan perannya masing-masing. [20]

Menyikapi hal tersebut, tentunya memiliki cara pandang yang berbeda-beda, baik dari satu orang maupun yang lainnya. Oleh sebab itu semua kembali kepada diri masing-masing. Jika mereka ingin menciptakan suasana yang baik dan juga harmonis maka mereka akan bekerja sama walaupun banyak rintangan yang dihadapi. Sebaliknya, jika salah satu peran (laki-laki maupun perempuan) tidak mau bahkan tidak ingin mewujudkan suasana yang harmonis maka akan terjadi sikap atau pemikiran yang menyimpang di kalangan masyarakat.

Tergantung kultur budaya pada daerah-daerah tersebut. Maka sebuah pemikiran akan muncul dan terjadi dengan kebiasaan pada umumnya. Justru perempuan sering kali mendapat ketidakadilan gender dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan banyak dituntut supaya pandai disegala bidang, terutama dibidang pendidikan. Perempuan yang dianggap tidak mempunyai cita-cita yang tinggi di anggap perempuan yang lemah. Padahal tidak semua perempuan yang mempunyai cita-cita tinggi dapat mewujudkan impian. Karena impian dapat dilakukan dengan berbagai hal yang positif dan usaha serta diimbangi dengan doa.

Sebagaimana yang dikatakan Utami (2001), mewujudkan kesetaraan gender adalah salah satu upaya mewujudkan demokratisasi, karena dengan kesetaraan gender akan membuka peluang serta akses bagi seluruh masyarakat sari segala lapisan untuk ikut serta melakukan proses demokratisasi itu sendiri. Upaya mewujudkan kesetaraan gender sejauh ini telah dilakukan oleh cukup banyak pihak. Namun realita yang terjadi dalam masyarakat masih banyak praktek ketidakadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan yang kebanyakan dialami oleh perempuan. Kenyataan itu pada gilirannya menghambat cita-cita demokratisasi itu sendiri, karena terdapat diskriminasi di dalamnya.[21]

Sedangkan keadilan gender adalah suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan adanya keadilan gender tersebut akan melindungi perempuan maupun laki-laki terhadap berbagai kekerasan. Sebab kekerasan tak hanya berlaku berupa kejahatan fisik, akan tetapi kejahatan melukai perasaan atau menyinggung perasaan termasuk dalam kejahatan mental. Seyogyanya mental adalah penggerak tubuh manusia mengadapi berbagai sifat manusia.

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa konstruksi bias dan ketidakadilan gender dapat tersosialisasikan melalui banyak hal seperti agama, politik, budaya, ekonomi dan bahkan pendidikan yang dalam pembentukan tatanan kehidupan manusia yang lebih berperadaban. Pendidikan Agama Islam yang merupakan salah satu komponen pelajaran dalam instusi pendidikan islam secara sadar atau tidak juga menjadi media transformasi bias dan ketidakadilan gender.[22]

Transformasi sosial yang dimaksud adalah semacam proses penciptaan hubungan yang secara fundamental merupakan sesuatu yang baru dan yang lebih baik. Dengan demikian transfoemasi gender merupakan upaya pembebasan dari segala bentuk penindasan baik itu struktural maupun personal, kelas, warna kulit dan ekonomi internasional.[23]

Stereotip Gender adalah kategori-kategori yang bersifat umum yang menggambarkan pandangan dan keyakinan tentang laki-laki dan perempuan. Stereotip merupakan asumsi-asumsi budaya yang bekerja sebagai harapan, agar laki-laki dan perempuan menampilkan karakteristik tertentu yamg sesuai dengan jenis kelaminnya. Stereotip gender meliputi informasi tentang penampilan fisik, sikap, minat, trait kehidupan, relasi sosial dan pekerjaan. [24]

Masih minimnya perhatian masyarakat akan pentingnya pendidikan terlebih bagi perempuan ditambah dengan pemberian stereotip negatif dimana masyarakat sekitar masih dikenal dengan budaya jawa dikenal mereka yang menganggap perempuan tidak terlalu perlu mengenyam pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena menganggap perempuan nantinya juga akan berkutat sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak, suami dan keperluan rumah.[25]

Isu kesetaraan gender muncul dari menguatnya kesadaran publik bahwa telah terjadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan pada penyelenggaraan kehidupan bersama. Ketimpangan ini tidak saja ada di negara-negara berkembang namun telah menjadi sebuah fenomena global atau mendunia.[26] Dalam hal ini pegangan hidup atau kepercayaan merupakan tiang diri sendiri untuk media beribadah. Oleh sebab itu kepercayaan dinyatakan sebagai salah satu kunci atau jalan keluar jika terjadi masalah terhadap batin.

Hebatnya, gender mampu melahirkan pergeseran paradigma berfikir masyarakat. Masyarakat mulai membandingkan sifat dan fungsi laki-laki dan perempuan.[27] Adanya landasan berfikir dikalangan masyarakat tentunya memiliki sumber yang terpercaya. Masyarakat akan mencari sumber terpecaya yang dirasa mereka sependapat dengan opini yang diberikan. Dalam hal ini akan menimbulkan kelas-kelas sosial yang akan membedakan setiap argumen dari masyarakat.

Maslow (Schlutz, 1991) menyatakan bahwa manusia sehat mental adalah manusia yang mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Kemampuan untuk mengembangkan diri untuk mencapai keadaan eksistensi ideal ditemukan pada orang-orang yang mengaktualisasikan diri.[28]

Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.[29]

Pada akhirnya kesetaraan gender di perbincangkan karena menginginkan kesamarataan hak dan kewajiban memperoleh pendidikan. Penanaman kesetaraan gender bisa saja dilakukan sejak dini, tetapi masih memiliki batasan-batasan sesuai kodrat sang ilahi. Semua tergantung bagaimana persepsi diri kita kepada orang lain serta kemampuan berfikir kita tentang berbagai opini yang ada.

PENUTUP

Masa anak usia dini merupakan fase penting bagi seorang pendidik atau peran orang tua untuk menanamkan arahan dan norma atau dasar kehdupan yang baik untuk bekal kedepannya, karena pada fase ini anak akan mudah untuk menyerap sebuah arahan aturan serta menjadi bekal potensi di masa kelak sebab anak memiliki banyak potensi difase ini. Pendidikan tentang gender akan tercapai dengan bai, apabila disampaikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya sesaui dengan kemampuan psikologisnya.

Kebanyakan anak mengalami sekurang-kurangnya tiga tahap dalam perkembangan gender. Pertama, anak mengembangkan kepercayaan tentang identitas gender, yaitu rasa laki-laki atau perempuan. Kedua, anak mengembangkan keistimewaan gender, sikap tentang jenis kelamin mana yang mereka kedendaki. Ketiga, mereka memperoleh ketetapan gender, suatu kepercayaan bahwa jenis kelamin seseorang ditentukan secara biologis, permanen dan tak berubah-ubah. s

Selain itu, adanya mind set atau pemikiran dari kalangan masyarakat memunculkan berbagai teori-teori dengan argumentasinya. Dapat dikatakan manusia adalah makhluk sosial dan memiliki berbagai macam watak, maka sudah sewajarnya bermuculan berbagai pandangan dari berbagai sumber informasi.

Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuam dan misi utama peradaban manusia umtuk mrncapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan membangun keluarga yang berkualitas.

DAFTAR RUJUKAN

Herien Puspitawati. (2012). Konsep, Teori dan Analisis Gender. Bogor.

Raihan Putry. (2016). Manifestasi Kesetaraan Gender Di Perguruan Tinggi. Edukasi. Vol 2 No 2. Juli.

Herien Puspitawati. (2012). Gender dan Keluarga : Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor.

Rilla Sovitriana. (2020). Kajian Gender dalam Tinjauan Psikologi. Jawa Timur.

Gadis Arivia. (2015). Instrumen Gender Internasial. Perempuan. Vol 20 No 2. Mei.

Gokma Nafita. (2018). Identitas dan Peran Gender pada Anak Usia 3-7 Tahun dalam Keluarga Komuter.vol 6 No 1. Juli.

Anggia Kargenti. (2013). Studi Fenomenologi dalam Perspektif Gender dan Kesehatan Mental. Sosial Budaya. Vol 10 No 01. Januari-Juni.

Warni Tune Sumar. (2015). Implementasi Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan. Musawa. Vol 7 No 1. Juni.

Muhammad Nur Taufiq. (2017). Pembangunan Berbasis Gender Mainstreaming. Paradigma. Vol 05 No 03.

Asriana Harahap. (2019). Gender Typing. Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman. Vol 1 No 2. Januari-Juni.

Qoiz Azizah. (2019). Pendidikan Berbasis Gender dalam Islam”, JGSA. Vol 01 No 01. Januari- Juli.

Imam Machali. (2005). Bias Gender Dalam Pendidikan Bahasa Arab. Al-arabiyah. Januari. Vol 1 No 2.

Ratih Probosiwi. (2015) Perempuan dan Perannya dalam pembangunan kesejahteraan Sosial. Natarpraja. Vol 3 No 1. Mei.

Triyani Pujiastuti. (2014). Peran Orang Tua dalam Pembentukan Identitas Gender Anak. Syi’ar. Vol 14 No 1. Februari.

Fatmariza. (2003). Kesetaraan Gender : Langkah Menuju Demokratisasi Nagari. Vol 2 No 1. Demokrasi.

Zainal Abidin. (2015). Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuan dalam Pendidikan Islam. Tarbawiyah. Vol 12 No 01. Januari-Juli.

Nur Hasan. (2012). Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis Terhadap Penulis Perempuan Bali. Psikologi. Vol 13 no 2. Oktober.

Nur Aisyah. (2013). Relasi Gender dalam Instusi Keluarga. Muzawa. Vol 5 no 2. Desember.

Aang Kunaepi. (2011). Membangun Pendidikan Tanpa Kekerasan Melalui Internalisasi PAI dan Budaya Religius. Pendidikan Islam.

Ana Sabhana dan Fini Pertiwi. (2020). Implementasi Kebijakan Pengarustamaan Gender Dibidang Pendidikan Di Kota Bogor. Perempuan Agama Gender. Vol 19 No 2. Marwah.

Siti Ruhaini. (2012). Kesetaraan Gender : Kontestasi Rezim Internasional dan Nilai Lokal. Muzawa. Vol 11 No 2. Juli.

Rahayu Sulistyowati dkk. (2018). Pendidikan Tanpa Kekerasan Dalam Perspektif Kebijakan Publik. Lampung.

Ramtia Darma Putri. (2019). Budaya Adil Gender pada Pendidikan Anak Usia Dini Melalui Bermain Peran. Wahana Konseling. Maret.

[1] Raihan Putry, “Manifestasi Kesetaraan Gender Di Perguruan Tinggi”, Edukasi, 2 (Juli, 2016) 166.

[2] Ibid, 168.

[3] Ibid, 169.

[4] Marzuki, “Kajian Awal Tentang Teori-Teori Gender”, Civicis, 2 (Desember, 2007) 73.

[5] Ibid, 73.

[6] Ibid, 74.

[7] Herien Puspitawati, Gender dan Keluarga : Konsep dan Realita di Indonesia, (Bogor: IPB Pres, 2012) 15.

[8] Rilla Sovitriana, Kajian Gender dalam Tinjauan Psikologi, (Jawa Timur : Uwais Inspirasi Indonesia, 2020) 15-19.

[9] Gadis Arivia, “Instrumen Gender Internasial”, Perempuan, 2 (Mei, 2015) 140.

[10] Gokma Nafita, “Identitas dan Peran Gender pada Anak Usia 3-7 Tahun dalam Keluarga Komuter”, Care, 1 (Juli, 2018) 2.

[11] Ibid, 3.

[12] Ramtia Darma Putri, “Budaya Adil Gender pada Pendidikan Anak Usia Dini Melalui Bermain Peran”, Wahana Konseling, 2 (Maret, 2019) 56-57.

[13] Ana Sabhana dan Fini Pertiwi, “Implementasi Kebijakan Pengarustamaan Gender Dibidang Pendidikan Di Kota Bogor”, Perempuan Agama Gender, 2 (2020) 163.

[14] Siti Ruhaini, ”Kesetaraan Gender : Kontestasi Rezim Internasional dan Nilai Lokal”, Muzawa, 2 (Juli, 2012) 145.

[15] Rahayu Sulistyowati dkk, Pendidikan Tanpa Kekerasan Dalam Perspektif Kebijakan Publik, (Lampung : AURA 2018) 8.

[16] Aang Kunaepi, “Membangun Pendidikan Tanpa Kekerasan Melalui Internalisasi PAI dan Budaya Religius”, Pendidikan Islam, 4 (2011) 7.

[17] Nur Aisyah, “Relasi Gender dalam Instusi Keluarga”, Muzawa, 2 (Desember, 2013) 205.

[18] Nur Aisyah, “Relasi Gender dalam Instusi Keluarga”, Muzawa, 2 (Desember, 2013) 206.

[19] Zainal Abidin, “Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuan dalam Pendidikan Islam”, Tarbawiyah, 1 (Januari-Juli, 2015) 14.

[20]Nur Hasan, “Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis Terhadap Penulis Perempuan Bali”, Psikologi, 2 (Oktober, 2012) 153.

[21] Fatmariza, “Kesetaraan Gender : Langkah Menuju Demokratisasi Nagari”, Demokrasi, 2 (2003) 30.

[22] Imam Machali, “Bias Gender Dalam Pendidikan Bahasa Arab”, Al-arabiyah, 2 (Januari 2005) 53.

[23]Ratih Probosiwi, “Perempuan dan Perannya dalam pembangunan kesejahteraan Sosial”, Natarpraja ,1 (Mei, 2015) 46.

[24] Triyani Pujiastuti, “Peran Orang Tua dalam Pembentukan Identitas Gender Anak”, Syi’ar, 1 (Februari, 2014) 56-57.

[25] Muhammad Nur Taufiq, “Pembangunan Berbasis Gender Mainstreaming”, Paradigma, 3 (2017) 5.

[26] Asriana Harahap, “Gender Typing”, Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman”, 2 (Januari-Juni, 2019) 8.

[27] Qoiz Azizah,” Pendidikan Berbasis Gender dalam Islam”, JGSA,01 (Januari- Juli, 2019) 28.

[28] Anggia Kargenti, “Studi Fenomenologi dalam Perspektif Gender dan Kesehatan Mental”, Sosial Budaya, 01 (Januari-Juni, 2013) 31.

[29] Warni Tune Sumar, “Implementasi Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan”, Musawa, 1 (Juni, 2015) 163.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi

14 Feb
Balas

Alhamdulillah, terimakasih bapak salam literasi

14 Feb
Balas



search

New Post