Maskurdi

Maskurdi lahir di Kampung Nelayan Paseser Jumiang Desa Tanjung Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan pada 1972. Menempuh pendidikan formal secara nurmal. Seles...

Selengkapnya
Navigasi Web
UANG HANTU

UANG HANTU

Oleh: Maskurdi

Hari itu Richard duduk santai dibawah pohon nangka di samping rumahnya. Dengan bersila di atas lèncak, sesekali dia bersiul sambil mendongakkan kepalanya. Sebuah sangkar burung tergantung pada ranting kecil pohon nangka di atas kepalanya. Jari tengah dan jempolnya terlihat apètha’ menimbulkan bunyi memanggil-manggil burung agar mengikuti siulnya. Rupanya ia sedang bersenang-senang dengan peliharaan barunya. Biasanya kegiatan seperti ini selalu dilakoni Richard bersama sohibnya, Braiden. Namun kali ini dia kelihatan sedang sendirian.

“Selamat pagi, brother”, suara Braiden dari balik batang nangka sedikit mengagetkan si Richard.

“Selamat pagi”, jawab Richard. Ahirnya datang juga ini mangsa, katanya dalam hati.

“Kau bilang mau jual burung hantu, mana burungnya?”.

“itu”. Tangan Richard menunjuk pada sangkar yang tergantung di ranting pohon nangka sedari tadi.

Braiden mengamati sangkar tersebut. Ditelitinya dengan seksama. Dia berputar mengelilingi sangkar itu dari bawah. Sesekali diusap matanya.

“Mana burungnya?”, Tanya dia memastikan.

“Itu di dalam”, Jawab Richard. “Perhatikanlah betul-betul!”

Kembali Braiden mengucek-ngucek matanya, “Ah, tetap tak ada. Kau jangan tipu aku, kawan”.

Pelan tapi pasti Richard bangkit dari lèncak itu dan berkata meyakinkan sekali, “Yang akan aku jual itu burung hantu, kawan. Kata orang, kalau kita sudah tak nampak pada burung hantu, itu pertanda umur kita sudah dekat”.

Braiden kelihatan bergidik, “Siapa bilang aku tak nampak. Aku Cuma pura-pura saja dari tadi”. Lalu dia memetakkan jari tengah dan jempolnya sambil bersiul.

Richard tersenyum dari balik badan Braiden.

“Berapa akan kau jual burung hantu ini?”, tanya Braiden.

“Ah, kalau untukmu aku kasih seratus lima puluh ribu saja”.

“Oke, Aku ambil. Aku bayar pakai uang dua ratus ribu, ya”, Braiden menyodorkan tangannya kehadapan Richard. Richard keheranan.

“Mana uangnya. Jangan bercanda kau kawan!”.

“Yang aku beli adalah burung hantu. Makanya aku bayar pakai uang hantu. Kata orang, kalau kita sudah tak nampak pada uang, itu pertanda umur kita sudah dekat”.

Giliran Richard yang bergidik, “Siapa bilang aku tak nampak uang ini. Aku Cuma berpura-pura saja. Aku ambil uangmu ya!”, Lalu Richard menggenggam tangan Braiden.

“Bagus. Kau sudah ambil uang dua ratus ribu itu. Sekarang beri aku kembaliannya. Lima puluh ribu”.

Dengan berat hati, Richard memberikan uang lima puluh ribu. Braiden pulang sambil bersiul dengan sangkar burung hantu dan lima puluh ribuan ditangannya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen pentigrafnya, Pak. Salam literasi

06 Nov
Balas

Kereen ceritanya

06 Nov
Balas

Makasih ibu Murini. Salam literasi

09 Nov

Keren pak Maskurdi

06 Nov
Balas



search

New Post