Marheni Pandu Pratiwi

Guru SD Wergu KUlon 1 Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. Suka juga menulis tapi sering tidak tahu harus menulis apa...tahu-tahu jadi aja......

Selengkapnya
Navigasi Web

Terima Kasih, Diska

Melepas semua pekerjaan, semalam saya menginap di rumah adik bungsu, setelah sebelumhya sebuah vote note saya terima. Ternyata itu suara keponakan saya. Tidak jelas bicara apa, tapi yang saya tangkap jelas adalah Ma Heng Etim. Es krim ? Setelah saya tanyakan kepada adik saya, benar. Si Kecilnya minta es krim. Ini harus saya penuhi. Sebuah cup besar es krim, saya bawa ke desa, rumah adik bungsu saya. Agak jauh dari rumah saya. Tapi masih di Kudus juga

Begitu pintu rumahnya dibuka, melihat saya berdiri dengan sebuah etim di tangan, melompat kegirangan keponakan saya. Rasya namanya. Dia berteriak-teriak gembira, tertawa, bertepuk tangan sambil terus mengucapkan etimmm…etimmm…Ma Heng…Ma Heng. Anak-anak adik saya memang memanggil saya dengan panggilan Ma Heng. Mama Heni begitu maksudnya.

Rasya berlari mendekat, dipegangnya jari telunjuk saya, digandeng duduk di lantai depan tv. Tepuk tangannya tanda girang tidak berhenti. Saya duduk didepannya menatap matanya memberikan isyarat, duduk yang manis, buka tutup cupnya, baru makan etimnya. Dia mengangguk girang tanda mengerti, sambil tepuk tangan di depan dada. Setelah es krim saya buka, serta merta tangannya masuk hendak meraup es krim di dalam cup. Buru-buru saya tangkap tangannya. Ibunya datang dengan sendok di tangan. Senyumnya mengembang, dan dengan suara sabar penuh kelembutan, dia dongakkan wajah Rasya dan berkata, “ Adik, makan es krimnya pakai sendok, ya. Jangan lupa ber-do-a…ya…”. Kedua tangan adik saya menengadah mengisyaratkan sedang berdoa. Rasya mengerti. Diambilnya sendok dari tangan ibunya, diletakkan disampingnya, dan tangannya menengadah, mengucapkan doa. Meskipun tidak jelas dan terbata-bata, tapi bagi Rasya, dia berdoa.

Bagi sebagian besar dari kita, tuturan saya di atas, bukan hal yang istimewa. Anak-anak memang begitu. Tapi akan menjadi tidak biasa, jika kita tahu bahwa Rasya adalah anak berkebutuhan khusus penyandang autis. Usianya 4 tahun. Kekhususan itu membuatnya mengalami gangguan berkomunikasi dan sosialisasi. Dimana kita berkumpul, dia selalu menyendiri. Jika kita mencarinya bisa jadi dia sedang berada di pojokan kamar, atau disamping lemari atau dimana saja yang pasti sendiri. Kadang dengan membawa selembar kertas atau apa saja yang pada saat itu membuatnya tertarik. Dia akan berteriak gusar, menangis dan melempar apa saja yang didekatnya, kalau keinginannya tidak dipenuhi, karena kita tidak tahu apa yang dia inginkan. Anak autis sulit membagi perhatian. Dia hanya fokus pada benda yang ketika itu menarik perhatiannya. Teriakan adalah satu-satunya tanda bahwa dia menginginkan sesuatu.

Begitupun Rasya. Sejak kecil dia sudah menunjukkan tanda-tanda yang sama dengan kedua kakaknya. Ya, adik bungsu saya memiliki tiga anak. Ketiganya berkebutuhan khusus ADHD, Attention Deficit Hyperactive Disorder, tunalaras autistik. Yaitu ketidakmampuan memusatkan perhatian, sehingga perhatiannya selalu beralih yang disertai hiperaktif, tidak mau diam. Bahkan terkadang berpotensi membahayakan diri sendiri juga orang lain. Di negara kita, kelompok ini sering disebut anak-anak nakal atau tunalaras. Menurut saya itu kurang bijaksana. Mereka tidak nakal. Mereka hanya membutuhkan perhatian lebih, terutama dari orang-orang terdekatnya.

Itulah mengapa saya rela menyudahi semua pekerjaan saya, ketika keponakan saya meminta etim melalui vote note tak jelasnya. Karena bisa mengucapkan etim saja, itu sudah luar biasa bagi Rasya. Apalagi memiliki keinginan meminta dan mau mengucapkannya sebagai sebuah pesan.

Semalam di rumah adik bungsu saya, membuat saya merasa bukan apa-apa. Bagaimana tidak ? Anak sulungnya yang juga autis, sekarang sudah lulus SD, dan diterima di sebuah pondok boarding di Kudus. Bagus namanya. Dia bersekolah di SD negeri sebagaimana anak lainnya, dan bukan sekolah dengan pola segregasi ataupun inklusi. Anak yang semula berkebutuhan khusus itu, tumbuh menjadi anak normal, pandai, meskipun cenderung pendiam. Kalau kita masuk ke kamarnya, kita akan melihat setumpuk buku tulis di meja belajarnya, dalam wadah yang dia beri judul Buku Harianku, Rahasia, Tidak Boleh Dibuka ! Masing-masing buku ia beri kode tulisan Super Hero 1, Super Hero 2 dan seterusnya. Sempat saya ulik sedikit tumpukan buku itu. Lebih dari sepuluh buku sepertinya. Tapi saya tidak membukanya, menghormati Bagus, sebagaimana judul yang telah dia tuliskan.

Adiknya Bagus, Syifa namanya. Kemarin naik ke kelas tiga dengan nilai rata-rata Sembilan. Gadis kecil dengan rambut sebahu ini, waktu seusia Rasya, lebih hebat autisnya dibanding kedua kakak dan adiknya. Syifa tidak cenderung hiperaktif. Semula dianggap tunarungu, karena tidak pernah memberikan respon apapun ketika diajak bicara. Perhatiannya hanya terpusat pada apa yang menarik perhatiannya. Sayangnya, yang menarik perhatiannya hanya pisau dapur dan kompor gas ibunya. Jadi setiap hari dia berkutat di dapur sambil mencabik-cabik setiap bumbu dapur yang berhasil dia dapatkan. Itulah mengapa, dapur rumah adik saya sangat rapid dan semua ada di tempat yang aman tertutup. Hanya disediakn peralatan masak tembikar kecil-kecil untuk mengalihkan perhatian Syifa dari peralatan dapur yang membahayakannya.

Syifa hampir tidak pernah bicara. Saya sering berteriak didekat telinganya ketika mengajak Syifa bicara. Sengaja, untuk mengetahui mendengar atau tidakkah Syifa, terhadap teriakan saya. Dan, menoleh sedikitpun, tidak. Bagaimana kalau Syifa menginginkan sesuatu ? Tanpa suara, dia hanya melelehkan air mata, sambil memukul-mukul kepalanya atau menjambaki rambutnya. Sangat jauh berbeda dengan Syifa yang sekarang. Periang, ceriwis dan pandai mengungkapkan perasaannya.

Tidak jauh berbeda dengan kakaknya, Syifa juga bersekolah di SD Negeri pada umumnya. Syifa yang hampir-hampir tidak pernah bicara ketika kecil itu, sekarang pandai bernyanyi dan mengaji. Ketika saya datang membawa estim, saya tidak melihat Syifa dan Bagus ikut menyambut saya. Ternyata, Bagus sedang mengaji di TPQ, dan Syifa sholat dengan duduk di kursi. Rupanya Syifa habis jatuh, dan lututnya luka sehingga tidak bisa untuk rukuk apalagi sujud. “Biar bonyok harus tetap sholat, Ma Heng “, kata Syifa sambil berjalan terpincang-pincang mendekat, dan mencium punggung tangan saya. Hebat Syifa.

Semalam menginap di rumah adik saya, memberikan banyak pelajaran yang tidak pernah saya dapatkan dari sekolah manapun. Diteorikan pasti mudah dibacanya. Namun dilaksanakan membutuhkan energi yang luar biasa. Ikhlas dan doa, itu adalah energi yang melandasi adik saya, sehingga mampu menjadikan anak-anak autisnya seperti sekarang ini. Di wajahnya yang selalu tersenyum itu, tidak nampak jejak sulitnya mengasuh tiga anak yang berkebutuhan khusus pada awal pertumbuhannya itu. Luar biasa. Dia bukan seorang sarjana. Hanya seorang perempuan biasa. Ibu rumah tangga. Dulu pernah bekerja. Tapi semenjak mengetahui bahwa Bagus berkebutuhan khusus, dia rela melepas pekerjaannya. Ikhlas menjadi ibu, teman dan sahabat bagi anak-anaknya sampai sekarang.

“Jangan pernah melepas senyum dari bibir, meskipun anak kita nakal. Tetaplah selalu memahami apa kebutuhan jiwa anak-anak kita, Mbak “. Begitu semalam Dia mengungkapkan salah satu jurusnya. “ Jangan hanya mengenali anak kita dari namanya saja. Karena kenal dengan anak itu harus sejak dalam kandungan. Ketika anak lahir dan tumbuh, kenali dia sampai ke dalam hati dan jiwanya. Tatap matanya, maka kita akan tahu, seberapa banyak kebutuhan anak-anak kita. Jika kebutuhannya sudah menjurus kearah khsusus, jangan sesali. Terima saja, dan akui keberadaannya. Segera jadilah sahabat bagi mereka. Berjuang dengan keras. Agar disetiap pertumbuhannya, menjadi perkembangan yang menggembirakan. Itu adalah tanda, bahwa Tuhan mempercayai kita sebagai ibunya. Itu hadiah istimewa dari Tuhan, Mbak. Karena Tuhan akan selalu memperhatikan kita, memberi apa yang kita minta “. Mendengar tuturan Diska , begitu panggilan akrab adik saya, tidak ada satu katapun yang bisa saya gunakan untuk menyangkalnya.

Sambil melanjutkan setrikaannya, Diska melanjutkan kalimatnya, “ Ajaklah anak-anak kita bicara sejak kecil, Mbak. Jadi kita tahu, bisa dengarkah anak kita ? Bisa bicarakah anak kita ? Kalau bisa, maka kita juga akan tahu, hidupkah hatinya ? jadilah teman baik bagi anak-anak kita. Karena ibu adalah guru yang sempurna bagi anak-anaknya. Karena ibu mampu, bukan hanya mengajar tapi juga mendidik. Buku ibu ada di dalam jiwanya. Memiliki anak-anak sempurna, adalah sebuah kebahagiaan. Tapi memiliki anak-anak seperti Bagus, Syifa dan Rasya, adalah rasa syukur tanpa ada habisnya. Kebahagiaan yang luar biasa “.

Percakapan kami terhenti, karena terdengar teriakan Rasya dari depan tv yang mengagetkan kami. Rupanya Rasya melihat kartun kesukaannya, Upin Ipin. Dia bertepuk tangan sangat girang dan berteriak lantang. Diska beranjak dan menjunjung Rasya menjauh dari tv. Didudukkannya di kursi. Rasya melompat lagi. Menari-nari. Diska ikut bertepuk tangan dan tertawa bersama Rasya sambil menggiring Rasya untuk duduk di kursi, menjauh dari televisi. Sambil ikut bergembira bersama Rasya, Diska memegang tangan Rasya dan menggandengnya duduk di kursi. Mereka berdua menikmati Upin Ipin dengan gembira. Rasya bertepuk tangan. Diska mengikutinya. Diajaknya Rasya mengikuti ucapan-ucapan Upin Ipin. Tanpa sadar Rasya mengikuti dan menirukannya. Diska pun mencium pipi Rasya, dan mengacungkan jempolnya. Dihadapkannya kepala Rasya kearahnya, Diska menatap lembut mata Rasya, sambil mengeja kata ba-gus, pin-tar dalam suku kata. Rasya ikut memberikan jempolnya dan berteriak baa duss. Mereka tepuk tangan bersama.

Begitu rupanya cara adik bungsu saya, membawa anak-anaknya keluar dari dunia autisnya. Menjadi teman dan sahabat dari anak-anaknya. Selalu mengajak bicara, menatap matanya, dan mendengarkan setiap apa yang diucapkan oleh anak-anaknya. Luar biasa.

Bagaimana dengan saya ? Ibu yang juga guru. Anak-anak saya bukan seperti Bagus, Syifa dan Rasya. Tapi tantangan seperti yang dihadapi Diska, bisa jadi akan saya hadapi di kelas suatu ketika.

Tidak semua orang tua menyadari keberadaan dan kebutuhan anak-anaknya. Bisa jadi, kita juga tidak mengenali anak-anak kita sejak kecil. Sehingga membuat kita terlambat memperbaiki hal-hal penting yang semestinya tidak terjadi.

Mungkin tulisan ini terlalu panjang untuk dibaca. Namun tolong kita beranikan diri bertanya kepada hati kita terdalam, sebelum menyudahi membaca tulisan ini. Sudah jadi sahabatkah kita, bagi anak-anak kita ? Kita selalu minta didengarkan, kapan terakhir kita mendengarkan anak-anak kita ? Mampukah kita seperti Diska ? Kenal dengan anak-anak kita. Menerima apapun keberadaannya.

Saya jadi rindu dengan murid-murid saya. Saya selalu mengatakan kepada mereka, “Coba dengarkan ibu dulu…ayo semuanya diam !”. Menurut saya, betapa superiornya saya. Saya jadi malu. Berharap liburan segera berlalu. Bertemu dengan sahabat-sahabat kecil di kelas, mendengarkan mereka. Selalu tersenyum untuk mereka.

Semoga begitu juga dengan Anda.

Terima kasih, Diska.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa. Cerpen yg bikin air mata ini meleleh

11 Jul
Balas

Makasih, Leck...maaf masih banyak tipo ya. Saya akan lebih teliti lagi

12 Jul
Balas



search

New Post