MARDETI

GURUKU SANG MOTIVATOR Karya : Mardeti Guruku yang selalu menginspirasiku dalam segala hal Beliau terkenal sebagai guru yang tidak banyak bicara Akan tetapi ...

Selengkapnya
Navigasi Web

PENDIDIKAN ISLAM MASA DEPAN

PENDIDIKAN ISLAM MASA DEPAN

Pada hakikatnya, mayoritas umat Islam Indonesia meyakini bahwa inti ajaran Islam adalah “mengajarkan perdamaian” sesuai dengan makna kata dasar Islam (salima atau salam) yang berarti tunduk, patuh, selamat, sejahtera, dan damai. Akar kata Islam yang berarti damai itu diperkuat ayat Alquran dalam surat Al-anbiya :21

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS.21:107).

Keyakinan mayoritas umat Islam Indonesia itu dibuktikan oleh kesediaannya untuk hidup berdampingan secara damai dengan para penganut agama lain. Keyakinan dan kesediaan mayoritas umat Islam Indonesia untuk hidup secara damai juga merupakan cerminan dari kepercayaannya bahwa inti dari semua agama tidak ada yang mengajarkan apalagi mendorong tindak kekerasan. Semua agama memuat ajaran-ajaran luhur tentang perdamaian, rahmat dan cinta kasih. Pada setiap agama selalu ditemukan esensi dan semangat luhur mengenai kebersamaan, hidup berdampingan secara aman dan damai, serta saling hormat-menghormati dan tolong-menolong.

Tetapi, pada level praktis, perjalanan sejarah umat beragama, termasuk umat beragama di Indonesia, seringkali menunjukkan hal yang sebaliknya. Konflik, pertentangan dan perang antarumat beragama sering terjadi ketika agama-agama mengalami perjumpaan satu sama lain. Sejarah kekerasan dan perang berbasis agama yang terjadi di berbagai belahan bumi dapat dijadikan bukti, bahwa inti dan esensi keberagamaan yang memihak pada perdamaian, rahmat dan cinta kasih tidak selalu membumi pada wilayah historis-empiris. Inti, esensi dan semangat keberagamaan yang sarat dengan perdamaian, cinta kasih, dan rahmat yang sering diklaim secara universal oleh para pendiri dan tokoh agama-agama adalah sesuatu hal, sementara konflik, kekerasan dan peperangan seolah-olah menjadi hal lain.

Konflik antarumat beragama pun tidak hanya terjadi di kalangan awwam, melainkan juga sering terinspirasi oleh gagasan, ajakan, bahkan hasutan para pemimpinnya. Tidak sedikit pemimpin keagamaan yang secara ekslusif mengklaim keyakinan dan agama dirinyalah yang paling benar (truth claim), sementara keyakinan dan agama lain dipandang sebagai keliru, salah, bid’ah dan oleh karenanya menjadi tugas suci dan mulia untuk memeranginya, dan bila perlu dengan mengangkat senjata. Klaim kebenaran (truth claim) terhadap keyakinan dan agamanya sendiri tersebut, tidak akan menjadi problem sosial serius apabila sebatas pada "keyakinan" dan tidak menimbulkan sikap dan perilaku agresif yang dapat melahirkan konflik, pertentangan dan peperangan. Karena memang klaim kebenaran atas kepercayaan dan agamanya sendiri menjadi hak dan kewajiban para penganut suatu agama, dan inilah sesungguhnya yang menjadi salah satu makna dari keberagamaan seseorang. Keragu-raguan terhadap agama dan kepercayaan sendiri pada akhirnya hanya akan mengaburkan, kalau tidak mereduksi makna kehadiran agama bagi umat manusia.

Pendeknya, klaim kebenaran mutlak diperlukan agar kehadiran agama memiliki makna, asal klaim tersebut tidak disertai sikap dan perilaku agresif-destruktif terhadap penganut agama lain. Konsep agree in disagreemnet atau setuju dalam perbedaan, tampaknya dapat dijadikan pilihan untuk mengatasi problem truth claim di atas. Orang percaya bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang benar dan paling baik; dan ia menyadari bahwa di antara agama yang satu dengan agama yang lainnya, kepercayaan yang satu dengan kepercayaan yang lain, selain terdapat perbedaan juga memiliki persamaan.

Dengan keyakinan yang demikian, para penganut agama akan memiliki gairah untuk berusaha supaya tingkah laku kesehariannya sesuai dengan keyakinannya, yang merupakan dorongan dari agama yang dipeluknya. Tetapi, ia juga menyadari bahwa di samping perbedaan-perebedaan yang terdapat dalam setiap agama, terdapat pula persamaan-persamaan di antara satu agama dengan agama yang lain.

Dalam konteks umat Islam di Indonesia, meskipun arus utama dan mayoritas bersikap dan berperilaku moderat, tetapi akhir-akhir ini terdapat kecenderungan menguatnya sikap dan perilaku radikal dan ekstrem pada sebagian kecil umat Islam Indonesia. Lahirnya berbagai komunitas dan kelompok keagamaan yang mengusung tema-tema tentang jihad, khilafah, formalisasi hukum Islam, yang seringkali disertai dengan tindakan-tindakan anarkis dan intoleransi terhadap mereka yang dipandang sempalan; kesemuanya merupakan bukti bahwa gejala radikalisme dan ektremisme telah begitu nyata.

Menghadapi isu dan gejala radikalisasi kehidupan keagamaan itulah, maka sejumlah pakar dan praktisi pendidikan Islam Indonesia kembali menyerukan akan pentingnya upaya melakukan reorientasi kurikulum dan kelembagaan pendidikan Islam Indonesia, dengan harapan lembaga pendidikan Islam mampu berperan dalam menginternalisasi ajaran Islam tentang perdamaian, toleransi, dan cinta kasih.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow, luar biasa bahasannya Buk Mardeti. Lanjutkan ... Salam literasi

13 May
Balas



search

New Post