M. Amirusi

M. AMIRUSI dilahirkan di desa pesisir, yakni Desa Tambaan Kec. Camplong Kab. Sampang pada 1 Juni 1978. Pendidikan dasar s.d. menengah ditempuh di kota kelahiran...

Selengkapnya
Navigasi Web
LOPES, MAKANAN KHAS “TELLASAN TOPA’”, SI PENYAMBUNG TALI SILATURRAHMI ANTAR WARGA (Edisi Local Wisdom di Desa Tambaan, Kec. Camplong, Kab. Sampang, Madura Ketika Lebaran Ketupat)

LOPES, MAKANAN KHAS “TELLASAN TOPA’”, SI PENYAMBUNG TALI SILATURRAHMI ANTAR WARGA (Edisi Local Wisdom di Desa Tambaan, Kec. Camplong, Kab. Sampang, Madura Ketika Lebaran Ketupat)

LOPES, MAKANAN KHAS “TELLASAN TOPA’”, SI PENYAMBUNG TALI SILATURRAHMI ANTAR WARGA

(Edisi Local Wisdom di Desa Tambaan, Kec. Camplong, Kab. Sampang, Madura Ketika Lebaran Ketupat)

Oleh: M. Amirusi

INI LOPESku! MANA LOPESmu?

Gita' e koca' a tellas mon ta' a massa' LOPES

Mon karo a massa' TOPA' la biasah e Madhureh

(Ca'-oca'an Oreng Camplong mon Tellasan Petto'/Tellasan Topa')

Ahad, 7 Syawal 1438 H yang bertepatan dengan 2 Juli 2017 M merupakan Hari Raya Ketupat jika di Madura. Bagaimanakah dengan daerah lain di Nusantara ini? Hari raya ini sejatinya merupakan hari ke-7 (ketujuh) di bulan Syawal yang dihitung sejak 1 Syawal. Hari raya ini begitu istimewa di Madura dan tidak kalah istimewanya dengan Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya (Lebaran) Ketupat ini yang lebih dikenal dengan istilah “Tellasan Topa’” (Bahasa Madura, Red.). Jadi, jika diuraikan bahwa istilah “Hari Raya” atau “Lebaran” dalam Bahasa Madura disebut “Tellasan”, sedangkan “Ketupat“ disebut dengan istilah “Topa’”.

Adapun nama lain yang tidak kalah keren adalah “Tellasan Petto’” dalam Bahasa Indonesia mungkin lebih pas disebut “Hari Raya Ke-7”. Hal ini karena memang hari raya ini diperingati pada hari ke-7 (tujuh) setelah “Tellasan Agung’” (Tellasan IDUL FITRI/Hari Raya IDUL FITRI). Oh ya, di Madura bahwa HARI RAYA IDUL FITRI juga dikenal dengan sebutan “Tellasan Agung”.

Pada Lebaran Ketupat (Tellasan Topa”/Tellasan Petto”) ini, sebagian besar orang Madura sudah barang tentu membuat Ketupat (Topa’) di setiap rumah. Baik yang ada di Madura termasuk Madura Pedalungan (Daerah di mana bertempat begitu banyak masyarakat atau keturunan Madura di luar Madura, umumnya masih daerah Tapal Kuda) ataupun yang ada di rantau (di luar daerah tapal kuda, misalnya Surabaya, Malang, Jakarta, Yogyakarta, dan di daerah lainnya di seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia). Daerah Tapal Kuda ini meliputi Madura (Pulau Madura dan pulau kecil-kecil lainnya), Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, dan Bondowoso).

Dinamakan Daerah Tapal Kuda, karena daerah-daerah seperti Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, dan Bondowoso jika dibuat gambar terlihat seperti “Tapal Kuda” atau berbentuk huruf “U”. Pada daerah inilah Suku Bangsa Madura paling banyak berdomisili. Mohon koreksi jika kurang pas tentang daerah Tapal Kuda.

Ketupat yang dibuat nantinya bisa menjadi bahan pengganti lontong untuk Soto, Rujak, Soto-Rujak, Kaldu, Kalsot (Kaldu-Soto), Rujak Campur, Gado-gado, Pak Tahu, Lontong Mie, Ketoprak, atau pun menu lainnya sesuai selera dan kebiasaan di berbagai daerah di Madura dan Madura Pedalungan. Di samping itu untuk ketupat yang ukuran kecil (dibuat khusus dengan ukuran kecil) terkadang dijadikan hiasan dan ditempelkan ke perahu atau kapal (Daerah Camplong Sampang), sepeda, mobil, dan lain-lain. Ada juga dikalungkan ke anak kecil atau balita (bervariasi pada setiap daerah) bahkan pada kambing, sapi, ayam, atau binatang peliharaan lainnya. Berbagai menu lainnya sebagai menu ikutan dari Lebaran Ketupat atau “Tellsaan Topa’” tentunya juga berbeda di berbagai daerah di Madura.

Ketupat (Topa’, Madura, Red.) atau Kupat (Jawa. Red.) yang sebagian besar dibuat dan menjadi bahan utama berbagai jenis makanan olahan ketika TELLASAN TOPA’ ini, ternyata mengandung makna filosofi yang cukup dalam. Madura yang secara teritorial masuk wilayah Jawa Timur dan Jawa pada umumnya, sehingga pengaruh budaya Jawa tetap ada di Madura, termasuk sejak jaman “Wali Songo”.

Ketupat (Topa’ atau Kupat) pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga (salah satu anggota Wali Songo) penyebar agama Islam di Pulau Jawa (termasuk Madura). Beliau memperkenalkan dua kali Bakda, yaitu; 1)) Bakda Lebaran (tellasan) atau hari raya IDUL FITRI; dan 2) Bakda Kupat (Tellasan Topa’/Ketupat), yakni setelah selesai melakukan puasa Sunnah Syawal seminggu setelah lebaran (IDUL FITRI).

TOPA’/KUPAT: ngaKU lePAT (mengaku bersalah)

Bahan Ketupat, JANUR: berasal dari bahas Arab “Ja’a Nur” yang artinya “telah datang cahaya”

Isi Ketupat, BERAS: menggambarkan isi yang putih bersih

Anyaman JANUR: Kompleksitas masyarakat yang harus direkatkan dengan tali SILATURRAHIM

Bentuk KETUPAT: Segi Empat seperti hati manusia.

Ketupat melambangkan hati manusia (segiempat), saat orang mengakui kesalahannya, hatinya seperti kupat/topa’ (ketupat) yang dibelah. Bersih, tanpa dengki. Kenapa? Karena hatinya telah dibungkus cahaya (Ja’a Nur), yang akhirnya ketupat itu terbuat dari Janur (daun muda pohon kelapa).

Pada hari ini, yakni TELLASAN TOPA’ atau TELLASAN PETTO’, Ahad, 7 Syawal 1438 H atau 2 Juli 2017 M, saya berusaha menyempatkan hadir ke kampung halaman (daerah/tanah kelahiran), yakni di Desa Tamba’an Kec. Camplong Kab. Sampang dalam acara “ONJENGAN SILATURAHMI ka Langgar/ka Masjid” (Undangan bersilaturahmi ke langgar atau ke Mesjid). Mungkin sudah sekitar 15 tahunan saya belum bisa hadir pada acara ini karena sudah Hijrah dan tinggal di kota. Sehingga jika pagi hari tidak cukup waktu untuk meluncur pulang kampung. Alhamdulillah, hari ini bisa hadir dan menyaksikan langsung seperti 15 tahun silam.

Mengapa saya mengganggap acara ini ISTIMEWA dan banyak hikmah yang bisa dipetik dalam acara ini? Apanya yang istimewa dengan makanan LOPES (Lupis) ini? Terus ikuti membaca tulisan ini yoookkk!!!!!!. Mohon maaf jika dalam tulisan ini lebih sering menggunakan istilah LOPES, yakni dalan Bahasa Madura. Sementara dalam Bahasa Indonesia mungkin untuk jenis kuliner seperti ini dinamakan LUPIS.

Pada pagi hari sekitar pukul 06.00 s.d. 07.00 WIB. Sebagian besar warga (kepala keluarga) akan menghadiri undangan (onjengan) ke langgar/surau/Musholla/Mesjid. Di kampung kami ada 2 langgar dan 1 mesjid yang sejak dulu mengundang warga untuk hadir pada acara itu. Biasanya ketiga tempat itu sudah berkoordinasi masalah waktu agar tidak bersamaan. Ya mungkin selisih 15 s.d. 30 menit. Hal ini mengingat ada sebagian warga yang juga diundang oleh langgar/Mesjid yang satunya. Jadi ada yang datang 2 bahkan 3 kali ke acara itu dengan tempat yang berbeda. Tetapi ada yang hanya satu kali. Begitupun para Ustad/Kyai (baca pengasuh pesantren/langgar/masjid) saling mengundang sehingga bisa hadir 3 kali secara estafet di 3 tempat itu.

Pada acara tersebut diawali dengan pembukaan dengan membaca Ummul Kitab (Suratul Fatihah), lalu berzikir, dan berdoa. Setelah selesai baru ramah tamah dengan mengeluarkan hidangan (Soto, Rawon, Ladeh, Gado-gado, dan lain-lain) bergantung kesiapan tuan rumah (Shohibul Hajah). Jadi, setiap tahunnya berbeda menunya. Setelah itu baru dikeluarkan LOPES sebagai makanan penutup (Tambeh Amis, Madura. Red.). Pada menu LOPES ini yang malah yang paling lama makannya, karena undangan bisa nambah (jika merasa kurang) di samping itu pula ada aneka bentuk Lopes dan warna gula (pemanis). Ada yang Hijau, Merah, Coklat, dan lainnya. Para undangan bisa mencicipi aneka bentuk lopes, segitiga atau yang gentong. Mereka bisa menikmati sesukanya dan sekuat perutnya untuk dimasuki LOPES. Pada akhir pesta LOPES, undangan mendapatkan ‘Berkat’ berupa Ketupat untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh ke rumah.

Sebelum pulang sudah tentu warga (hadirin) itu saling salam-salaman, saling maaf-maafan, saling mengucapkan Mohon Maaf Lahir dan Batin, Saling berkata Minal Aidzin Wal Faizin. Hal Ini menjadi ajang atau wadah berSILATURRAHIM, apalagi ketika datang ke rumah masing-masing belum kelar. Ajang Silah-Ukhuwah antar warga, antara warga dengan tokoh agama (Kyai) sebagai panutan dan yang dituakan secara keilmuan (Agama). Ajang bersilaturahmi antara wali santri dengan Ustad/Kyai/Guru Ngajinya.

Sedikit kembali ke PESTA MAKAN LOPES di atas. Mereka menikmati seolah-olah tidak ada lagi LOPES pada hari-hari berikutnya. Ya memang betul bahwa LOPES ini hanya ada ketika “Tellasan Topa’ atau Tellasan Petto’”. Di daerah kami ini makanan LOPES hanya baru ditemui secara massal (di setiap rumah) ketika lebaran ketupat (Tellasan Topa’). Pada hari-hari biasanya mungkin baru bisa kita dapati setelah membeli ke pasar tradisional. Pada Tellasan Topa’ semua rumah di kampung kami membuat “Lopes”.

Mengapa warga begitu antusias makan LOPES? Padahal sebenarnya di rumahnya juga ada. Hal ini mungkin untuk menikmati variasi LOPES. Jika di rumahnya baru bisa buat yang segitiga atau yang kerucut, maka di tempat ini bisa menikmati yang berbentuk/jenis Lopes gentong. Begitu pula aneka jenis gula, ada pilihan warna dan rasa.

Sebenarnya apa sih LOPES itu? LOPES atau Lupis tersebut dibuat dari beras ketan yang dibungkus dengan daun pisang dan direbus dalam jangka waktu yang agak lama. Umumnya ada 2 jenis bentuk Lupis ketika dibungkus daun pisang.

Pertama, berbentuk sepeti segitiga sama kaki tapi bervolume atau beruang seperti kerucut. Untuk pengikat bungkus pisang menggunakan “Jiteng”, yakni dari bahan bambu yang ditusukkan di bagian pinggir agar lembaran daun pisan kuat membungkus ketan.

Kedua, berbentuk seperti tabung atau tong, sehingga lazim disebut dengan “Lopes Gentong”. Bungkus beras ketan yang menggunakan daun pisang diikat dengan tali rafia yang jika di Madura disebut “Rambut Jepang” secara melingkar mengelilingi bagian lupis dari bagian ujung kiri sampai ke ujung kanan (atas-bawah).

Untuk penyajian lupis itu, umumnya juga ada dua. Untuk Lupis yang berbentuk segitiga, tinggal buka bungkus (daun pisangnya) lalu ditaburi parutan nyior (kelapa) dan diluberi cairan gula pasir (cairan gula hasil rebusan dengan warna sesuai keinginan, umumnya merah). Ada juga yang menggunakan Gula Jawa (dalam Bahasa Madura disebut Guleh Cobbuk). Sedangkan Lupis (Lopes) yang berbentuk Tabung (Lopes Gentong) maka terlebih dahulu dipotong-potong kira-kira setebal 0,5 s.d. 1 cm. Setelah itu ditaburi parutan kelapa dan diberi cairan gula. Akhirnya, LOPES siap dihidangkan.

Terdapat kelebihan dan kekurangan pada masing-masing dari kedua jenis LOPES ini. Jika LOPES Segitiga, cara penyajiannya lebih mudah dan lebih cepat serta lebih sederhana. Sehingga LOPES jenis ini yang lebih banyak diantarkan/disedekahkan (baca: arebbe) ke Musholla/Mesjid termasuk yang sering diantarkan ke tetangga.Terdapat sedikit kelemahan/kekurangan dari jenis LOPES ini yakni kurang tahan lama. Paling hanya bertahan sekitar 2 hari (sebelum dibuka bungkusnya). Sementara LOPES Gentong, jenis ini relatif lebih tahan lama sampai berminggu-minggu. Sehingga jenis ini yang banyak disimpan di rumah untuk dinikmati dalam beberapa hari ke depan. Di Samping itu jenis LOPES gentong ini yang bisa dibawa ke mana-mana oleh para Saudara/kerabat yang mau balik ke Jawa atau di mana dia tinggal. Namun terdapat sedikit kelemahannya, yaitu cara penyajiannya lebih rumit, karena masih harus dipotong-potong secara hati-hati agar tampilan rapi.

Begitu banyaknya LOPES dan Ketupat yang dihidangkan pada acara Undangan Silaturrahmi di atas. Dari manakah asalnya? Siapakah yang membuat?

Inilah yang perlu kita resapi dan tiru semangatnya. Sebenarnya LOPES itu berasal dari warga yang “Arebbe” (Sedekah LOPES dan makanan lainnya serta termasuk Ketupat) ke Kyai/Ustad/Guru Ngaji). Pada pagi-pagi sekali (setelah shubuh s.d. pkl 06.00 WIB) sebagian besar warga mengantarkan makanan (Lopes, Ketupat, dan lainnya) ke kediaman Kyai/Ustad/Guru Ngaji. Tentu Sang Kyai/Ustad/Guru Ngaji mendoakan semoga warga (yang bersedekah/Arebbe) agar hidupnya mulia, sehat, selamat dunia-akhirat, dan barokah (perkiraan penulis). Karena saya juga berdoa ketika pernah ada orang yang “arebbe”. Hehehe.

Hasil sedekah (baca: arebbe, Madura. Red.) itu yang cukup banyak maka dikembalikan lagi ke warga yang diundang dalam SILATURRAHMI di atas. Pihak Langgar/Mesjid tentunya juga mempersiapkan diri kuatir masih kurang. Sementara hidangan Ramah Tamah adalah murni pemberian (sedekah) dari tuan rumah (Kyai/Ustad).

Dapat kita tarik hikmah dari acara Silaturrahmi yang dibungkus dengan Makan LOPES (Lupis) Bersama (Pesta LOPES) yang berlangsung secara turun temurun di kampung asalku (Tanah Kelahiran), di antaranya adalah:

1. Memelihara Silah Ukhuwah (Silaturrahmi) antar warga dan warga dengan tokoh Masyarakat/Tokoh Agama (Kyai/Ustad/Guru Ngaji)

2. Membudayakan untuk berbagi (bersedekah)

3. Membudayakan saling bertukar dan merasakan (bentuk Lopes)

4. Membangun semangat kebersamaan (kekeluargaan)

5. Membangun/menguatkan ekonomi kerakyatan, mengingat perputaran uang yang lumayan (Penjual ketan, daun pisang, dan daun kelapa (Janur) umumnya dari petani, pedagang Kelapa, dan pedagang Gula ikut menikmati berkah ‘Tellasan Topa’)

6. Melestarikan Budaya Setempat dan Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Semoga bermanfaat dan memotivasi para pembaca untuk memperkenalkan Budaya dan Kearifan Lokal Setempat (sebagai Khasanah Budaya Nusantara) ke publik.

MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

M. AMIRUSI

Sampang, 7 Syawal 1438 H / 2 Juli 2017 M

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

"Tanggal 2 Juli 2017 M merupakan Hari Raya Ketupat jika di Madura." Saya baru tahu. Terima kasih sudah berbagi informasi. Top Cak Amirusi.

02 Jul
Balas

Hehee. Sbnarnya setiap 7 Syawal pak. Kbtulan Masehinya 2 Juli

02 Jul

Lebaran kedua ya Pak. Meriah sekali.

02 Jul
Balas

Ya betul bu

02 Jul

Hmmm...kayaknya enak banget ya... Tellasan Petto'/Tellasan Topa'...dapat ilmu baru, mksh Pak Amir

02 Jul
Balas

Inggih. Sami2 bu Umul Muarofah

02 Jul

Di Klaten ada bakda ketupat.Daerah Bayat , desa Jimbung. Bakda Syawal. Tradisi syawalan 6 hari setelah idul fitri.

02 Jul
Balas

Ya mgkin hampir sama bgitu Pak

02 Jul

Mantap pak amir..bisa mengenalkan tradisi madura...terutama camplong...

02 Jul
Balas

Heheee. Belajar menulis bu. Mator Sakalangkong Bu Hajah

02 Jul

Mantap pak amir..bisa mengenalkan tradisi madura...terutama camplong...

02 Jul
Balas



search

New Post