Mairini

Mairini. Surabaya, 5 Mei. Guru SMP Negeri 2 Kandangan Kabupaten Kediri. Karya yang pernah diterbitkan adalah Sehangat Matahari Pagi (2020), Au Revoir (2020), da...

Selengkapnya
Navigasi Web
Komedi Banjir

Komedi Banjir

         Surabaya oh Surabaya tempo dulu di tahun 90 an, daerah kami tidak pernah luput dari banjir saat musim hujan tiba. Hari itu menjelang Isya’ hujan mengguyur lebat. Kami sekeluarga bersiap-siap untuk mengamankan barang-barang yang tergeletak di lantai untuk kami pindahkan di atas lemari, meja, tempat tidur dan tempat lain yang lebih tinggi.

            “Iya betul, letakkan televisi di atas Kasur,”

            “Jangan lupa buku-bukunya kamu rapikan, supaya tidak basah,’

            “Baju-baju yang ada di lemari bagian bawah, kamu amankan,” begitu teriak ibu, memerintah kami untuk segera merapikan barang-barang sebelum banjir tanpa permisi masuk ke dalam rumah. Tidak cukup begitu, kami juga membendung pintu dengan papan dan kami rekatkan dengan malam. Tempat kami sudah menjadi langganan banjir setelah pembangunan komplek rumah mewah di Selatan kampung kami yang letaknya lebih tinggi dari daerah kami, alhasil tempat kami jadi langganan banjir. Pemberian malam dan papan itu bertujuan agar air yang masuk ke rumah air rembesan dari pori-pori lantai saja, bukan air banjir yang berwarna coklat kehitaman dan membawa sampah.

            Setelah dirasa cukup merapikan barang-barang, kami duduk di bangku yang terbuat dari bata dan semen. Lalu melihat tetangga yang juga asyik membendung rumah masing-masing.

            “Sudah selesai Ning?” kata Ning Martini pada ibu. Ning itu adalah sebutan untuk  mbak atau kakak perempuan di Surabaya.

            “Uwes,” kata ibu.

            “Oh yo, aku yo kurang titik kok,”

            “Nanti kamu ke sini ya, ini aku ada singkong goreng,” ajak ibu pada Ning Martini.

Aku, Mbak Santi, Reni, dan Mbak Tun saling bercerita, tentang kejadian apa saja, dari acara musik yang kami sukai sampai film akhir pekan yang akan diputar di stasiun televisi milik pemerintah.

            Tiba-tiba kami di kejutkan oleh suara bapaknya Mbak Tun yang rumahnya di sebelah kanan rumah kami, dia berjalan tergopoh-gopoh menyeruak air yang sudah mulai masuk ke rumah sambil membetulkan sarungnya yang hampir melorot.

            “Lho hujan to, kok aku tidak tahu,” katanya sambil menggerutu

            “Sampyan tadi ke mana, kita lho dari tadi ramai  di sini,” kata Ibuk

            “Aku tadi ketiduran di lantai, kamar belakang, trus tiba-tiba kok terasa badanku basah dan telingaku kemasukkan air,” Spontan kami tertawa, “Oalah Paman, ya tidak tahu, kami kira sampyan sedang beres-beres di dalam, kok tidak kelihatan, tidak tahunya tidur di  atas banjir,” kata ibu. Kami semua pun tertawa, paman tidak jadi marah dan ikut tertawa, lalu mulai menguras banjir yang sudah terlanjur masuk ke dalam rumah. Belum reda kami tertawa, ada kejadian lucu lagi, rupanya Paman menaikkan sarungnya terlalu tinggi, kita tertawa lebih keras lagi, paman tersipu malu, masuk ke dalam rumah, nyengir. Kami terpingkal.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post