Mahariah

Guru madrasah di Kepulauan Seribu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Coretan di Atas Pasir

Coretan di Atas Pasir

Tuah Menteri Ojek Online memang mujarab. Pasca pelantikan Menteri Kabinet Kerja Jilid II, 24 Oktober 2019 dan salah satu menterinya adalah Nadiem Makarim, banyak komentar nitizen soal dunia Pendidikan Indonesia di masa depan. Dunia per-nitizenan Indonesia langsung masuk ke komen gaya four point zero. Yang sempat aku catat diantaranya,

Guru-guru di sekolah setelah Nadiem menjadi Mendikbud,

“Oke anak-anak pelajaran hari ini selesai. Silahkan pulang ke rumah dengan tertib. Dan jangan lupa, bintang 5 yah!” (@sabunman_di)

 

Pak, ini pekerjaan rumahnya dikumpulkan di sekolah?

Enggak. Kirim aja sesuai titik. (@kokokdirgantoro)

 

Mata pelajaran hari ini sesuai aplikasi.

Setelah jam belajar selesai, jangan lupa rating bintang 5. (@catuaries)

 

Mendikbud siap luncurkan Go-School. Ujian Nasional berbasis aplikasi. (@Bebque)

 

Siapa sangka, belum genap setahun Nabiel Makarim menjadi Mendikbud, online-online-nan sekolah benar-benar menjadi nyata. Istilahnya bolak-balik berganti-ganti. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Daring-Luring. Belajar Online. Belajar Dari Rumah (BDR). Intinya sama: tiba-tiba saja warga dunia Pendidikan dipaksa oleh Covid19 menyesuaikan diri. Drama-drama PJJ bermunculan. Aku rajin sekali mengecek status orang tua kelas 4, 5, dan 6. Kelas-kelas aku mengajar Matematika. Status stress orang tua, guru, dan siswa bermunculan di DP medsosnya.

 

PJJ oo PJJ kapan kelarnya dikau…???

Ini status salah satu temanku, guru kelas satu Madrasah Ibtidaiyyah. Dia cerita mulai stress karena orang tua inginnya anaknya ditangani langsung sama gurunya supaya cepet bisa calistung. Di kelasnya, orang tua anak rata-rata kerja pagi balik sore. Naah, kaan??

Allohu Akbar…Akbar ngelayap kemana lagi ini??? (plus emoticon geram muka merah membara)

Ini status emak-emak yang anaknya bernama Ali Akbar. Kenapa jadi Allohu Akbar ya??

 

Pulsanya sekarat. (ditambah emoticon beku)

Kalau yang ini status anak kelas 6. Ya iyalah, wong datanya habis buat tiktokan setiap hari. Aku intip terus kan status tuh anak.

Lalu aku? Guru Matematika di MI yang biasanya membawa anak-anak keluar kelas. Biasanya kami menikmati kelas matematika sambil menyisir pasir putih, mengkalkulasi deretan cemara udang. Menaksir kedalaman laut di dermaga. Membentuk bangun ruang dari dedaunan mangrove. Menerka modus warna ikan yang berenang di antara karang. Aku merasa pandemi ini membuat sepi yang berlebih. Bukan hanya pantai yang lengang. Hatiku juga.  Sepi yang sangat justru di awal-awal. Aku gagap menghadapi wajah anak-anak di depan monitor hp yang buram. Wajah yang kebingungan. Aku tak terbiasa bercanda dengan mereka di depan kamera. Kami biasa bercanda dengan media air, pasir dan daun-daunan. Musik kami adalah suara ranting dan dahan yang saling beradu diterpa angin laut. Aku kehilangan suasana itu. Anak-anak juga, barangkali. Kami saling rindu, barangkali. Sebab seringkali dalam pembelajaran disekat layar kaca, kami tak bisa saling mencium aroma, tak sempat menangkap gairah. Tak ada ragam intonasi aamiin saat menjawab doa-doa yang kupanjatkan lewat chat atau pesan suara.

Lalu pagi hari ini, aku mencoba beranjak sendirian ke pantai. Menyusur pasir putih, mengumpulkan ingatan hari-hari sebelum masa sunyi ini. Perlahan aku bersimpuh, mengambil ranting yang patah. Menuliskan lafadz “assalamu’alaikum, anak-anak” dalam kaligrafi yang indah di atas pasir putih, sambil kubaca dengan penuh rasa. Dan tiba-tiba saja seperti ada yang meleleh di hatiku. No. di pelupuk mataku juga. Air. Ini rindu. Aku tahu betul. Ini rindu. Aku ingin membaginya.

Aku keluarkan handphone dari saku baju. Mula-mula memotret tulisan di atas pasir. Kupandangi sejenak hasilnya. Tidak. Aku tak menangkap rasa seperti saat aku menulis dan membacanya. Ada yang kurang.

Aku menggeser moda potret menjadi moda mengambil gambar video. Menaikkan volume audio. Aku mulai merekam sambil menulis kembali, sambil membaca kembali, sambil menangkap suara burung dan angin. Tidak ada wajahku di sana. Aku membayangkan melihat wajah anak-anak kelas Matematikaku diantara buliran pasir. Aku terus merekam. Aku terus bercerita tentang mean, median, modus sambil membuat coretan-coretan di atas pasir. Kadang-kadang mengambil biji-bijian. Semangatku membuncah begitu saja. Berasa riuh sekitar menjadi hidup, dan percikan sisa ombak seperti jejak-jejak kecil yang kemarin. Semoga belajar hari ini benar-benar bermakna.

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeeen Bu. Inspiratif tulisannya

12 Feb
Balas

Terima kasih, teman2 hebat. Kita bisa.

12 Feb
Balas

Sukak Ama karangan Ibu

13 Feb
Balas

Tulisan yang menginspirasi dan saat pandemi melanda pendidikan menjadi polemik..slam kenal..salam literasi bun

12 Feb
Balas

Mantap Bunda. Sukses selalu

12 Feb
Balas

Masya allah Ibuuuu

13 Feb
Balas



search

New Post