73. Kedasih (5)
73. Kedasih (5)
“Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Bunda Azmi. Apakah ada masalah dengan proses persalinannya?” batinku. Berbagai pikiran buruk melintas begitu saja dalam benakku.
Tak berapa lama nenek selesai menelepon. Begitu melihatku di sebelahnya, ia pun memelukku. Tangis yang sedari tadi tertahan kini mulai tumpah membasahi pundakku.
“Cucuku nenek, Neng. Hiks..hiks..hiks..,” ucapnya terisak saat tangisnya mulai reda.
“Iya, Nek. Cucunya kenapa? Nenek tenang dulu, ya. Minum dulu!” ucapku sembari mengangsurkan segelas air mineral yang kebetulan ada di meja.
“Barusan tadi lahir, tapi Allah lebih menyayanginya. Katanya ada kelainan jantung atau apa, nenek ngga tau.” ujar nenek. Tangisnya kembali pecah. Bulir bening di matanya menetes tanpa henti.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” ucapku lirih. Lagi-lagi kabar duka kembali singgah di gang tempat tinggalku ini. Kedasih, kenapa kau terus berkicau di saat seperti ini? Apakah kabar ini yang ingin kau sampaikan? Rasanya begitu memilukan.
Aku bisa bayangkan bagaimana perasaan Bunda Azmi saat ini. Jabang bayi yang telah menghuni rahimnya 9 bulan terakhir ini, tiba-tiba harus pergi begitu saja. Tangisan pertama yang diharapkan akan ia dengar saat bayi mungil itu lahir, tak pernah terdengar. Ia hanya bertahan hidup dalam Rahim Bunda Azmi, tapi tak diizinkan untuk menghirup udara pertama di dunia barunya. Allah lebih menyayanginya, pasti surgalah tempatnya.
Harusnya hari ini keluarga Bunda Azmi bersiap membereskan rumah untuk menyambut kehadiran anggota baru yang menambah semarak keluarga itu. Apalagi anak yang terakhir ini berjenis kelamin perempuan. Tiga anak sebelumnya lahi-laki. Pasti Bunda Azmi dan suaminya begitu mendamba kehadiran putri mungil itu. Tapi, takdir berkata lain. “Semoga Bunda Azmi dan keluarganya tabah dan kuat menjalani ujian ini,” ucapku dalam hati.
***
Segera kukabarkan berita duka ini pada tetangga. Kami pun membantu nenek merapikan semuanya. Pukul 12.00 WIB jenazah bayi mungil itu tiba bersama ayahnya. Ibundanya masih di rawat di rumah sakit karena kondisinya masih lemah.
Wajah bayi mungil itu sangat cantik. Kulitnya putih bersih. Ia seperti sedang tidur saja. Mataku tak bisa berpaling darinya saat jenazahnya dimandikan. Tanpa terasa, bulir bening mengalir membasahi mataku.
“Nak, surga telah menantimu. Engkau adalah calon bidadari surga. Kepergianmu menjadi tabungan surga ayah bundamu. Tunggulah mereka di sana,” doaku dalam hati.
Usai dimandikan dan dikafani, Pak Arka membopong tubuh mungil itu dan membawanya ke masjid untuk disholatkan. Setelah itu jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum. Tempat yang sama dengan makam Bang Firman.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar