Lista Yosefa

Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Gunung Talang Kabupaten Solok ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Diary Marisa  (Cerpen bagian-1 TG- 23)

Diary Marisa (Cerpen bagian-1 TG- 23)

Diary Marisa

(Cerpen bagian-1 :TG- 23)

Marisa membuka catatan buram itu. Kertasnya sudah usang, seingat Marisa dia membuat di lembaran buku isi 18 lembar bersampul biru ada gambar perempuan pakai baju adat Minang dengan gambar latarnya Rumah Gadang. Dia ingat betul waktu itu dia masih kelas lima SD. Tapi Marisa sudah biasa menuliskan apa yang membuatnya senang atau kesal dalam kesehariannya. Setelah dia SMP baru lah dia paham kalau kebiasaanya itu namanya menulis atau membuat catatan harian atau diary. Hal itu disampaikan oleh guru Bahasa Inggrisnya, Ibu Nurli. Saat belajar Bahasa Inggris beliau meminta membuat kisah pribadi dalam tema pelajaran Diary. Sejak saat itu Marisa membeli buku catatan harian yang bagus bahkan ada kode kuncinya, dibeli Marisa dengan uang tabungannya.

Buku catatan harian SD-nya masih disimpan rapi. Kadang dia senyum sendiri, melihat buku isi 18 lembar itu, kertas yang sudah kusam, tipis, dan biasa saja. Marisa memegang buku itu sambil senyum tipis. Dia juga hafal kisah yang pernah dibuatnya. Ada beberapa kisah konyol, ada kisah kenakalannya, kisah tentang kemanjaannya ketika sakit, dan lainnya. Namun, dari banyak kisah ada satu yang Marisa tidak bisa lupa dan kisah itulah yang membuat dia punya mimpi untuk bisa mengubah dirinya seperti sekarang.

Berlahan dibuka buku kusam itu, sampailah tangan Marisa membalik halaman ke 12, dia baca berlahan.

Kami berdua diajak Mamak ke pasar. Aku dan sepupuku. Dia cantik, putih, dan lincah. Dia yang merengek pada Mamak untuk diajak jalan ke pasar. Habis sholat magrib kami bertiga jalan ke pasar, aku dan Rini naik ke mobil papanya Rini. Carry merah yang baru dibeli. Mobil bagus, aku baru kali ini mencoba naik ke mobil itu. Aku senang tapi ada suatu yang tak enak. Mamak hanya bicara sama Rini, sama aku tidak. Aku sedih, aku juga ingin ditanya seperti Mamak menanya Rini. Sampai di pasar aku diminta tinggal di mobil. Kata Mamak kamu tinggal saja jaga mobil. Aku iyakan saja. Dari dalam mobil aku lihat Mamak menggandeng tangan Rini, Rini pegang tangan Mamak dengan manjanya. Sebenarnya aku sedih ditinggal tapi aku tak berani minta ikut. Tak lama mereka datang. Aku dibelikan sama dengan apa yang dibelikan untuk Rini. Tapi, aku tidak diajak. Aku sedih. Mungkin karena aku hitam, jelek, dan bajuku tak sebagus baju Rini.

Marisa menarik napas dalam-dalam sampai dadanya merasa sesak ingat kejadian itu. Hatinya waktu itu sangatlah sedih. Dia juga mau diajak turun dari mobil dan diajak masuk toko alat tulis itu. Tapi waktu itu dia sama sekali tak berani minta diajak. dia memilih diam di mobil sampai memperhatikan mamak dan Rini di dalam toko itu melalui jendela mobil. Sampai di rumah Marisa sama sekali tidak tertarik pada alat tulis yang dibelikan. Hatinya masih kecewa diperlakukan seperti itu. Marisa merasa Mamaknya malu punya kemenakan seperti dia.

Lamunan Marisa berakhir ketika ada suara yang memanggilnya, “Sa kamu di mana? Ada panggilan di HP-mu, kayaknya penting sudah dua kali,” kata Kak Dewi sambil menyodorkan HP ke arah Marisa. Beberapa saat dia simpan buku itu dalam laci di almari kamarnya. Kemudian membuka HP-nya, ada panggilan tak terjawab dari Koordinator Pengawas, sepertinya sangat penting karena hari Minggu bapak itu menelponnya. Belum jadi Marisa memanggil balik pada bapak itu, sudah ada panggilan ulang di HP-nya. “Assalamualaikum, Selamat Siang Pak,” Marisa basa-basi. Terdengar balasan salam dari Bapak Pengawas itu.

“Waalaikumsalam, siang juga Buk! Begini Bu Marisa, rencananya besok kami dari Tim Penilai Kinerja Kepala Sekolah akan turun ke lapangan, salah satunya ke sekolah Ibu, jadi supaya kedatangan kami tidak merepotkan Ibu dan kawan-kawan Bapak kasih tahu sekarang, dan bapak cuma mengabari itu saja.” Ujar Bapak Pengawas itu mengakhiri pembicaraannya.

“ Baik Pak, terimakasih sudah Bapak kabari. Oh ya Pak, ada yang lain Pak? Balas Marisa lagi.

“Oh tidak Buk Marisa hanya itu, hal lainnya besok saja kita bicarakan.”

Kemudian setelah menutup pembicaraan dengan hal yang ringan , seperti sempat Marisa mengatakan kalau sekarang ini dia dan keluarganya di kampung. Begitu juga sebaliknya Bapak Pengawas itu juga mengatakan kalau dia sedang menyiapkan instrumen PKKS.

Marisa sekarang sudah menjadi Kepala Sekolah SMA. Tugas ini sudah diembannya selama empat tahun. Dengan jabatan sederhana ini, setidaknya itu dalam pikiran Marisa. Dia merasa menjadi Kepala Sekolah itu bukan jabatan tapi amanah yang dititipkan padanya. Empat tahun lalu atas dorongan teman sejawat dia didorong dan disarankan untuk mengikuti tes menjadi Kepala sekolah. Serangakaian tes dan masa magang dijalaninya dengan senang hati. Marisa merasa tidak ada kendala yang cukup berarti. Baginya semua dapat diatasi dengan baik. Dia sering dinilai kawan-kawannya pandai berbicara, membawakan diri, dan menjalin hubungan baik dengan kolega. Namun, Marisa sendiri tidaklah merasa demikian, semua dilakoninya karena memang itu tuntutan profesinya.

Marisa berjalan ke dapur menyusul Kakaknya Dewi yang sudah lebih dulu membersihkan bumbu yang sudah disiapkan untuk gulai. Tak lama terdengar bunyi blender menghaluskan bumbu tadi.

“Sudah siap saja Kak,” tanya Marisa pada kakaknya.

“Sudah, kan cuma ini saja. Ndak banyak,” jawab Kak Dewi. Sesaat mereka diam Kak Dewi mematikan blender dan mengeluarkan bumbu yang sudah halus ke dalam wajan.

“Oh ya Sa, siapa tadi yang telepon, penting sepertinya.”

“Dari Bapak Koordinator Pengawas, beliau mengabarkan akan ke sekolahku besok,” jawab Marisa memberi penjelasan pada kakaknya.

“Oh, kalau pengawas pekerjaannya itu saja ya? Datang ke sekolah habis itu pergi.”

“Hahaha, Kak Dewi asal ya, lumayan banyak juga pekerjaan pengawas itu,” kata Marisa menjawab candaan kakaknya.

Marisa dengan Dewi memang lebih dekat dibanding Marisa pada kakak-kakaknya yang lain. Marisa bersaudara empat orang, dua perempuan dua laki-laki, dan Marisa anak bungsu. Sekarang mereka sudah hidup dengan keluarga masing-masing. Kakaknya yang sulung Rizal tinggal di Semarang, Kak Dewinya anak kedua, dan yang ketiga di Bukittinggi namanya Yandri.

Setelah urusan masak memasak dan semua anak-anak sudah makan, Marisa kembali ke kamarnya. Dia buka laptopnya dan membuka file-file yang dibutuhkan untuk PKKS. Sebenarnya semuanya sudah dilimpahkan pada wakil di sekolah. Panitia persiapan PKKS juga sengaja dibentuk untuk memudahkan persiapan. Hal itu dilakukan untuk proses penilaian dapat berjalan lancar dan tentunya nilai kinerja selama setahun ke belakang meningkat dari tahun lalu. Marisa selalu wanta wanti pada wakil dan panitia agar serius dan teliti dalam persiapan berkas. Dalam hatinya, semoga dengan monitoring besok akan ada penambahan masukan dari pengawas untuk kelengkapan berkas sesuai intrumen penilaian.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ceritanya Bu

21 Aug
Balas

Luar biasa cerpennya bun..sangat menginspirasi sekali. Salam sukses.

20 Aug
Balas

Hehe kritikan Bu Dewi bagus juga tu bu, Apa sih tugas pengawas? Tanya bu tupoksinya..hehe keren bu ceritanya, salam literasi.

21 Aug
Balas

Keren banget alur cerita.. follow back ya

21 Aug
Balas

Keren banget alur cerita.. follow back ya

21 Aug
Balas



search

New Post