Lisata

Saya Lisata. Lebih sering dipanggil Mr. Lee atau ustadz Li. Alumni kelas menulis Solo pada 2017. Ya, lumayan lama. Sayangnya, selama ini saya off. Kok bisa. heh...

Selengkapnya
Navigasi Web
LEVEL LELAH

LEVEL LELAH

Lelah dari segala rutinitas dunia, lumrah. Lelah dari segala hiruk pikuk dunia, begitulah. Lelah dari segala urusan yang melimpah, sunnatullah. Lelah itu pakaian hidup, nikmati sajalah. Apabila ada yang sudah resah dengan lelah, selesai sajalah.

Selagi kita masih menikmati hidup, tiada kata henti untuk lelah. Setiap orang pasti lelah. Barangkali tingkatan lelahnya yang berbeda-beda. Ada yang lelah level standar, bakda rehat sejenak kembali normal. Ada yang lelah bertambah-tambah, tidak cukup dengan rehat biasa. Setelah ditambah asupan energi, bagai baterai yang dicas ulang, kembali andal. Bagaimana jika lelah itu merambat ke dalam jiwa? Jangan abaikan, bahaya!

Bila tekanan terasa berat, gunakan saja rumus sederhana. Bukankah tekanan itu kian berat jika beban berat sedang dipikul? Bagaimana menggunakan rumus sederhana? Kurangi beban! Sangat simple, bukan? Pikullah beban sepatutnya sesuai keperluan saja. Jika kita memikul beban berat, banyak, dan semua keinginan kita, boleh jadi salah satu asbab memperpendek umur. Sekali lagi, boleh jadi.

Tak ubahnya seorang pendaki gunung, sedangkan ia memikul beban dan keperluan lainnya yang kurang dibutuhkan ketika sampai di puncak. Sejak langkah pertama dalam mendaki sulitnya medan yang bertabur ilalang dan duri, beban di pundak pasti kian menekan dan semakin berat. Hal itu pasti, bukan sekadar pemanis kata.

Solusi terbaik baginya agar ia cepat sampai dan selamat adalah mengurangi beban yang tidak dibutuhkan. Semua beban keinginan, lepaskan saja. Semakin banyak romansa keinginan dimuat ke dalam ransel sang pendaki, semakin tersiksalah ia, jikalau pun akhir kisah, ia akan sampai juga di puncak.

Tidak tertutup kemungkinan, ia akan sampai juga di atas puncak dengan segala beban keinginannya itu. Pertanyaannya adalah kapan ia sampai? Peluangnya tentu saja bukan orang yang pertama sampai dalam rombrombongan itu. Barangkali ia akan sampai di puncak saat semua tim sudah menikmati indahnya pesona puncak. Sementara ia tiba dalam kondisi menyedihkan, bermandi peluh, berbau, pakaian compang-camping, dan berdarah-darah. Lelah di atas lelah, nikmatnya sejuta pesona tak lagi tampak. Bukankah ini rugi kuadrat?

Rugi kuadrat akan diperoleh jika kita berada dalam posisi lelah yang terparah. Lelah terparah bukan hanya pada ranah fisik, ia telah menguasai jiwa. Lelah itu telah berkuasa hingga memenjarakan jiwanya. Segala aktivitas, walupun sejatinya berpotensi bernilai ibadah, bisa saja hangus tanpa pahala.

Diantara solusi yang mesti kita ambil adalah mengubah lelah menjadi lillah. Apa pun aktivitas baik yang tengah kita geluti, niatkan hanya untuk menghadap rida Allah Ta’ala. Lelah akhirnya bernilai ibadah karena Allah Ta’ala. Beratkah? Tidak juga, tergantung seberapa luas jiwa kita menerimanya. InsyaAllah berkah dan melimpah anugerah. Wallahu a’lamu bisshawaab.

#TG-82

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mengubah kelelahan menjadi Lillah...maka lelah terasa menjadi istimewa....sukses selalu Mr....Salam Literasi

21 Dec
Balas



search

New Post