Lisata

Saya Lisata. Lebih sering dipanggil Mr. Lee atau ustadz Li. Alumni kelas menulis Solo pada 2017. Ya, lumayan lama. Sayangnya, selama ini saya off. Kok bisa. heh...

Selengkapnya
Navigasi Web
JUMAWA ITU MENGHANCURKAN

JUMAWA ITU MENGHANCURKAN

Sejarah telah mencatat, para penguasa zaman dahulu yang jumawa, angkuh, sombong, takabbur, dan arogan, kehidupannya berakhir dengan tragis. Memalukan dan memilukan. Berujung dengan kisah pilu bagi keluarga dan golongannya.

Firaun sombong, mati mengenaskan, kesedak air, tewas. Namruz jumawa, masuk nyamuk ke dalam telinganya, lewat juga. Abrahah pongah, ditimpa batu-batu kecil, ludes. Tidak patut kita jumawa. Bahkan sang penguasa sekalipun.

Jumawa tidak ada baiknya. Dalam pandangan agama, dilarang. Dalam pandangan sosial, tidak etis. Dalam pandangan adat, tidak patut. Menurut hati kecil pun, ditolak.

Namun, entah mengapa, masih banyak juga kita lihat dan temui orang-orang yang jumawa. Tidak akan pernah baik dan berhasil dengan baik, siapa pun yang memiliki sifat jumawa tersebut. Tidak akan pernah, Gaes.

Dalam kehidupan keseharian yang terdekat dengan kita, tak ada gunanya kita sombong. Apa sich yang mesti kitsa sombongkan? Bukankah di atas langit itu masih ada langit? Setinggi-tingginya gelar professor, akan berujung dengan mendiang.

Misalnya, tim sepak bola kita hebat. Boleh dikatakan jauh di atas kemampuan rata-rata. Sudah banyak lawan main yang tumbang kita hantam. Sebaiknya, tetap tidak sombong. Bagaimanapun juga, sombong atau jumawa itu akan menghancurkan.

Saat tim kita bersua dengan tim lawan di babak penyisihan dan kita menang, jangan sombong terlebih dahulu, Ferguso. Tidak elok. Bak kato urang awak, “Don’t celebrate too early!” Jangan merasa puas duluan, perjalanan masih panjang.

Nah, ketika putaran berikutnya pada babak delapan besar alias sistem gugur dalam turnamen dan kita bersua dengan lawan yang sudah kita kalahkan di babak penyisihan, jangan sombong, Kawan. Merasa di atas angin, boleh-boleh saja. Namun, tetap saja kurang baik.

Jumawa hanya akan melahirkan sikap menganggap remeh dan enteng. Saat babak penyisihan, boleh saja tim lawan itu kalah. Ketika undian berikutnya dan bersua lagi, bola itu bundar dan bergulir. Peluang untuk kalah dan menang kembali terbuka untuk kedua tim.

Dengan kekalahan di babak penyisihan, kemungkinan besar tim lawan akan melakukan evaluasi besar-besaran. Mereka akan meminimalisir segala kesalahan di babak berikutnya. Memanfaatkan segala kesempatan terbaik dan memaksimalkan ikhtiar terhebat. Boleh jadi, mereka akan mengungguli tim kita, yang notabenenya saat penyisihan grup sudah kita kalahkan.

Kok bisa? Karena jumawa telah bersarang di hati kita. Jumawa itulah yang menghancurkan kita dan tim kita. Masih maukah untuk jumawa? Na’uzubillahi min zalik.

#TG-403

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Pak. Sala literasi

21 Nov
Balas



search

New Post