Atuak dan Uwa
Tantangan Hari ke-28
Atuak dan uwa adalah panggilan kami untuk kakek dan nenek. Beliau berdua menjadi orang yang paling kami sayangi selain mama dan papa. Sepanjang hari yang dilalui di masa kecil adalah bersama Atuak dan Uwa, saat orang tua berangkat ke sekolah untuk melaksanakan tugas, maka atuak dan uwa lah yang menjadi orang tua kami. Tidak seperti sekarang ada tempat penitipan anak, ada baby sitter. Kami mempunyai Atuak dan Uwa yang merawat, mendidik dan menyayangi cucunya melebihi rasa sayang ke anak sendiri.
Masih terbayang bagaimana gembiranya kami berlarian ke halaman kalau mendengar bunyi "kring-kring-kring" dari lonceng sepeda Atuak. Pertanda Atuak baru pulang dan sebagai kode juga kalau Atuak mau berangkat. Berarti saatnya kami yang masih bocah naik sepeda, dibonceng atuak keliling halaman sambil tertawa gembira. Buat cucu laki-laki adalah suatu kebanggaan kalau sudah bisa membawa sepeda ontel Atuak karena itu merupakan pengakuan bahwa mereka sudah besar.
Atuak pensiunan guru dan juga seorang petani. Uwa bercerita, dulu gaji sebagai guru itu hanya cukup untuk 10 hari makan dengan 7 orang anak. Untuk tambahan, setiap selesai makan siang pulang dari mengajar atuak akan langsung ke sawah sampai waktu Ashar datang.
Yang kami tahu Atuak petani, setiap pagi berangkat ke sawah dan pulang saat Adzan dzuhur berkumandang. Kadang kami ikut ke sawah, berlarian di pematang saat Atuak mencangkul dan kadang ikut menyiangi rumput kalau padi sudah mulai tinggi.
Di belakang rumah kami ada sebuah kolam ikan milik sepupu Uwa yang dipelihara Atuak. Berebut membantu Atuak membersihkan kolam ikan adalah kesenangan kami, karena ujungnya adalah berenang mengelilingi kolam. Tubuh dipenuhi lumpur tapi gembiranya luar biasa, setelah itu mandi di ember besar dengan air ditimba Atuak. Terasa segar sekali setiap kucuran air yang dijatuhkan atuk di kepala kami.
Salah satu kebiasaan di sore hari yang kami tunggu-tunggu adalah memberi makan ayam. "Kruun... kruun..." seperti itu cara Atuak memanggil Ayam dan mulai melemparkan nasi-nasi kering sisa makanan kami, atau kerak nasi yang sudah dikeringkan. Sekitar 100 ekor ayam akan datang berkerumun dan berebutan makan. Pemandangan yang membuat kami tidak mau beranjak dari halaman. Ayam dengan bermacam warna, anak-anak ayam yang lucu, induk ayam yang sangar saat kami mendekati anaknya atau ayam jago yang terlihat gagah.
Pernah suatu sore aku ikut memberi makan ayam, tiba-tiba ayam mematuk lututku yang bernanah karena bisul. Duh, luar biasa sakitnya, mungkin nanah yang berwarna putih dikira ayam adalah nasi. Sambil menangis aku mengadu ke uwa, "Tidak apa-apa lah nak, tandanya bisulmu mau sembuh." kata Uwa. Dan ternyata memang betul hanya 2 hari sudah mulai kering bisul, mungkin karena nanahnya sudah bersih dipatuk ayam.
Sebelum menduduki bangku sekolah, pendidikan kami dari Atuak dan Uwa. Atuak sangat disiplin, apapun benda yang kami pinjam ke Atuak harus dikembalikan di tempat semula benda itu terletak. Atuak akan sangat marah kalau melihat barang-barang kepunyaan Atuak berserakan dan konsekuensinya kami tidak akan bisa meminjam lagi dalam waktu lama. Wawasan Atuak luas karena setiap hari mendengar siaran berita di BBC london. Apapun perkembangan dunia Atuak tahu, dan berlanjut saat SMP atuak tempat aku bertanya pelajaran geografi. Letak sungai nil, sungai gangga atau nama-nama gunung di negara lain. Negara-negara di Benua Afrika dan Eropa bisa ditsnyskan ke Atuak.
Radio Atuak menjadi kebanggaan kami, setiap sore kami dan teman-teman akan berkumpul di tangga rumah mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh. Waktu itu rasanya semua yang kami dengar di radio itu seperti nyata, derap langkah kuda ataupun desingan pedang saat perang.
Teringat cerita uwa, bandel-bandelnya kami semasa kecil. Biasanya uwa mengasuh kami sambil memasak, menjemur padi atau kegiatan lain pengisi waktu. Bedanya cucu laki-laki dan perempuan, kalsu aku akan ikut apapun yang dilakukan uwa, memperhatikan uwa memasak di depan tungku kayu atau duduk menjemur padi. Tetapi tidak begitu dengan Uda Cecep yang istilah uwa "mangkiang" tidak bisa diam, berlarian kemana-mana. Kata uwa di kaki Uda Cecep dulu diikatkan ember kecil, sehingga kemanapun Uda pergi akan terdengar gemerisik ember terseret. Kalau suara ember sudah terdengar menjauh, Uwa akan segera mengejar Uda.
Rasa sayang Atuak dan Uwa ke kami sangat besar, pernah suatu hari sepupu kami Reymon tidak sengaja menjatuhkan piring dari atas tangga dan jatuh berderai dengan bunyi yang menurut Allan bagus. Allan bilang, "Allan juga mau jatuhkan piring Tuak, masak Reymon saja," dan dijawab Atuak dengan "Iya , boleh, jatuhkanlah." Waktu itu Allan baru berumur 4 tahun dan Reymon 3 tahun, sama-sama belum mengerti kalau yang mereka lakukan berbahaya. Begitulah cara Atuak menyayangi kami.
Satu aturan yang kuat dar Atuak, setiap pulang sholat Jumat, semua Anak dan cucu laki-laki makan siang bersama di rumah. Suasana hiruk-pikuk berebut makanan dari 12 cucunya ditambah ayah-ayah mereka menjadi kebahagiaan tersendiri. Uwa dan etek akan sibuk sekali di hari Jumat itu menyiapkan makan siang kami. Kebiasaan inilah yang membuat kami sampai sekarang kompak walaupun sudah berada di kota yang berbeda-beda. Dan untuk cucu perempuan setiap malam minggu bergantian tidur di rumah Atuak dan Uwa. Sehingga terasa betul bshwa kami semua satu keluarga.
Lain lagi cara Uwa mengajarkanku tentang peran anak perempuan. Waktu kecil aku selalu diajak menemani Uwa memasak, mengantar nasi ke sawah untuk Atuak. Kadang kami membawa kayu kering pulang ke rumah. Kayu-kayu dijunjung di kepala uwa, akupun disuruh menjunjung satu dahan kecil. Bangga sekali rasanya bisa menjunjung kayu di pematang sawah dan menyebarangi sungai untuk sampai ke rumah kami.
Biasanya setelah panen, padi dijemur sendiri oleh Uwa di halaman kami. Ayam Atuak yang banyak membuat Uwa menggunakan penggalan kayu yang panjang, aku yang baru berumur 5 tahun juga diberi pengganlan kecil. Bahagia luar biasa rasanya mengejar ayam dengan penggalan sampai tak terasa sorepun datang.
Padi yang sudah kering disimpan di lumbung dan diangsur menumbuk sendiri oleh Uwa. Ada lesung besar di samping rumah kami, dan Atuak juga meletakkan lesung kecil di sampingnya untuk aku menumbuk. Uwa punya beberapa buah alu yang besar dan membuatkan alu yang kecil untuk aku menumbuk. Begitulah Uwa mengajarkan kami menjadi perempuan minang.
Banyak kenangan di masa kecil yang mengajarkan kemandirian, Atuak dan Uwa adalah guru kehidupan. Di antara banyak hal yang kami lalui, ada suatu kebiasaan yang sampai sekarang aku ingat terus. Setiap tanggal 10 setiap bulan, Atuak akan pergi ke kantor pos untuk mengambil pensiun. Dipilih tanggal 10 karena pada tanggal itu pos sudah sepi, tidak ada antrian panjang seperti pada tanggal 1 dan awal bulan. Malam sebelumnya baju, sendal dan tas serta buku tabungan sudah disiapkan Atuak sehingga pagi setelah sarapan langsung berangkat.
Hal yang selalu jadi kenangan adalah, sepulangnya Atuak dari pos. Atuak akan langsung berikan uang kepada Uwa, dan uwa menyisihkan untuk berbagi dengan tetangga kami yang membutuhkan. Uwa akan membimbing aku keliling kampung mengantar sedikit belanja untuk tetangga kami. Padahal kalau dihitung berapalah pensiun waktu itu. Tapi Atuak selalu mengatakan, "tidak ada orang yang miskin karena sedekah." Kata-kata itu yang selalu terngiang di telingaku sampai hari ini.
Atuak dan Uwa kami, kalau mengenang masa bersama kita, rasanya takkan cukup waktu untuk bercerita. Kalau lah ada kakek nenek umur 80an menanyakan, "sudah bab berapa skripsimu?" Di antara teman-teman kami mungkin hanya kami yang mengalaminya. Semua cucu yang kuliah diberi uang kos oleh Atuak, walau cucu di rumah ataupun yang berbako ke rumah kami ( anak dari saudara laki-laki mama). Tidak ada bedanya anak dan menantu. Semua menjadi anak Syamsyu Bahar dan Rosmaniar jika sudah berada dalam ikatan pernikahan, dan kami semua cucu Atuak dan Uwa.
Uwa tidak tamat Sekolah Rakyat yang setingkat SD sekarang, tapi kalau pelajaran arab melayu yang sangat rumit buat kami, hanya Uwa yang bisa bantu. Kalau membuat surat dalam ejaan arab melayu hanya kepada Uwa kami bertanya . Membaca tafsir Al Qur'an yang tulisan Arab melayu memang Uwa jagonya.
Maka belum lengkap rasanya wisuda kami, kalau belum membawa toga itu pulang kampung untuk berfoto bersama Atuak dan Uwa. Itulah kebahagiaan kami para cucu-cucu. Rasanya tak sanggup membalas semua kebaikan Atuak dan Uwa kepada kami semua.
Terima kasih untuk semua kasih dan sayang tercurah kepada kami.Atuak dan Uwa guru kehidupan yang sangat kami cintai..
#Tantangan GuruSiana

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hebat atuak dan uwa Lisa,terlihat hasil didikan beliau pada cucu cucunya yang hebat pula
Abak Ola juga hebat La. Pejuang sejati.Semoga abak sehat selalu