Lilynd Madjid

Lilynd Madjid is me 😊...

Selengkapnya
Navigasi Web

Kita Berteman 'Kan Alien? (part 4)

Kita_Berteman_kan_Alien

Part_4

Afif masih termangu-mangu memandangi puing-puing suatu objek yang hangus terbakar. Akar gantung pohon dan sulur-sulur panjang menutupi sebagian besar objek tersebut. Afif memandang Roraz. Tatapannya penuh pertanyaan.

“Ini pesawat kami.” Kata Roraz menjelaskan. Afif mengernyit.

“Tapi sulur-sulur dan dan akar ini? Kau bilang dua minggu lalu kau tiba di sini. Tidak mungkin akar dan sulur-sulur ini sudah begitu rimbun menutupi puing… euuu.. pesawatmu.” Afif terlihat bingung. Roraz tersenyum. Ini mekanisme kamuflase kami, Afif. aku sengaja membuat akar dan sulur-sulur ini menutupi puing-puing pesawat kami. Aku tidak mau ada manusia bumi yang menemukannya.”

Afif memandang ke sekeliling puing. Memang kerapatan akar dan rimbun sulur-sulur itu telah menyembunyikan pesawat Roraz dengan sempurna. Tidak akan ada yang menyangka, di balik gerumbul daun yang lebat di sulur-sulur itu, ada pesawat luar angkasa yang sudah hangus.

“Hebat. Apalagi yang kamu bisa?”

“Aku tidak hebat. Memang begitulah kami diciptakan. Seperti system imun yang ada dalam tubuh kalian saat melawan kuman penyakit. Kami juga memiliki mekanisme kamuflase dan kemampuan beradaptasi secara cepat. Semua itu untuk bertahan hidup.”

“Sejak diciptakan? Memangnya siapa yang menciptakan kalian?” Tanya Afif. Dahi Roraz mengernyit. Menatap Afif dengan heran.

“Kenapa kau bertanya? Bukankah kalian juga mahluk yang diciptakan?” Roraz balik bertanya. Afif menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

“Tentu saja manusia juga mahluk ciptaan. Allah yang menciptakan kami. Dialah Tuhan yang kami sembah.” Kata Afif. “Mmmm… kupikir ada teknologi tertentu yang menciptakan kalian, para alien…” gumam Afif. Roraz terbahak. Baru kali ini Afif mendengarnya tertawa.

“Kami bukan robot, Afif. kami makhluk hidup. Sebagai makhluk, kami juga diciptakan oleh Tuhan. Tuhan yang juga kami sembah. Yeah.. walau pun, di antara kami ada yang mengingkariNya, tetapi keluargaku bukan bagian dari orang-orang yang seperti itu. Ayah dan ibuku bahkan selalu mengingatkan aku untuk selalu mengingatNya dalam situasi apapun…” kata Roraz. Pandangannya menjadi sayu saat berbicara tentang orangtuanya. Afif termenung. Tiba-tiba Roraz kembali mengulurkan tangannya.

“Berikan tanganmu, Afif.” katanya. Ragu-ragu Afif mengulurkan ke dua tangannya. Dia masih ingat saat tiba-tiba saja tersedot ke dalam pusaran yang memusingkan setelah memegang tangan Roraz di tepi jalan tadi. “Jangan takut.” Bisik Roraz. Afif pun menyentuh tangan Roraz dan menggenggamnya.

Sekejap sengatan listrik itu kembali dirasakan oleh Afif. Gambar-gambar melintas dalam pandangan Afif. seperti slide yang diputar cepat. Gambaran sebuah planet kecil dengan penduduknya yang padat. Peperangan yang mengerikan. Orang-orang yang membantai orang-orang yang lainnya. Pesawat kecil yang melesat di kelamnya angkasa. Badai meteor. Ledakan keras. Berputar-putar. Berputar-putar. Gelap. Guncangan. Gelap. Lalu ada dua sosok hijau bertangan empat yang berbicara kepadanya sampai kemudian mereka terkulai tak bergerak lagi. Setelah itu gambar-gambar tersebut lenyap. Afif kembali pada keadaan sebelumnya. Di depannya, Roraz dibanjiri peluh di sekujur tubuhnya. Terkulai pingsan.

***** ***** *****

“Roraz! Syukurlah kau sudah sadar.”

“Aku tidak apa-apa, Afif.”

“Tapi kamu pingsan.”

“Tidak. Memang begitulah mekanisme tubuh kami setelah melakukan transfer memory.”

“Jadi, gambaran-gambaran yang aku lihat tadi sebenarnya ingatan dalam kepalamu?”

“Ya. Apa kau mengerti?”

Afif mengangguk. Menatap sedih ke arah Roraz. Berat sekali hal yang sudah Roraz alami.

“Aku… ikut beduka untuk ayah dan ibumu.” Kata Afif. Air matanya menetes tanpa diminta. Dia teringat pada ayah dan bundanya sendiri. Apa jadinya jika dia yang kehilangan orangtua seperti Roraz? Terdampar di planet asing yang tidak di kenalnya pula.

Roraz lagi-lagi mengeluarkan suara keluhan dengan bahasa yang tidak dimengerti Afif. Mungkin itu cara Roraz menangis. Sebutir air mata memang menetes di pipinya yang agak menghijau. Setelah itu Roraz menggeleng keras.

“Terimakasih. Aku… aku tidak tahu apakah setelah ini aku masih akan mampu bertahan.” Katanya. Afif memegang tangan Roraz. Tidak memedulikan sengatan listrik yang sekejap dirasakan mengalir dari tangan Roraz.

“Sejauh ini kau bisa bertahan, ‘kan?” kata Afif.

“Aku… Sebenarnya aku sangat takut.”

“Jangan takut.”

“Aku sendirian sekarang,”

“Kan sudah kubilang, ada aku.” Afif ngotot meyakinkan. “Bagaimana kalau…” Afif berpikir sebentar, “Bagaimana kalau aku bilang ke bunda untuk mengadopsi kamu?” Afif tersenyum lebar. Mata Roraz membuka lebar. Afif bisa melihat pupil matanya melebar, sebelum kembali membentuk garis vertical. “Itu ide bagus ‘kan?” Senyum Afif semakin lebar.

“Apa… apa orangtuamu mau?” Roraz ragu. Afif terlihat berpikir keras.

“Mmmm… kupikir, kalau kamu menceritakan yang sebenarnya… bunda bisa mengerti.”

“Kamu gila! Bagaimana kalau bundamu malah ketakutan dan menyuruh manusia bumi lain menangkapku?” Roraz bergeser menjauhi Afif. Matanya menerawang. Ia ingat pesan ayahnya sebelum meninggal. Ia harus berhati-hati terhadap penduduk planet yang belum dikenalnya ini. Ibunya juga berpesan agar mekanisme kamuflase dan adaptasinya selalu diaktifkan agar penduduk planet ini tidak melihat bahwa dia berbeda. Tetapi di depannya Afif malah memintanya untuk membongkar jati dirinya. Roraz menggeleng.

“Roraz, dengar. Kalau kau tidak menceritakan siapa dirimu yang sebenarnya, mungkin ayah dan bundaku akan terus mencari keberadaan orangtuamu. Bagaimana jika ibu-ibu dari dinas social itu akhirnya memaksamu untuk tinggal di panti sosial?” kata Afif mencoba meyakinkan. “Kalau kau menceritakan yang sebenarnya, bundaku pasti bisa mengerti…”

“Atau dia akan berbalik membenci…” potong Roraz.

“Tidak akan.” Tegas Afif. “Aku tahu seperti apa bunda. Yeah.. walau pun dia punya banyak aturan di rumah, tapi sebenarnya bunda itu penyayang. Dia pasti mau menerima kamu di rumah kami.”

“Bagaimana kalau…”

“Aku akan membujuknya sampai berhasil, Roraz.” Afif seperti ingin berteriak demi meyainkan Roraz. Roraz memandang Afif lama. Akhirnya dia mengangguk.

“Baiklah. Aku setuju. Tapi kalau…”

“Bunda akan setuju. Tenang saja.” Afif tersenyum. Dia teringat koleksi buku-buku tua milik bunda. Hampir sebagian besar bercerita tentang petualangan ruang angkasa. Bagaimana mungkin jika ada entitas ruang angkasa ada di depan matanya, bunda akan menolak dan mengusirnya? Itu tidak akan terjadi. Tidak. Afif yakin sekali.

***** ***** *****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post