SIM KESABARAN
SIM KESABARAN
Oleh: Lilik Dyah Wulandari
Siang yang menyengat ketika aku memarkir sepeda di halaman belakang Polres. Tampak banyak orang berlalu-lalang. Di lapangan ada beberapa orang sedang berjuang melewati angka delapan dan huruf U, mencoba dan mencoba meski peluh bercucuran, sengatan terik tak dihiraukan, saat terjatuh bangkit lagi dan mencoba lagi hingga tidak terhitung.
Di depan Mushola, banyak orang sedang duduk sambil mengobrol. Sesekali tatapan mata mereka terarah pada lapangan, tempat para pencari SIM sedang berjuang tes praktik angka delapan.
“Sudah berapa kali Bapak datang?” Tanya seorang Ibu kepada Bapak tua disebelahnya.
“Sudah sepuluh kali ini Bu…sampai rasanya saya putus asa” Bapak tua itu mengusap peluh yang menetes di mukanya yang sudah mulai mengeriput.
“Saya sudah delapan kali Pak…dan ada saja yang bikin tidak lulus” tiba-tiba anak muda di dekat mereka ikut nimbrung percakapan.
Rupanya mereka sedang membicarakan tentang tes mendapatkan SIM yang sulitnya melebihi tes masuk pegawai negeri. Mulai dari tes tulis yang minimal nilainya 70, tes praktik melewati angka delapan dan huruf U yang tidak boleh menurunkan kaki sama sekali hingga tes jalan raya yang ada saja kesalahan yang membuat tidak lulus. Aku sendiri sudah datang delapan kali sehingga rasanya ada pikiran tidak punya SIM gak pateken…
“Apa yang bikin saya tidak lulus Pak?” pertanyaanku saat pertama kali tes jalan raya dan aku tidak lulus.
“Karena Ibu jalan terus saat tangan Polisi rentang ke kiri”
“Kenapa saya tidak lulus lagi Pak?” pertanyaanku lagi saat tes jalan raya kedua.
“Karena Ibu berhenti saat tangan Polisi diarahkan kedepan”
“Tapi Pak…bukankah ketika telapak tangan Polisi menghadap kedepan menandakan arah dimana kendaraan harus berhenti?” aku berusaha membantah berdasarkan pengetahuanku yang baru saja aku pelajari dari internet.
“Itu kan persepsi Ibu…persepsi kami tidak begitu, telapak tangan menghadap pada orang yang paling depan sehingga dia yang berhenti dan yang lainnya jalan terus”
“Bagaimana mungkin saya tahu tangan Bapak menghadap pada yang paling depan saja? Sedangkan posisi saya paling belakang dan yang saya lihat telapak tangan Bapak menghadap kedepan?” Aku berusaha menawarkan logikaku. Tapi sepertinya tidak ada tanggapan baik sehingga aku putuskan tidak ada gunanya berdebat.
Pertanyaan demi pertanyaan sering di lontarkan para pencari SIM dan ujungnya hanya gelengan kepala putus asa ketika mendengar jawabannya. Pertanyaan yang aku lontarkan akhirnya sampai pada kedatangan yang kedelapan.
Siang ini ruangan penuh sesak peserta tes praktik jalan raya, ada yang baru saja lulus dari praktik angka delapan, ada yang sudah balik lima kali, delapan kali dan bahkan sepuluh kali.
Peserta mulai di panggil satu persatu, aku dapat nomer 58, artinya aku harus menunggu lama untuk giliran praktik, itupun belum tentu lulus. Tubuhku sudah mulai gemetar, bunyi gemericik terdengar dari perutku, pulang sekolah aku langsung ke Polres tanpa sempat mengganjal perut.
Nomer 58 sudah terpasang rapi di dada dan punggungku, sepeda juga sudah aku tata berjajar di jalan, setelah itu di beri pengarahan oleh petugas. Aku hapal tiap kalimat yang disampaikan karena sudah mendengarnya tujuh kali.
“Nanti kalian akan memutari jalan dua kali dan ikuti tanda dari Polisi” aku menghela napas, mencoba menahan kesabaran atas keinginanku cepat pulang, anak-anakku sudah menunggu untuk di jemput dan cacing-cacing dalam perutku juga sudah semakin menggeliat.
Akhirnya nomer 51 sampai 59 di panggil, aku segera menuju sepeda kesayanganku, aku nyalakan, semua yang di depan mulai berjalan, semua tegang meski sudah melakukannya berkali-kali. Mencoba tenang dan pelan-pelan, rintangan pertama Polisi merentangkan tangan kirinya lurus kesamping, tandanya arah belakang yang berhenti, kami berdelapan tetap jalan lurus. Aman, selamat dari kesalahan.
Rintangan kedua ada polisi mengerak-gerakkan tangan kanannya pelan keatas bawah, tandanya kita harus jalan pelan-pelan. Masih aman, selamat pada putaran pertama.
Putaran kedua, saat ketemu Polisi yang menggerak-gerakkan tangan dengan posisi lurus sempat membuat barisan depan ragu membaca tanda sehingga ngerem secara tiba-tiba sehingga belakangnya saling bertabrakan. Aku yang berada di barisan tengah sempat terkejut juga, untunglah bisa mengatasi rem sehingga tidak sampai menabrak dan tetap bisa melaju.
Peserta sejumlah 64 dikumpulkan lagi. Wajah penuh harap cemas menanti pengumuman. Polisi bertubuh tinggi besar dengan perut yang sudah mulai membuncit membacakan nama di kartu kuning yang dipeganginya. Satu persatu nama di panggil, yang di panggil berarti masih harus kembali bulan depan, masih harus meneruskan perjuangan kesabaran dalam mendapatkan ijin melaju di jalan raya.
Hampir semua nama sudah dipanggil, masih ada sembilan orang di ruangan, Polisi itu tinggal memegang satu kartu lagi, dadaku berdetak dengan kencang, begitu juga dengan lainnya, berharap nama kami tidak di sebut.
“Harianto…kembali lagi bulan depan” anak muda itu berdiri dengan lemas, desah putus asa terdengar lirih. Aku bernapas lega, akhirnya aku lulus juga setelah lima bulan menahan kesabaran.
Saat pulang kuamati kartu kecil dalam genggamanku, kartu yang sudah mengajariku bagaimana menahan kesabaran.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar